Jumat, 29 Desember 2017

Lesunya Dakwah Kampus

Lesunya Dakwah Kampus




KAMMI lahir pasca sidang FSLDK ke X ditutup,  sehingga dari sejarahnya saja kita akan mengetahui bahwa KAMMI dilahirkan oleh aktivis dakwah kampus yang berbasis di masjid-masjid kampus di era orde baru. Maka menjadi aneh ketika kader KAMMI bahkan KAMMI itu sendiri sudah tidak mau memikirkan dakwah kampus itu sendiri dan sebaliknya, menjadi aneh juga ketika aktivis dakwah kampus tidak berterima dengan KAMMI. Begitu pula, tidak perlu kita naifkan, bahwasanya memang basis massa KAMMI sendiri adalah di kampus atau komisariat-komisariat yang ada di kampus.

Dari sisi sistem pengkaderan saja, KAMMI memiliki daya tawar yang mapan. Maka tawaran ini sebenarnya mampu untuk menciptakan para ‘petarung’ sejati bagi dakwah itu sendiri, apalagi dalam ruang lingkup kampus. Maka ketika kader-kader KAMMI menyebar dalam lembaga intrakampus sebagai aktivis dakwah kampus, selain untuk mengkader, nilai-nilai kebaikan yang dibawa itu pula yang diharapkan mampu mewujudkan suasana ‘keislaman’ dalam lingkup kampus atau kita menyebutnya dalam civitas akademika. Bukan hanya sekedar sebagai oposisi belaka seperti yang sering digaungkan oleh banyak gerakan mahasiswa, namun lebih dari itu. Bagi KAMMI dan kader-kadernya, mendukung atau oposisi itu hanya bagian dari strategi saja, bukan ‘keabadian’, karena indikatornya jelas, apakah itu kebenaran atau kebathilan.

Lesunya dakwah kampus yang ada di era ini, mulai dari kurangnya pemahaman terhadap manhaj dakwahnya sendiri, daya tawar mahasiswa yang dikatakan mulai minus, budaya intelektual yang mulai menurun, hingga hal-hal yang berkaitan dengan teknis seperti masalah indisiplin dalam pertemuan menjadi hal yang menghinggapi para aktivis dawah kampus. Apalagi di era yang serba mudah ini. Bukannya disikapi dengan bijak, namun malah terlalu memudahkan.

Kepahaman terhadap fikrah dan manhaj perjuangannya
Kepahaman terhadap fikrah dan manhaj perjuangan menjadi kewajiban bagi setiap kader KAMMI, bisa kita lihat pada kompetensi atau kita kenal sebagai Indeks Jati Diri Kader KAMMI. Dalam proses evaluasi (baca: sertifikasi) untuk mendapatkan status Anggota Biasa 1 (AB1) saja. Kepahaman terhadap fikrah dan manhaj ini harus bisa dikatakan “lulus” dan tuntas tentunya ketika akan berlanjut menempuh jenjang berikutnya (Anggota Biasa 2/ AB2). Menjadi barang aneh, ketika kader KAMMI ketika ditanya, apa fikrah kalian? Kemudian mendongak keatas atau menunduk dan hening. Lalu selama ini, apa yang kemudian mampu membuat kita bergerak ketika dalam hal ‘dasar’ ini saja kita belum mengetahui atau bahkan tidak yakin dengan fikrah kita sendiri? Atau jangan-jangan kita sendiri tidak memahami apa itu fikrah yang KAMMI maksud?

Seperti yang pernah saya paparkan dalam tulisan saya pada buku Recharge Semangat Dakwah, bahwa fikrah tidak hanya berbicara pemikiran, tidak hanya sekedar berbicara tentang tsaqofah (wawasan) saja, namun fikrah lebih dari itu, ia mampu membuat otak, akal, hati, tulang punggung, seluruh jiwa, anggota badan, untuk senantiasa bergerak dan terus bergerak dengan konsisten dan komitmen menuju apa yang menjadi cita-citanya, menjadi impiannya, sesuai apa yang menjadi firman-Nya.

Maka secara signifikan, fikrah ini bisa kita lihat dalam buku induknya pada Risalah Ta’alim oleh Imam Hasan Al Banna, sebuah risalah yang ditujukan kepada segenap aktivis dakwah yang ia memang siap untuk memikul amanah-amanah besar ke depan. Maka dalam risalah ini kita akan berbicara tentang Arkanul Bai’ah (Rukun Bai’at). Dimana dimasing-masing rukun tersebut masih ada penjelasan turunan-turunannya. Selian itu, lebih terang juga ada di Risalah Muktamar al-Khamis dengan delapan fikrah Ikhwanul Muslimin. Lalu, kita sebagi kader KAMMI, masih terasa asingkah dengan Risalah ini? Lalu apa yang selama ini menjadi landasan kita bergerak dalam dakwah ini?

Kepahaman terhadap fikrah ini, seperti tertuang dalam rukun yang pertama, Al-Fahmu (Paham), dalam rukun ini terdapat Ushul Isyrin (20 Prinsip) yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh aktivis dakwah. Dimana salah satunya ialah berkaitan dengan Syumuliyatul Islam (Kesempurnaan/ Kemenyeluruhan agama Islam). Dari sinilah kemudian kita mulai bergerak dengan kepahaman, itu mengapa pula kemudian kita mau-maunya untuk berdakwah, bergerak, masuk kepada lembaga, institusi, berbagai civitas akademik, bergerak dengan terpadu, terkoordinir ke dalam semua ranah dan aspek kehidupan yang ada. Bukankah karena kita memahami fikrah ini? Ini baru salah satu saja.

Pada manhaj dakwah kita pula, hakekat dan tujuan dakwah haruslah dipahami oleh semua kader KAMMI. Bahwa kita mengetahui, tujuan dakwah bukanlah kemenangan semata, tujuan dakwah bukanlah untuk itu saja. Maka alangkah indahnya ketika Syekh Mustafa Mashyur mengatakan dalam Fiqh Dakwahnya (2013: 5),

“Sebelum melangkah jauh, satu hal yang harus kita perjuangkan adalah menjadikan Alloh tujuan utama. Tiada satu pun yang dijadikan tujuan selain Alloh. Kita beriman kepada-Nya dan kita melihat-Nya pada segala sesuatu dalam hidup kita. Kita beribadah kepada-Nya dengan sepenuh hati dan kita mencari keridhoan-Nya di setiap aktivitas kita. Kita melakukannya dengan penuh ikhlas dan yakin bahwa di sanalah terletak kebahagiaan sejati, sebenar-benar petunjuk, dan kemenangan hakiki. Alloh SWT berfirman: Maka segeralah kembali kepada (menaati) Alloh. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Alloh untukmu. (Adz-Dzariyat: 50)”

Dari sini kita melihat, apa tujuan dakwah itu. Sekarang kita mengerti dan memang harus memahami ini sebagai prinsip yang harus dipegang teguh.

Adapun tabiat dakwah itu sendiri, masih dalam tulisan beliau (2013: 6),
“Jalan dakwah tidaklah ditaburi bunga-bunga, tapi sebuah jalan terjal yang sulit dan panjang. Jalan itu tidak mudah dilalui dan bukan jalan yang singkat. Jalan dakwah merupakan perseturuan antara yang haq dan batil. Ia menghajatkan kesabaran dan ketabahan karena beban yang berat. Ia memerlukan kesungguhan hati, jerih payah, dan menuntut banyak pengorbanan. Tidak boleh tergesa-gesa ingin mendapatkan hasil, namun tidak boleh mudah putus asa dan patah semangat. Yang dituntut dari dakwah itu adalah usaha dan amal yang kontinu, lalu biarlah Alloh yang menentukan hasilnya pada waktu dan keadaan yang Dia kehendaki. Bahkan mungkin Anda tidak dapat melihat hasilnya saat masih hidup karena Anda hanya diperintah untuk beramal dan tidak harus melihat hasilnya.”

Dalam rukun baiat yang kedua, ada rukun amal, sebagai kader KAMMI, kita juga harus paham terhadap tahapan-tahapan amal (maratibul amal) dakwah kita, dimulai dari islakhunnafs (perbaikan diri sendiri), takwiinu baytimmuslim (pembentukan keluarga muslim), irsyaadulmujtama’ (membimbing masyarakat), takhriirulwaton (pembebasan tanah air [dari penguasa asing]), ishlahul hukuumah (memperbaiki keadaan pemerintah), i’datulkiyaaniddawliyyi lil ummatil islaammiyah (usaha mempersiapkan seluruh aset negeri di dunia ini untuk kemashlahatan umat islam), dan ustadziyyatul ‘alam (penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah islam).

Mengapa kita perlu memahami ini? Karena dalam manhaj kita ini, dakwah kita adalah dakwah yang bertahap, dakwah yang gradual, tidak sporadis dan anarkis. Hal ini juga agar kita sebagai kader KAMMI mengetahui bahwasanya apa yang dilakukan kita di kampus juga bagian dari tahapan-tahapan dalam maratibul amal ini. Sehingga apa yang kita susun, apa yang kita lakukan, bukan sekedar amal sesaat saja, namun amal yang merupakan bagian dari jangka panjang untuk menyiapkan proyek besar, proyek peradaban islam tersebut.

Pertemuan-pertemuan yang mulai indisiplin
Pertemuan-pertemuan di era digital ini, seolah bisa digantikan hanya dengan berkomunikasi di medsos saja. Ya, kita akui dan memang benar, zaman yang berbeda menuntut cara yang berbeda. Namun begitu pula kah dengan musyawarah-musyawarah kita? Saya kira berbeda ketika memang keadaan mendesak, genting, dan tidak memungkinkan. Sebut saja sebagai ‘rukhshah’.

Kita semua paham bahwa pertemuan secara langsung akan lebih menimbulkan kesan berarti. Selain pembahasan yang terang dan jelas, secara ukhuwah pun akan lebih ‘dapat’. Sekali dayung, dua sampai tiga pulau terlampaui. Pertemuan secara langsung juga akan menghilangkan prasangka-prasangka yang tidak baik, klarifikasi juga menjadi lebih jelas, serta lebih mudah untuk meluruskan berbagai pemahaman yang berbeda terhadap sebuah kebijakan.

Pertemuan-pertemuan ini juga bisa menandakan ‘militansi’ kader, tingkat kedisiplinan akan terlihat jelas. Apakah siap menyambut seruan, baik dalam keadaan sedang lapang maupun berat. Pertemuan juga dapat mengetahui ketika ada kader-kader yang memang sedang ‘bermasalah’. Mari kita cek dalam pertemuan rutin saja, seberapa besar presentase kehadirannya dalam segi kelengkapan personil?

Kita perlu mengetahui bahwa pertemuan-pertemuan (baca: musyawarah) menjadi hal tsawabit (prinsip tetap) dalam dakwah kita. Rasulullah senantiasa mencontohkan hal ini, bahkan Beliau selalu meminta pendapat sahabat-sahabatnya. Hingga kita masih ingat ketika perang Uhud diputuskan untuk diluar Madinah, ini karena keinginan sebagian besar sahabat dan kemudian diputuskanlah kebijakan tersebut. Meski akhirnya, kekalahan yang didapatkan. Tentu Alloh SWT ingin memperlihatkan berbagai hikmah dalam peristiwa ini. Setelah keputusan ditetapkan, maka tiada lain adalah ketaatan untuk melaksanakannya. Maka, bagaimana dengan pertemuan-pertemuan kita?

Daya tawar gerakan mahasiswa di depan birokrasi kampus
Ini yang kian hari kian menurun. Daya tawar gerakan mahasiswa kian menurun di mata ‘penguasa’ kampus. Efek ancaman Drop Out menjadi senjata ampuh ketika dihadapkan pada hal ini. Efek tuduhan pencemaran nama baik juga menjadi salah satu kiat untuk menjerat berbagai tulisan dan opini yang dibangun dalam mahasiswa baik sebagai mahasiswa itu sendiri apalagi sebagai representasi dari sebuah gerakan, atau juga dalam pers mahasiswa itu sendiri. Seperti beberapa kali kerap terjadi yang cukup ramai dikabarkan dalam media di negara kita.

Kalau seandainya berbicara ideologi, memang sudah selesai, semua gerakan sulit untuk menemukan titik temu. Namun saya kira, masih banyak isu besar di kampus masing-masing yang masih memiliki titik persamaan. Misal saja isu Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang kian waktu kian mulai besar gerakan perlawanannya di kampus-kampus. Sebenarnya ketika berbagai gerakan ini mampu menyatukan sebagai isu bersama dan mampu memberikan tekanan dalam hal ini birokrasi untuk menyelesaikan masalah ini. Maka ‘daya tawar’ gerakan di mata ‘mahasiswa umum’ menjadi ‘pahlawan’ dan di mata birokrasi, gerakan mahasiswa dinilai punya ‘kekuatan’ massa, yang mampu menggiring opini mahasiswa. Semua diuntungkan, baik dari mahasiswa umum maupun gerakan mahasiswa itu sendiri.

Maka ketika daya tawar ini muncul kembali, setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh birokrasi, akan lebih berhati-hati. Karena mereka tahu bahwa gerakan mahasiswa ada di depan mereka. Peran-peran strategis inilah yang hari ini harus dibangun kembali. Sekali lagi bukan hanya oposisi laten, namun memposisikan diri dalam sifat ‘moderat’. Indikatornya jelas, menyengsarakan atau tidak, kebatilan atau kebaikan. []

Format Gerakan Baru di Era (mirip) Orde Baru?

Format Gerakan Baru di Era (mirip) Orde Baru?

Tulisan ini sudah lawas di laptop, ketika isu yang berkembang di negeri ini ialah berkaitan dengan pro kontra Perppu Ormas. Apalagi dengan simpang siur tujuan dan agenda.

Keterbatasan saya, adalah saya tidak merasakan masa pemerintahan orde baru, namun mengalami, karena saya lahir di tahun 1994, mengalami masa balita di akhir rezim orde baru. Sehingga mungkin tulisan ini lebih tepat dikatakan dari pengalaman ‘pembacaan’ literasi yang ada terkait orde baru yang kemudian merasa bahwa masa yang sedang terjadi ini mirip-mirip seperti yang terjadi dahulu di era orde baru.

Namanya saja mirip, maka tidak persis sama. Namun ada hal-hal yang mirip, meski di era yang berbeda. Pembubaran ormas HTI (Hizbuth Tahrir Indonesia), ini pernah kita lihat terjadi di era orde baru yaitu pembubaran PII (Pelajar Islam Indonesia). Sama-sama dibubarkan karena dianggap “radikal”, serta sama-sama pula karena “islam”nya. Selain itu di masa-masa ini pula, pengangkatan isu radikalisme dan terorisme benar-benar digencarkan, bedanya kalau era orde baru lebih pada asas tunggalnya. Meski beda, namun ya mirip-mirip. Sehingga ada kesamaan “radikal” bahwa yang tertuju adalah islam itu sendiri. Anehnya, komunisme yang menjadi pelarangan justru sepertinya tidak terlalu menjadi bahan perbincangan dalam terorisme dan radikalisme di era kini, meski dalam sejarahnya, pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia) dilakukan. Dimana kita tahu pembubaran dilakukan ketika kudeta dan pemberontakan setelah berkali-kali terjadi.

Dengan adanya Perppu ini, maka semua ormas, khususnya ormas Islam sebenarnya tidaklah menjadi ‘aman’, bahkan sekelas ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak mungin tidak, bisa saja terkena Perppu ini. Bahkan setelah HTI dibubarkan, tercatut enam ormas lagi yang akan dibubarkan. Sekali lagi, pendifinisian terorisme dan radikalisme menjurus ke islam itu sendiri. Lalu bagaimana dengan KAMMI?

Bukan barang aneh tentunya, bisa saja KAMMI juga terkena Perppu ini. Karena KAMMI juga tercatat sebagai organisasi Islam, organisasi kepemudaan. Lalu melihat era seperti ini, apakah gerak KAMMI akan berubah haluan? Dari yang lantang bersuara kemudian diam tak bermakna? Dari yang turun ke jalan lalu bercuit di medsos saja? Dari digebug secara fisik menuju penggebugan media sosial dan diperkarakan melalui pencemaran nama baik? Atau seperti apa?

Sama saja sebenarnya, mau mengubah haluan atau tidak, sama-sama terancam. Tingkat resikonya saja yang berbeda. Namun saya kira, dengan pemahaman hakekat dan tujuan dakwah kita yang sudah jelas digariskan oleh manhaj kita. Tidak akan pernah terbesit oleh KAMMI untuk mundur selangkahpun. Bahkan akan menjadi penyerunya yang paling lantang ketika yang lain diam membisu bahkan mengekor pada penguasa yang ada. Karena begitu jelas bagi KAMMI bahwa yang menjadi musuh adalah kebathilan, bukan sekedar gerakan oposisi – bahwa ketika memang pemerintah menjalankan kebijakan yang berpihak pada rakyat, maka KAMMI mendukung dan tetap mengkritisi – , bahkan ketika KAMMI itu dibubarkan, saya kira nama wadah bukanlah hal yang tetap, kader-kader KAMMI akan terus berhimpun sebagai anak-anak kandung dakwah, yang mengalir bersama dakwah itu kemanapun perginya. Tujuan kita lah yang tetap! Bukankah begitu?

Sehingga kalau hanya masalah mirip-mirip, apakah kita butuh format gerakan baru? []

Kamis, 05 Oktober 2017

Meminang Pahit, Mekar Kuncupnya*

Meminang Pahit, Mekar Kuncupnya*


Kecewa bukanlah pilihan seorang petarung & prajurit sejati, saudaramu menunggu penuh kelindan di tapal batas pengharapan

DIBALIK SOHORNYA nama Yusuf bin Najmuddin Al-Ayyubi, yang kita kenal sebagai Salahuddin Al-Ayyubi, ada tokoh besar yang mungkin luput dari pandangan kita. Entah karena memang tidak tahu, atau memang tidak mau mencari tahu. Dibalik semua itu, juga ada intrik yang menarik. Menjadi sebuah barang langka, sebuah fragmen apik bertabur hikmah.

Zengi, atau kita lebih mengenalnya dengan Zanki. Dua Zanki yang menyejarah hadir dalam sebuah kelesuan zaman. Hadir dalam sebuah arena yang sulit untuk bangkit, namun penuh optimisme menatap akan kemenangan. Karena ia yakin akan keagungan ajaran Islam. Pendudukan Jerusalem, pasca penaklukan lalu oleh umat islam, untuk kali pertamanya terjadi. Kota Suci yang memang disucikan oleh Islam, Yahudi dan Nasrani ini memang menjadi primadona tersendiri dengan berbagai alasan dibaliknya. Pendudukan ini lebih kita kenal sebagai Perang Salib. Pasca 1099 Masehi, tak banyak yang bisa dilakukan oleh umat Islam. Perpecahan internal dalam tubuh umat Islam terus saja hadir di tengah gempuran Pasukan Salib.

Imaddudin Zanki, seorang penguasa kota Mosul, Irak, memulai perlawanan dengan menghimpun kekuatan Mosul dan Aleppo. Edessa menjadi target pertama, meski secara politik tidak berpengaruh besar, karena Edessa merupakan kota terlemah yang dikuasi oleh Tentara Salib. Namun dibalik inilah, kekuatan islam pertama kalinya akan berhimpun kembali ke depannya untuk melakukan perlawanan terhadap Tentara Salib.

Penghimpunan kekuatan dilakukan oleh Zanki, dimulailah dari persatuan Suriah. Namun sayang, usahanya masih kandas, karena perang emir-emir kecil di sekitar daerah tersebut masih saja terus bergemuruh meski musuh dari luar ada di depan mata. Adapun Damaskus, tidak mau menyerahkan kekuasaannya, ia lebih memilih dirinya sendiri dibanding harus berjuang bersama. Hingga wafatlah Imaduddin Zanki.

PERJUANGAN TAK PERNAH BERHENTI, di tengah perpecahan yang semakin menjadi, muncullah sosok Zanki muda, yaitu anak dari Imaddudin Zanki, ia bernama Nuruddin Zanki. Zanki muda mengambil alih kepemimpinan ayahnya dan melanjutkan perjuangan untuk menyatukan Timur Tengah. Ia berhasil melakukan penaklukan di sekitar Antioch serta mampu menggulingkan emir Damaskus dengan bantuan rakyat yang memang sudah jengah terhadap perpecahan sementara musuh diluar sudah siap menerkam.

Bersatunya Suriah dan sekitarnya membuka harapan baru dan optimisme umat Islam, bahkan sinarnya merekah terlihat kian nampak. Tahu bahwa Suriah dan sekitarnya semakin kuat. Tetara Salib memutar otaknya, hingga akhirnya ia mengalihkan perhatian ke sebuah kota kuno, kota Fir’aun yaitu Mesir. Terjadilah peristiwa invasi itu sekitar 1163, diseranglah Kerajaan Fatimiyyah yang waktu itu masih menguasai Mesir.

Yakin tak dapat mengalahkan Pasukan Salib, wazir dari Kerajaan Fatimiyyah bernana Shawar, yang sebelum invasi telah digulingkan, meminta bantuan Nuruddin Zanki. Zanki muda merasa was-was, ada prasangka bercampur emosi. Akhirnya ia memutuskan untuk membantu demi persatuan Islam. Akhirnya digempurlah Tentara Salib, bahkan Shawar mampu menjadi wazir agung kembali.

Umat Islam melihat ini bisa menjadi sebuah “koalisi”, antara Suni Suriah dan Syiah Mesir. Namun jalan berkata lain, tak disangka, was-was Zanki menemukan suaranya. Shawar berbalik, ia mengadakan perjanjian dengan aliansi Pasukan Salib yang baru saja diperangi. Akhirnya Zanki terpaksa mundur ke Suriah.

Beberapa tahun kemudian Tentara Salib kembali menginvasi kota kuno ini untuk dijadikan sebagai wilayahnya. Shawar meminta Zanki untuk menolongnya, demi persatuan Islam. Zanki pun menerima tawaran tersebut. Ia bersama pasukannya kembali ke Mesir dan memukul Pasukan Salib dan merebut Mesir. Pasca kemenangan ini, Shawar di eksekusi karena telah berkhianat pada perjanjian sebelumnya. Lalu Mesir menjadi kekuasaannya, dengan menempatkan wazir baru yaitu Shirkuh. Pasca wafatnya Sirkuh inilah, yang nanti akan muncul sosok pelanjut Zanki untuk melawan Kesombongan Tentara Salib, Salahuddin Al-Ayyubi.

KITA TAK PERNAH BERPIKIR, bahkan menurunkan ego. Rasa kecewa Zanki muda atas pengkhianatan seharusnya sudah cukup untuk dijadikan alasan untuk ia tidak membantu Fatimiyyah di Mesir. Namun ia lebih memilih Persatuan Islam, ia lebih memilih persatuan. Ia lebih memilih menurunkan ego, menurunkan emosinya, demi sebuah persatuan. Orang secara umum juga pasti akan berpikir sebaliknya. Namun tidak bagi Zanki. Ia tau peluang ke depan, ia tahu kesempatan besar. Selain menurunkan ego pribadi, ia benar-benar mengetahui bahwa umat sedang membutuhkan kekuatan baru untuk mengalahkan musuh diluar dibawah persatuan Islam.

Ini perlu menjadi perhatian kita bersama. Kecewa yang terjadi pada diri seorang, pada kelompok, pada organisasi, pada jamaah, bisa jadi karena sandaran kita bukanlah yang Maha Kekal, bukanlah Sang Pencipta. Kalaulah Zanki mendidik umat dengan persatuan Islam, apa yang sedang kita lakukan hari ini? Sedikit saja, tak perlu jauh-jauh bicara persatuan Islam. Bicara kelompok sendiri saja, masih saling hujat, masih saling menjatuhkan. Seolah kecewa pada pribadi menjadi masalah besar yang dampaknya dibawa pada kelompok.

Mereka tak berpikir bahwa diluar sana, umat sedang membutuhkan. Mereka tidak berpikir kalaulah serangan dari luar mengancam. Mereka tidak berpikir kalaulah momentum-momentum ke depan semakin terlupakan karen aintrik di rumah sendiri. maka Zanki muncul untuk menumbuhkan gairah baru, keluar dari kepenatannya, keluar dari ego nya, kelaur dari perasannya menuju logika dan jernihnya iman akan pengharapan Alloh dan persatuan umat. Ia memperbaiki dari yang kecil, menyatukan beberapa kota, bahkan hingga mampu menelurkan Sang Pejuang Al-Ayyubi. Zanki melihatkan kepada kita, meminang sebuah kepahitan, namun ia yakin kuncupnya akan bermekaran.

Hari ini, engkaulah Zanki itu? []

*Viki Adi Nugroho
(Seorang anggota KAMMI)

Tulisan ini dikutip dari draft naskah untukmu muslim negarawan (tunggu  untuk segera terbit)

Rabu, 20 September 2017

Menilik Fenomena Post Tarbiyah dalam Dakwah Kampus

                        Menilik Fenomena Post Tarbiyah dalam Dakwah Kampus*
Ketika memilih pergi dari jamaah

Ada tulisan yang cukup apik untuk mengungkapkan hal ini, meski ada beberapa hal yang saya sendiri kurang bersepakat.
Yusuf Maulana dalam bukunya "Konservatif Ilmiah" mengungkapkan akan keresahannya dalam jamaah ini dengan berbagai ragam masukkan, meski ia tetap mendukung dengan posisi lain.
Ada pesan apik yang perlu ditangkap oleh kader tarbiyah hari ini.
Beliau mengungkapkan, "Menjadi konservatif itu sebuah pilihan. Bertindak radikal dan fundamentalis juga pilihan. Tinggal bagaimana semua ini dibingkai sikap ilmiah. Bukan apologi dan pembenaran ideologis buta. Berislam ada pertanggungjawaban. Dan pertanggungjawaban berharakah adalah dengan berpikir ilmiah. Bertindak harus dengan ilmu dan pemahaman. Bukan grasak-grusuk demi bergegas yang sifatnya kuantitatif. Dari soal momentum hingga raihan suara kian besar." (2016: 5)
Coba resapi kalimat tersebut, namun dalam setting yang berbeda, setting dakwah kampus!
Fenomena Post Tarbiyah, bukan hal aneh saat ini khususnya di kampus-kampus. Banyak sekali penyebabnya. Saya tidak akan menyebutnya satu-satu. Silakan renungkan.
Hilmia, tiba-tiba ia baru tersadar. ia menikmati bahwa dirinya telah ditemukan dalam lingkungan yang baik. Pemahaman akan dakwah di kampus ia temukan. Ia memulai membenahi diri. Sang kakaknya, Rasti, di kampus yang membinanya. Mengarahkannya hingga Hilmia menjadi orang yang dikatakan "siap" mengemban amanah di depannya. Dalam perhelatan pemira, pemilihan ketua HIMA PgPaud, Ia didukung penuh dari kakak2nya, mulai dari persiapan penampilan hingga strategi peraih suara. Menang hasilnya.
Proses berjalan, diawal komunikasi lancar, namun terus berlanjut bulan ke depan nya, ia mulai merasa sendiri. Kebersamaan yang biasa ia alami mulai terasa pergi. seolah-olah amanahnya seperti bara api yang sedang dipegang. Kakak-kakaknya yang dulu mendukung kini pergi meninggalkannya. Ia mulai jatuh. pergi.. pergi..

Memang tak sesimpel kisah itu. Lebih banyak yang tidak terkoordinasikan tentu akan lebih banyak dan pelik masalah yang terjadi. Anggap saja kisah tadi tidak ada.
Menurunkan ego memang sulit, terlebih ketika merasa diri dalam kebenaran. Seolah orang lain itu salah. Berdamai pun hanya wacana pemikiran yang menyalahi ucapan yang keluar. Tampilan dan amanah yang ia emban tak cukup merepresentasikan sikapnya.
Memang konservatif itu pilihan. Tapi mari tengoklah adik-adik kita yang sekarang beramanh di lapangan. Mungkin mereka bingung, bingung tak ada yang mau mendengar keluh kesahnya. Mereka kehilangan sosok. Sosok kakak-kakaknya yang dulu menariknya, menyanjungnya. Sosokmu wahai para pemimpin!
Ujian berjamaah muncul. Perasaan tidak enak lebih menguasai dibanding rasionalitas akal berpikir mencerna masalah disekitar. Mengakomodir terasa sulit. Tapi bukankah sulit bukan berarti tidak bisa?
Persoalan resign dari jalan dakwah, perlu kita cermati, jangan2 bukan hanya karena mereka yang akhirnya memilih pergi, tetapi karena dari kita sendiri selaku "kakak" tidak menyediakan pilihan lain selain pilihan resign. Pilihan yang ada karena kita tidak mau menurunkan ego. Pilihan yang ada karena kita tidak mau mengalah. Pilihan yang ada karena kita tidak mau menimalisir kepentingan pribadi kita untuk kepentingan mereka.

Anak Muda Berbicara
Mereka berbicara dan mengikuti jangan-jangan karena belum mengerti dan memahami. Bahkan seolah hanya doktrin yang ia dapat. Meski awalnya merasa aman. Namun kian lama kian tak paham. Meski kita tahu bahwa ada sisi tertentu yang bisa dipahami ketika sudah melakukan. Namun bukan pada ranah itu. Pengekangan menanyakan sebuah keputusan atau kebijakan janganlah menjadi dalih untuk melarang atau bahkan mencapnya sebagai orang tak patuh.
Budaya keilmuan dan penajaman fikrah harus digelorakan di kaum anak muda ini. Agar resign ini bukan pilihan yang satu-satunya disediakan. Fikrah yang tertancap kuat akan mampu mencegah itu. Mencegah resign meski merasa sendiri, meski merasa lelah, bahkan merasa sekarat.

Menjamu Fenomena
Fenomena  resign ini perlu jadi evaluasi bersama, adakah yang mulai terlupa pada diri kita? hingga menyebabkan  mereka yang telah melekat pergi tak berpamit?
Mengoreksi diri sendiri memang sulit, apalagi di hadapan orang lain. Apalagi di hadapan orang yang merasa pernah memberi rasa sakit. Namun, lebih baik manakah orang yang meminta maaf dengan orang yang menunggu-nunggu orang yang mau meminta maaf?

Selamat menjadi konservatif, ditengah arus besar yang berlawanan. []

*Viki Adi Nugroho

(orang yang belajar menulis)

Selasa, 22 Agustus 2017

Menyambut Harapan Baru di atas Kerapuhan

Menyambut Harapan Baru di atas Kerapuhan
Oleh Viki Adi Nugroho*

Mari berkaca...
Ekskalasi hiruk pikuk situasi dan kondisi negara kita, sebuah negara besar dengan kebesaran sejarahnya, dengan kebesaran potensinya, seolah memudarkan semua asa. Hingga masing-masing anak di negeri ini menanggung hutang pemerintah yang tengah berkuasa di hari ini, tak nanggung-nanggung. Mahasiswa yang kerap menjadi “penyeru” kini mulai kian lelap menikmati ‘nina bobo’ dari sang penguasa. Baik terpatahkan oleh penguasa kecil (baca: birokrasi kampus) hingga penguasa negara sesungguhnya. Bahkan ada saja, gerakan mahasiswa yang mau menerima “jamuan” penguasa untuk mendukung kebijakan yang menjadi kontroversi bahkan dinilai sebagian besar kalangan sebagai kebijakan yang blunder (baca: Perppu Ormas). Mungkin dia lupa dengan amanah reformasi. Atau mungkin pura-pura lupa.
Keberanian nampak mahal harganya, apalagi bicara pengorbanan. Seperti bicara dongeng atau semacam hikayat yang gagal dan mungkin lebih gagal. Belum sampailah pada keberanian, mewacanakan saja enggan. Kita memang tidak bisa menyalahkan mahasiswa-mahasiswa hari ini sepenuhnya, sistem dan budaya yang ‘tercipta’ memang seolah ‘memaksa’ ke arah sana. Maka gerbong menjadi mahasiswa baru ini, bukanlah hal yang biasa, namun sudah seharusnya menjadi refleksi bersama.
Mahasiswa baru hadir bukan untuk menambah beban negara. Bukan hadir untuk memenuhi sarjana pengangguran. Bukan hadir untuk menjadi komprador penguasa asing yang menyengsarakan rakyat serta negaranya sendiri. Bukan hadir untuk menikmati kemewahan dan kenyamanan “status” mahasiswa. Apalah artinya status tersebut ketika ia tidak mampu mempertanggungjawabkan secara ‘moral’. Alangkah indahnya jawaban Perguruan Tinggi dengan ramuan jamu ‘Tri Dharma Perguruan Tinggi’. Peran sosial khususnya sebagai gerakan moral bagi mahasiswa ada disini.
Jiwa zaman yang berubah total dengan era teknologi informasi bahkan masuk dalam era ‘big data’. Akan sangat membuat karakter “anak zaman” yang terlahir pun berbeda. Semua merasa dimudahkan serta serba nyaman. Ketika hal ini tidak disikapi dengan bijak, tanpa ada usaha penyadaran menemukan kembali ruh dari eksistensi mahasiswa (baca: peran), maka kemunduran bangsa ke depan mampu mewujud. Tentu ini bukan hal yang diinginkan, sebuah peradaban maju dalam teknologi, namun minim dalam suasana religiusitas (baca: moral). Menunggu waktu kerusakan dan keruntuhan.

Menyadari peran...
Mendengar mahasiswa, maka pola pikir yang terbangun di masyarakat adalah seorang yang cerdas, pintar, berwawasan luas, bahkan dianggap ‘serba bisa’. Namun itu dulu, entah sekarang mungkin mengalami ‘peyorasi’, semacam penyempitan makna atau menjadi makna yang buruk. Meski akan berbeda ketika ‘mahasiswa’ ini ada dalam benak pola pikir masyarakat desa, lain hal. Tapi bagi masyarakat kota, hanya kata lalu lalang saja. Mengapa?
Begitulah, selama ini mahasiswa mulai kehilangan sejarahnya. Lupa lebih tepatnya. Sehingga dari lupa sejarah ini, mereka juga lupa akan perannya. Menjadi wajar ketika mahasiswa sebagian besar hari ini lebih memilih ruang ‘nyaman’. Lebih memilih belajar di kelas saja, dari pada harus berpanas-panasan menyuarakan kebenaran di jalanan. Lebih memilih jalur “tenang” dibanding harus mengkritisi kebijakan dengan resiko mengurangi ketenangan (baca: drop out). Gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral seolah hanya wacana belaka, hanya memori yang sudah tidak terkenang. Mungkin pelajar-pelajar kita dulu, anak-anak SMP, SMU, dalam perhimpunannya di Pelajar Islam Indonesia, melihat mahasiswa hari ini, akan menangis. Betapa tidak, dulu mereka turun ke jalan merelakan nyawanya demi menyerukan sebuah kebenaran di depan penguasa yang dzalim. Bahkan kita masih terngiang dengan lagu Darah Juang, “... Bunda relakan darah juang kami...”. Sebuah lagu yang membuat merinding, dimana anak seusia SMP berkata kepada orang tuanya dan izin pamit untuk merelakan jiwa anaknya demi berjuang menegakkan kebenaran. Lalu, bagaimana mahasiswa hari ini?
Mahasiswa merupakan agen-agen prubahan, begitulah sejarah berbicara di negara kita. Mahasiswa memiliki peran sebagai kontrol sosial, bukan sekedar lelap dalam tidur dan bermimpi indah lalu mengenakan toga. Mahasiswa merupakan pengganti masyarakat dan pemimpin-pemimpin negeri ini yang kian hari kian menjadi-jadi sakitnya. Maka apalah daya ketika dari hari ini kita sebagai mahasiswa tidak menyiapkan diri untuk masa depan Indonesia, apalagi lupa terhadap sejarahnya, terhadap gerakan mahasiswa. Dan kau, harapan baru. []


*Penulis Buku Recharge Semangat Dakwah, Ketua Pengurus Komisariat KAMMI UNY 2017

Sabtu, 19 Agustus 2017

Mari Mendengki


Mari Mendengki

Kemarin belum lama, petir menyapa
menepuk pundak dan kalbu
merendah dalam diri bukan sikap seorang mukmin

belajarlah dari Ibnu Rusyd
ia merendah, merendah dengan tidak berkarya
ia lebih suka memberikan penjelasan-penjelasan tentang kitab gurunya
Ibnu Bajjah sebut saja
guru yang diambil dari buku
bukan bertemu tatap muka
karena mereka memang hidup di zaman berbeda
selisih 12 tahun tepatnya

Ibnu Rusyd bisa saja lebih hebat
bahkan lebih terkenal
tapi ia lebih memilih menjelaskan karya gurunya
hingga pada akhirnya
ia disebut sebagai the last of philosoper

menjadi batu bata memang menyakitkan
tatkala jiwa mengecil tanpa dengung berdendang
namun diluar sana saudara seiman bergelar masyhur
mendengki mulai tersulut
apinya membakar kayu
libaslah seluruh kebaikan

silakan.. mendengkilah, di tempat yang menurutmu paling indah
dan selamat,,,
karena nila setitik, rusak susu sebelanga


Viki Adi Nugroho
Gaza, 19/8/17, di tengah jam goblok, 
di siang bolong yang penuh dengan guratan pikiran

Kamis, 27 Juli 2017

(Beli) Buku Recharge Semangat Dakwah

Recharge Semangat Dakwah



Assalamualaikum Sahabat sekalian, sudah dengar tentang buku ini?
Sebuah buku yang sebenarnya "lebih tepat" berkisah tentang dakwah khususnya dakwah kampus. Akan sangat cocok bagi kalian yang saat ini menjalani aktivitas tersebut,

Apa isinya? Saya kasih tau sedikit ya melalui kata pengantarnya sebagai berikut:

Pengantar Penulis

Assalamualaikum. Wr. Wb.
Segala Puji bagi Alloh SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya, melimpahkan kasih sayang-Nya kepada semua makhluk tanpa terkecuali. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi teladan kita, yang menjadi utusan dalam menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia, dan semoga kita adalah umat yang senantiasa melanjutkan perjuangannya, bukan umat yang malah menyakitinya.
Hidup bagaikan roda berputar. Begitu pula sebuah masa kejayaan, terus berputar. Begitulah Alloh menuliskan ayatnya, ayat yang kita baca berulang-ulang tiap pagi dan sore dalam dzikir matsurat kita. Itu pula yang bisa kita temukan dalam dakwah, apalagi dakwah kampus. Dimana basis orang- orang ideologis muncul dengan berbagai wacana-wacana pemikiran serta langkah-langkah kritisnya dalam upaya mewujudkan kemajuan bangsanya. Sehingga kampus menjadi ruang “perebutan” ideologi hingga hari ini. Mulai dari pemahaman dakwah, Liberal, sosialis, nasionalis, ateis, mulai dari kanan hingga kiri, semua lengkap.
Inilah yang harus segera ditangkap dan dibaca oleh segenap aktivis dakwah, bagi seorang da’i. Bahwa peluang mengarahkan potensi pemuda ada disini. Peluang dakwah “ideologis” ada disini. Peluang menciptakan pemimpin-pemimpin masa depan demi kemajuan Islam, bangsa, dan negara ada disini.
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi diri saya dan apa  yang terdapat dalam perjalanan dakwah kampus yang saya lalui, apa yang terkadang menjadi keresahan dan menjadi keinginan. Sebuah tulisan yang sebenarnya kebanyakan orang sudah paling tidak mengetahui dalam hal-hal yang menjadi prinsip dan hal-hal yang boleh kita mengambil pilihan-pilihan.
Tulisan ini berasal dari sebuah pengalaman serta lika-liku dakwah kampus, pengalaman apa saja yang kemudian menjadi pelajaran yang akhirnya tertuliskan dan tergoreskan. Apalagi berbicara tentang dakwah kampus, berbicara pemuda dan dakwah, tema sentral yang sering dibicarakan dalam forum-forum mahasiswa khususnya dalam tataran dakwah kampus yang kian hari kian prestisius karena dirasa mampu memunculkan sosok-sosok tangguh yang berkualitas dalam menuju tatanan marhalah dakwah selanjutnya.
Namun apa kiranya ketika dakwah kampus sudah mulai terasa kering dari nuansa-nuansa tarbiyah, kering dari nuansa-nuansa hakikatnya. Namun apa kiranya juga ketika dakwah kampus kemudian tidak membuka dirinya melihat akan “jiwa zaman” yang berubah dan kian bertambah rumit. Masalah-masalah kian hari kian bertambah dan kian baru, bahkan belum dijumpai dari era sebelumnya, namun cara-cara yang digunakan masih saja seperti sebelumnya. Sehingga butuh pengumpulan dan pengisian kembali “instrumen daya juang” bagi aktivisnya, pengisian ulang “semangat” bagi para aset penggeraknya.
Semoga tulisan yang sedikit ini mampu merecharge daya energi dan semangat dakwah ini, khususnya bagi dakwah kampus. Tiada yang lebih baik dan sempurna selain dari Alloh SWT.
Selamat bergerak, selamat berjuang, selamat merecharge semangat Anda!
Wassalamualaikum, Wr. Wb.

Viki Adi N


Kira-kira begitu, jika berminat. Insya Alloh kami menyediakan. Adapun harganya 45.000, lalu kami diskon 20% sehingga menjadi 36.000 (belum termasuk ongkir).
Silakan bisa melakukan pemesanan/ pembelian buku ini dengan menghubungi CP: 085747455738 (Wa) atau bisa berkunjung di instagram @bookstoregaza atau @viki_adi_nugroho

Terima kasih, Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Selasa, 25 Juli 2017

Kenali KAMMI dari diri KAMMI

Kenali KAMMI dari diri KAMMI
Oleh Viki Adi Nugroho 

Ketika ada aktivis dakwah kampus yang tidak berterima dengan KAMMI, sebagian menganggapnya wajar, mungkin karena perbedaan ‘cara’. Tapi apakah itu wajar yang normal? Jangan sampai pepatah ini berlaku, “Kacang lupa pada kulitnya”.

Memang KAMMI hadir dan dideklarasikan setelah diskusi-diskusi kelanjutan diluar FSLDK (Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) yang sedang berlangsung. Kita tahu bahwa sebagian besar dari aktivis LDK (Lembaga Dakwah Kampus) ini ialah aktivis berbasis Masjid Kampus. Kita tentu semua paham bahwa aktivitas berbasis masjid kampus di tahun 80-an diwarnai arus pemikiran Ikhwanul Muslimin yang waktu itu memang sedang menggema di berbagai belahan dunia. Bahkan sulit untuk melacak kapan pertama kali masuk dan melalui ‘jalur’ apa. Dengan konsep puritan akan kesempurnaan agama Islam inilah, yang kemudian merasuk menjadi pemahaman yang integral bahwa persoalan bangsa yang terjadi harus segera ditanggapi. Inilah sebagian dari kesebangunan sejarah umat islam, khususnya di Indonesia. Semoga saja kacang ini tidak lupa pada kulitnya.

Menjadi aneh tentunya ketika aktivis dakwah kampus anti dengan KAMMI itu sendiri. Mungkin begitulah, ibarat kekhawatiran Soekarno terhadap sejarah kebesaran bangsanya sendiri sehingga muncul kata-kata fenomenal “jasmerah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Apalagi ketika kemunculan ‘anti’ tersebut datang dari para murabbi yang ada di kampus. Sesuatu yang bagi saya lebih dari “Kacang lupa pada kulitnya”. Entah apa penyebutannya. Sebegitu ‘ngeri’ kah Dauroh Marhalah 1 itu? Atau karena cap ‘politik’ yang menempel di baju KAMMI sehingga tidak mengizinkan untuk mengikutinya? Padahal itu hanya cap.

Adapula yang tidak mengizinkan untuk mengikuti alur pengkaderan di KAMMI itu sendiri, semisal mengikuti DM 2, DM3, dan suplemen lainnya. Ada alasan ‘konsekoensi’ yang katanya ‘mengerikan’, ada pula opini “tanpa KAMMI juga bisa upgrade kapasitas”, ada yang menggunakan dalih merasa belum pantas, ada yang menganggap karena KAMMI lebih kental politiknya, ada yang dikarenakan cap ‘pendemo’, kering ruhiyah dan sebagainya.

Bagi alasan semua itu, cukup sederhana bagi saya. Murabbi bukan sekedar ‘status’ namun amanah. Ia bukan orang yang sekedar pada tataran marhalah ta’rif, namun baginya sudah mulai men-ta’rif kepada orang lain, yang artinya murabbi punya tingkaan diatasnya secara level dibanding mutarabbinya (baca: binaan/ objek dakwah). Apakah itu bukan ‘konsekoensi’? konsekoensi sebagai seorang murabbi?

Ketika ada tempat lain untuk mengupgrade kapasitas. Saya jawab, “tentu, itu benar”. Namun, benarkah diri ini mampu untuk mencari tempat untuk meng-upgrade tersebut secara sendiri? Padahal di depan matanya sudah ada sistem kaderisasi yang mapan dengan segudang upgrade kapasitas yaitu di KAMMI? Adapun bagi yang merasa belum pantas, saya hanya bertanya, “Sampai kapan kalian akan merasa pantas?” saya kira semua sepakat, kalau seandainya dakwah ini membutuhkan orang yang sudah pantas, tentu di era seperti ini, tidak ada lagi yang mau berdakwah, dan mungkin terlupa dengan ajaran Rasul kita bahwa sampaikanlah walau satu ayat.

KAMMI lebih kental dengan politiknya, ini memang agak aneh, meski ada benarnya, karena KAMMI adalah gerakan mahasiswa dan gerakan dakwah tentunya, bukan gerakan politik semata. Namun politik yang dimaksud juga sudah jelas, bahwa tetaplah  prinsip KAMMI yang enam adalah hal yang harus selalu dipegang. Sudah jelas pula bahwa yang menjadi musuh adalah kebathilan. Justru dengan turut berperan dalam gerakan mahasiswa kita akan tahu dan paham kondisi umat dan masyarakat Indonesia. Kita akan dibelajarkan ‘merasa’ dalam hal sosial yang lebih peka. Bukan apatis terhadap masalah-masalah sekitar. Begitu pula cap pendemo, tentu perlu kita sadari bahwa memang KAMMI terbentuk sebagai kesatuan aksi. Bukan hal aneh cap tersebut, yang jadi aneh adalah mereka yang tidak pernah turut andil dalam kegiatan tersebut – sebagai upaya mengingatkan pemimpin –, jadi penonton, dan merasa bangga. Bangga dengan diamnya. Bangga sekedar menjadi penonton.

Namun benar pula, perlulah kita berprasangka baik, semoga ada alasan yang lebih ‘ideologis’ dibalik semua itu. Mengapa saya beranikan menulis hal ini, karena ini ada pada tataran internal aktivis dakwah itu sendiri. tentu akan sangat aneh bukan? Kecuali ketika kita sedang membahas masalah ini dari faktor eksternal (umum).

Adalah menjadi wajar ketika pandangan-pandangan miring itu dari luar, dari orang yang memang belum mengerti, atau dari orang yang memang tidak mau mengerti. Bagi orang yang memang belum mengerti, maka saya sarankan, buka referensi seluas-luasnya, mulai dari kran sejarah, dari kran keilmuan agama islam itu sendiri, dari para pelaku sejarah, bukan sekedar orang-orang yang bercuit yang tiada pernah merasakan perjuangan. Bagi orang yang belum mengerti dan memahami seperti apa itu KAMMI, sebenarnya sangat mudah ketika ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya. Bagi saya sendiri, silakan ikuti Dauroh Marhalah 1, ketika setelah mengikuti agenda tersebut, Insya Alloh kalian akan mengerti apa itu KAMMI. Ketika memang tidak bersepakat, silakan, cara dan sarana adalah hal yang fleksibel (baca: mutaghayyirat).

Bagi orang yang tidak mau mengerti, yang pekerjaannya hanya menebar berita negatif, pandangan miring, mencegah orang untuk ikut memperkeruh suasana, mencegah orang untuk tidak mau mengikuti organisasi ini, bagi saya sendiri, dengan terang saya katakan “Semoga Alloh memberikan kita petunjuk, kelapangan, serta kesabaran”. Semoga kami berbicara bukan dengan mulut saja, namun dengan kontribusi untuk bangsa ini.  Ya Alloh, saksikanlah, bahwa KAMMI telah menyampaikan.

Ketika kalian ingin tahu tentang KAMMI, maka kenalilah KAMMI dari diri KAMMI. []


Selasa, 18 Juli 2017

Dunia yang Ditentukan #Hastag

Dunia yang Ditentukan #Hastag
Oleh Viki Adi Nugroho


(Masih) dalam dunia yang sama, derasnya arus informasi dan komunikasi hari ini membuat sebuah ladang baru, bahkan arena ‘pertarungan’ baru, dan tentu garapan dakwah baru. Namun masih dalam ingatan kita bahwa informasi yang terus mengalir dengan begitu cepatnya, hampir dan sukar untuk dikontrol. Terbukti saja, ketika ada sebuah pesan (broadcast), tak ayal – terkadang belum selesai dibaca dan belum tahu asal muasal sumbernya – main asal copy-paste saja. Dunia copy-paste seolah-olah bak nasi sebagai makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Tentu ini menjadi miris, apalagi bagi seorang pegiat atau aktivis dakwah. (Ingin) menebar manfaat, namun berbuah bencana.

Isu dunia tak ayal pula, bisa digegerkan dan bisa ditentukan dengan hanya tanda pagar atau kita biasa menyebutnya #Hastag oleh kicauan-kicauan dunia maya (sosial media). Meski ini adalah versi sosial media, yang terkadang pula hastag yang ada adalah proses pertarungan kepentingan. Namun kita telah mengetahui era hari ini dimana ‘media netizen’ memang cukup menjadi perhatian dan perhitungan. Ini buktinya, pertarungan buzzer dengan hastagnya. Tak lupa dan masih segar ketika pertarungan hastag aksi bela islam, dunia jagad maya terasa panas oleh dua pertarungan kepentingan dari umat Islam dengan pembela ahok.

Berjibaku di dunia ini memang perlu, untuk era kini, bahkan humas gerakan pun perlu memiliki tim sosial media secara khusus, untuk membentengi hal-hal yang memang tidak diinginkan, karena sebenarnya ketika jurnalistik secara ‘formal’ terpenuhi pun itu sudah lumayan. Hanya saja memang jiwa zaman yang menuntut berbeda sehingga caranya pun harus mencoba mengimbanginya. Namun gerakan mahasiswa harus ‘pintar’ melihat peluang dan situasi yang ada, karena bisa saja, pembawaan sebuah isu di jagad dunia maya hanya untuk ‘menyibukkan’ gerakan mahasiswa (apalagi umat Islam) agar menghabiskan energi disitu, namun lupa bahwa akan ada kebijakan baru yang mungkin akan dikeluarkan oleh pemerintah. Dan gerakan mahasiswa lalai terhadap hal ini.

Akun-akun resmi sosial media yang aktif bisa kita lihat secara jelas (baca: twitter), namun pertanyaannya, sudahkah ada akun dari gerakan mahasiswa yang terukur dan masiv dalam skala besar? Mungkin bisa kita sadari akan rentannya akun gerakan, sehingga ada pilihan akun pribadi sebut saja misalnya. Lalu, akun aktivis mahasiswa siapa yang sekarang mampu mengcounter itu? Seandainya alumni, saya percaya, banyak yang memang sudah besar, seperti akun Pak Fahri, Pak Mahfud MD, dan sebagainya yang kebanyakan adalah alumni aktivis gerakan mahasiswa.

Memang konsistensi dalam hal ini benar-benar dibutuhkan, keuletan, kerja keras, kesabaran, serta kehati-hatian. Kiranya dunia ditentukan #Hastag, apa yang akan kita lakukan selaku gerakan mahasiswa, apalagi selaku gerakan dakwah, untuk menyiapkan dan menjawab tantangan zaman ini? []

Rabu, 10 Mei 2017

Seandainya Aku Seorang Sultan Abdul Hamid II

Seandainya Aku Seorang Sultan Abdul Hamid II
oleh Viki Adi Nugroho



Masih ingat dengan catatan-catatan harian Sultan Abdul Hamid II?
Akhirnya dengan adanya memoar itu, kita bisa mengetahui mana yang benar mana yang salah
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Hampir-hampir saja catatan-catatan tersebut terkendala karena diketahui oleh penjegal-penjegalnya, bahkan resiko menuliskan kebenaran ialah kematian
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Pena harus tetap berjalan dan digariskan, kebenaran harus dituliskan, diungkapkan, dan disampaikan, maka benarlah bahwa seharusnya aktivis dakwah ialah mata pena yang tajam
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Menggariskan pena bukan sekedar untuk mencitrakan saja, menggariskan pena juga bukan hal mudah, apalagi semakin kuatnya berbagai pihak yang berkonsolidasi menyerang umat ini, ini pula yang terjadi saat Sultan masih memiliki kekuasaan
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Berbagai konspirasi diciptakan, berbagai rekayasa-rekayasa sosial dibuat, penyudutan bertubi-tubi, dan menaikkan citra lawan-lawannya, semua tentu karena pena yang tajam
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Makarpun dibuat, bom, penggulingan, penuntutan, berbagai aksi, kok mirip-mirip kayak di Indonesia yah? hanya saja posisinya kebalik, mari coba kita baca pena ini kembali.. sebuah catatan Sang Sultan
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

westernisasi masuk ibarat gelombang pasang yang sukar surut, merubah paradigma anak muda dan golongan terpelajar, mereka bangga dengan pengadopsian, bahkan cara hidup hingga ideologi
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

sekulerisasi turut mendompleng, kesalahan anak muda melihat sejarah kemajuan Eropa dalam tatanan ini sangat fatal, tidak menempatkan pada tempatnya, umat Islam harusnya sakit melihat ini
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

keruntuhan Utsmani diambang pintu terngiang-ngiang, hingga benarlah ketika pimpinan-pimpinan sudah dihegemoni oleh musuh-musuh, pembenci-pembenci, apalah daya kesalihan pemimpin ketika berjalan sendirian
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

bagaimana kita merefleksikan hal ini dalam tataran dakwah kampus?

Jumat, 05 Mei 2017

Menggapai harapan, Menepis angan

Menggapai harapan, Menepis angan
(Sebuah refleksi profil Syakhsiyah Daiyah Fikriyah)
Oleh Viki Adi N

Struktur pada level komisariat merupakan pilar penyangga yang kuat. Merupakan sebuah pilar penyokong kader terbesar. Merupakan tempat ideologisasi pertama dalam penguatan-penguatan kepribadiannya. Struktur komisariat pun selalu menjadi tempat andalan untuk menurunkan berbagai macam kebijakan-kebijakan dalam kerja-kerja organisasi. Tanpa struktur komisariat, KAMMI tidaklah menjadi besar, karena inilah ujung akar-akarnya.
Proses ideologisasi KAMMI pun berjalan mematangkan diri pada level ini. Proses pembinaan yang tajarrud (bertahap) dimulai. Mulai dari proses ta’rif, takwin, hingga proses tanfidz dengan melakukan proses penjenjangan pada sistem pengkaderannya, mulai dari Anggota Biasa 1 (syakhsiyah islamiyah harokiyah), Anggota Biasa 2 (syakhsiyah daiyah fikriyah), hingga Anggota Biasa 3 (syakhsiyah qiyadah siyasiyah). Dimana profil-profil ini sebenarnya mengacu pada arkanul baiah, pada rukun amal, pada tahapan amal yang pertama, ishlahun-nafs (perbaikan diri), dimana perbaikan individu muslim ini mengacu pada 10 muwashofat dimana tujuannya ialah membentuk profil syakhsiyah islamiyah. Merunut profil inilah, kemudian KAMMI melakukan sebah proses pengkaderan untuk mewujudkan visi nya.
Pada level kkomisariat, bahkan kalau kita mengacu pada konstitusi yang ada di KAMMI, bahwa pada struktur kepengurusan komisariat bahkan dalam tatanan pendirian komisariat sebut saja, maka level anggota minimal yang akan mengisinya adalah pada AB1 dan AB2. Kita perlu mengingat bahwa AB1 adalah kader KAMMI yang sudah tersertifikasi pasca DM1 dan telah mengikuti MK1 (khos). Maka proses ideologisasi ini harus senantiasa berjalan di level komisariat jika memang ingin mempertahankan eksistensi dakwah kampus dalam tatanan gerakan mahasiswa. Bayangkan saja ketika para kader-kader KAMMI hanya berada pada level “pasca DM1”, sehingga tidak adanya peran para qoidah daiyah fikriyah (AB2)? Saya yakin kita sepakat dengan jawabnnya, “komisariat itu bubar!”. Hal ini telah banyak terjadi. Kejumudan dan kegundahan serta rasa was-was telah merasuk pada sebagian kader, meracuni para pemandu-pemandu MK, menusuk para pemangku kebijakan dalam tataran proses pembinaan, menimbulkan kontradiksi-kontradiksi dalam tataran lapangan, saling menyalahkan, menuduh, bahkan masih saja ada aktivis dakwah yang kemudian mempertanyakan “status” sebut saja AB2 dan kemudian dirinya tidak mau mengikuti alurnya karena dianggap tidak mampu menciptakan kader yang berkompeten dalam hal “kaffah”.
Inilah yang kemudian menjadi kegundahan, keresahan, bahkan menjadi banyak praduga-praduga, prasangka-prasangka, padahal serendah-rendahnya cinta, serendah-rendahnya ukhuwah islamiyah ialah ketika ia tidak memiliki prasangka-prasangka buruk, hasad, iri, dengki pada saudaranya! Apalagi bagi sesama orang yang mengaku sebagai aktivis dakwah?
Persoalannnya sebenarnya bukan pada profilnya, bukan pada statusnya, bukan pada Manhajnya, bukan pada alur pengkaderannya, namun pada “kader”nya. Hendaklah kita berbaik sangka dan bijak. Kita berpacu pada semangat idealisme tentu agar ketika belum mampu mencapai harapan - sebut saja langit ketujuh - paling tidak sampailah pada tataran bintang-bintang. Atau paling tidak adalah mencapai titik dimana lebih memilih kemudharatan yang sedikit. Maka pertanyaannya, memilih menjatuhkan komisariat atau memilih dengan egonya sendiri?
Jujur saja, ketika kita ingin berbicara ideologisasi secara terbuka, berbicara fikroh secara terbuka maka di KAMMI lah kita bisa berbicara itu! Mulai dari fikroh gerakan, fikroh yang menjadi acuan kita, fikroh yang menjadi landasan gerak kita, fikroh yang diharapkan akan lebih cepat dalam mencapai tujuan diantara yang lain, fikroh yang syumul. Kita tidak akan menemukannya bahkan dalam tataran SKI/LDK sekalipun yang dulunya merupakan cikal bakal berdirinya KAMMI ini.
Padahal kita menyadari bahwa fikroh ini adalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menguasai ilmu alatnya. Sehingga fikroh inilah yang akan mengarahkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam tataran kesatuan amal menuju harapan, bukan sekedar angan yang terpisah-pisah dalam geraknya, namun satu kesatuan secara beriringan dan berkesinambungan. Masihkah di lubuk kita ingin mempertanyakan penjenjangan dalam alur pengkaderan tersebut?
Bicara qoidah fikriyah (basis konsep) dalam siyasatudda’wah KAMMI, maka kita akan dibawa pada profil AB2 sebagai gaungnya, karena profil ini adalah profil syakhsiyah daiyah fikriyah. Profil yang bukan sekedar kader-kader yang semangat bergerak saja di tengah masyarakat, namun juga menjadi pemikir-pemikir dan konseptor-konseptor pada tataran ide dalam komisariatnya. Meski saya akui, bahwa pada level ini bukan berarti kader telah sempurna, namun saya akan lebih menghargai dalam prosesnya untuk menjadi yang lebih baik dan meningkatkan kesiapan, kapasitas, serta proses spirit untuk menjemput momentum-momentum yang ada di depan. Karena dikalangan kader sendiri terkadang masih ada saja yang kemudian mempertanyakan akan “status” tersebut, bahkan tidak jarang yang kemudian memiliki “status” tersebut namun tidak beramanah dalam menjalankan berbagai aktivitasnya, kontribusinya, serta kecakapan yang dimilikinya.
Inilah sebuah refleksi bagi kita semua, bukan sekedar bagi kader yang memiliki status “syakhsiyah daiyah fikriyah”, bukan sekedar kader yang tidak mau mengikuti alurnya, namun bagi kita semua! Khususnya bagi para kader KAMMI sebagai aktivis dakwah itu sendiri! Merefleksikan bahwa rapinya sturktur, bahwa dakwah yang bersifat tajarrud harus dilakukan, dan alur pengkaderan ini adalah bagian dari kita mengamalkan apa yang ada dalam prinsip tajarrud tersebut.
Sehingga kedepan tidak ada lagi “status” yang dipertanyakan. Kenapa? Karena kita ingin menciptakan profil itu menjadi profil yang menuju kesempurnaan. Lalu dimulai dari saiapa? tentu dari diri kita selaku kader KAMMI, bukan kemudian malah menghardik dan mengahsut sesama kader untuk tidak mengikuti alur ini. Semoga yang sedikit ini mampu menajdi refleksi bagi kita, sehingga kedepan yang ada hanyalah kontirbusi, kontribusi, serta kontribusi, buktikan dengan amal, buktikan dengan kerja nyata, buktikan hal itu. Tanpa menghasut, tanpa mencaci, namun beramal nyata. KAMMI menunggu kontribusi kita.
Begitulah, menggapai harapan, menepis angan!


Gaza, Sabtu, 6 Mei 2017, 9.10.