KAMMI lahir pasca
sidang FSLDK ke X ditutup, sehingga dari
sejarahnya saja kita akan mengetahui bahwa KAMMI dilahirkan oleh aktivis dakwah
kampus yang berbasis di masjid-masjid kampus di era orde baru. Maka menjadi
aneh ketika kader KAMMI bahkan KAMMI itu sendiri sudah tidak mau memikirkan
dakwah kampus itu sendiri dan sebaliknya, menjadi aneh juga ketika aktivis
dakwah kampus tidak berterima dengan KAMMI. Begitu pula, tidak perlu kita
naifkan, bahwasanya memang basis massa KAMMI sendiri adalah di kampus atau
komisariat-komisariat yang ada di kampus.
Dari sisi sistem
pengkaderan saja, KAMMI memiliki daya tawar yang mapan. Maka tawaran ini
sebenarnya mampu untuk menciptakan para ‘petarung’ sejati bagi dakwah itu
sendiri, apalagi dalam ruang lingkup kampus. Maka ketika kader-kader KAMMI
menyebar dalam lembaga intrakampus sebagai aktivis dakwah kampus, selain untuk
mengkader, nilai-nilai kebaikan yang dibawa itu pula yang diharapkan mampu
mewujudkan suasana ‘keislaman’ dalam lingkup kampus atau kita menyebutnya dalam
civitas akademika. Bukan hanya sekedar sebagai oposisi belaka seperti yang
sering digaungkan oleh banyak gerakan mahasiswa, namun lebih dari itu. Bagi
KAMMI dan kader-kadernya, mendukung atau oposisi itu hanya bagian dari strategi
saja, bukan ‘keabadian’, karena indikatornya jelas, apakah itu kebenaran atau
kebathilan.
Lesunya dakwah
kampus yang ada di era ini, mulai dari kurangnya pemahaman terhadap manhaj
dakwahnya sendiri, daya tawar mahasiswa yang dikatakan mulai minus, budaya
intelektual yang mulai menurun, hingga hal-hal yang berkaitan dengan teknis
seperti masalah indisiplin dalam pertemuan menjadi hal yang menghinggapi para
aktivis dawah kampus. Apalagi di era yang serba mudah ini. Bukannya disikapi
dengan bijak, namun malah terlalu memudahkan.
Kepahaman terhadap fikrah
dan manhaj perjuangannya
Kepahaman terhadap
fikrah dan manhaj perjuangan menjadi
kewajiban bagi setiap kader KAMMI, bisa kita lihat pada kompetensi atau kita
kenal sebagai Indeks Jati Diri Kader KAMMI. Dalam proses evaluasi (baca:
sertifikasi) untuk mendapatkan status Anggota Biasa 1 (AB1) saja. Kepahaman
terhadap fikrah dan manhaj ini harus bisa dikatakan “lulus” dan tuntas tentunya
ketika akan berlanjut menempuh jenjang berikutnya (Anggota Biasa 2/ AB2).
Menjadi barang aneh, ketika kader KAMMI ketika ditanya, apa fikrah kalian? Kemudian mendongak keatas
atau menunduk dan hening. Lalu selama ini, apa yang kemudian mampu membuat kita
bergerak ketika dalam hal ‘dasar’ ini saja kita belum mengetahui atau bahkan
tidak yakin dengan fikrah kita
sendiri? Atau jangan-jangan kita sendiri tidak memahami apa itu fikrah yang KAMMI maksud?
Seperti yang
pernah saya paparkan dalam tulisan saya pada buku Recharge Semangat Dakwah,
bahwa fikrah tidak hanya berbicara
pemikiran, tidak hanya sekedar berbicara tentang tsaqofah (wawasan) saja, namun fikrah
lebih dari itu, ia mampu membuat otak, akal, hati, tulang punggung, seluruh
jiwa, anggota badan, untuk senantiasa bergerak dan terus bergerak dengan
konsisten dan komitmen menuju apa yang menjadi cita-citanya, menjadi impiannya,
sesuai apa yang menjadi firman-Nya.
Maka secara
signifikan, fikrah ini bisa kita
lihat dalam buku induknya pada Risalah Ta’alim oleh Imam Hasan Al Banna, sebuah
risalah yang ditujukan kepada segenap aktivis dakwah yang ia memang siap untuk
memikul amanah-amanah besar ke depan. Maka dalam risalah ini kita akan
berbicara tentang Arkanul Bai’ah
(Rukun Bai’at). Dimana dimasing-masing rukun tersebut masih ada penjelasan
turunan-turunannya. Selian itu, lebih terang juga ada di Risalah Muktamar al-Khamis dengan delapan fikrah Ikhwanul Muslimin. Lalu, kita
sebagi kader KAMMI, masih terasa asingkah dengan Risalah ini? Lalu apa yang
selama ini menjadi landasan kita bergerak dalam dakwah ini?
Kepahaman terhadap
fikrah ini, seperti tertuang dalam
rukun yang pertama, Al-Fahmu (Paham),
dalam rukun ini terdapat Ushul Isyrin
(20 Prinsip) yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh aktivis dakwah. Dimana
salah satunya ialah berkaitan dengan Syumuliyatul
Islam (Kesempurnaan/ Kemenyeluruhan agama Islam). Dari sinilah kemudian
kita mulai bergerak dengan kepahaman, itu mengapa pula kemudian kita mau-maunya
untuk berdakwah, bergerak, masuk kepada lembaga, institusi, berbagai civitas
akademik, bergerak dengan terpadu, terkoordinir ke dalam semua ranah dan aspek
kehidupan yang ada. Bukankah karena kita memahami fikrah ini? Ini baru salah satu saja.
Pada manhaj dakwah
kita pula, hakekat dan tujuan dakwah haruslah dipahami oleh semua kader KAMMI.
Bahwa kita mengetahui, tujuan dakwah bukanlah kemenangan semata, tujuan dakwah
bukanlah untuk itu saja. Maka alangkah indahnya ketika Syekh Mustafa Mashyur mengatakan
dalam Fiqh Dakwahnya (2013: 5),
“Sebelum melangkah
jauh, satu hal yang harus kita perjuangkan adalah menjadikan Alloh tujuan
utama. Tiada satu pun yang dijadikan tujuan selain Alloh. Kita beriman
kepada-Nya dan kita melihat-Nya pada segala sesuatu dalam hidup kita. Kita
beribadah kepada-Nya dengan sepenuh hati dan kita mencari keridhoan-Nya di
setiap aktivitas kita. Kita melakukannya dengan penuh ikhlas dan yakin bahwa di
sanalah terletak kebahagiaan sejati, sebenar-benar petunjuk, dan kemenangan hakiki.
Alloh SWT berfirman: Maka segeralah kembali kepada (menaati) Alloh.
Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Alloh untukmu.
(Adz-Dzariyat: 50)”
Dari sini kita
melihat, apa tujuan dakwah itu. Sekarang kita mengerti dan memang harus
memahami ini sebagai prinsip yang harus dipegang teguh.
Adapun tabiat
dakwah itu sendiri, masih dalam tulisan beliau (2013: 6),
“Jalan dakwah
tidaklah ditaburi bunga-bunga, tapi sebuah jalan terjal yang sulit dan panjang.
Jalan itu tidak mudah dilalui dan bukan jalan yang singkat. Jalan dakwah
merupakan perseturuan antara yang haq dan batil. Ia menghajatkan kesabaran dan
ketabahan karena beban yang berat. Ia memerlukan kesungguhan hati, jerih payah,
dan menuntut banyak pengorbanan. Tidak boleh tergesa-gesa ingin mendapatkan
hasil, namun tidak boleh mudah putus asa dan patah semangat. Yang dituntut dari
dakwah itu adalah usaha dan amal yang kontinu, lalu biarlah Alloh yang
menentukan hasilnya pada waktu dan keadaan yang Dia kehendaki. Bahkan mungkin
Anda tidak dapat melihat hasilnya saat masih hidup karena Anda hanya diperintah
untuk beramal dan tidak harus melihat hasilnya.”
Dalam rukun baiat
yang kedua, ada rukun amal, sebagai kader KAMMI, kita juga harus paham terhadap
tahapan-tahapan amal (maratibul amal)
dakwah kita, dimulai dari islakhunnafs
(perbaikan diri sendiri), takwiinu
baytimmuslim (pembentukan keluarga muslim), irsyaadulmujtama’ (membimbing masyarakat), takhriirulwaton (pembebasan tanah air [dari penguasa asing]), ishlahul hukuumah (memperbaiki keadaan
pemerintah), i’datulkiyaaniddawliyyi lil
ummatil islaammiyah (usaha mempersiapkan seluruh aset negeri di dunia ini
untuk kemashlahatan umat islam), dan ustadziyyatul
‘alam (penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah islam).
Mengapa kita perlu
memahami ini? Karena dalam manhaj kita ini, dakwah kita adalah dakwah yang
bertahap, dakwah yang gradual, tidak sporadis dan anarkis. Hal ini juga agar
kita sebagai kader KAMMI mengetahui bahwasanya apa yang dilakukan kita di
kampus juga bagian dari tahapan-tahapan dalam maratibul amal ini. Sehingga apa yang kita susun, apa yang kita
lakukan, bukan sekedar amal sesaat saja, namun amal yang merupakan bagian dari
jangka panjang untuk menyiapkan proyek besar, proyek peradaban islam tersebut.
Pertemuan-pertemuan yang mulai indisiplin
Pertemuan-pertemuan
di era digital ini, seolah bisa digantikan hanya dengan berkomunikasi di medsos
saja. Ya, kita akui dan memang benar, zaman yang berbeda menuntut cara yang
berbeda. Namun begitu pula kah dengan musyawarah-musyawarah kita? Saya kira
berbeda ketika memang keadaan mendesak, genting, dan tidak memungkinkan. Sebut
saja sebagai ‘rukhshah’.
Pertemuan-pertemuan
ini juga bisa menandakan ‘militansi’ kader, tingkat kedisiplinan akan terlihat
jelas. Apakah siap menyambut seruan, baik dalam keadaan sedang lapang maupun
berat. Pertemuan juga dapat mengetahui ketika ada kader-kader yang memang
sedang ‘bermasalah’. Mari kita cek dalam pertemuan rutin saja, seberapa besar
presentase kehadirannya dalam segi kelengkapan personil?
Kita perlu
mengetahui bahwa pertemuan-pertemuan (baca: musyawarah) menjadi hal tsawabit (prinsip tetap) dalam dakwah
kita. Rasulullah senantiasa mencontohkan hal ini, bahkan Beliau selalu meminta
pendapat sahabat-sahabatnya. Hingga kita masih ingat ketika perang Uhud
diputuskan untuk diluar Madinah, ini karena keinginan sebagian besar sahabat
dan kemudian diputuskanlah kebijakan tersebut. Meski akhirnya, kekalahan yang
didapatkan. Tentu Alloh SWT ingin memperlihatkan berbagai hikmah dalam
peristiwa ini. Setelah keputusan ditetapkan, maka tiada lain adalah ketaatan
untuk melaksanakannya. Maka, bagaimana dengan pertemuan-pertemuan kita?
Daya tawar gerakan mahasiswa di depan birokrasi kampus
Ini yang kian hari
kian menurun. Daya tawar gerakan mahasiswa kian menurun di mata ‘penguasa’
kampus. Efek ancaman Drop Out menjadi
senjata ampuh ketika dihadapkan pada hal ini. Efek tuduhan pencemaran nama baik
juga menjadi salah satu kiat untuk menjerat berbagai tulisan dan opini yang
dibangun dalam mahasiswa baik sebagai mahasiswa itu sendiri apalagi sebagai
representasi dari sebuah gerakan, atau juga dalam pers mahasiswa itu sendiri.
Seperti beberapa kali kerap terjadi yang cukup ramai dikabarkan dalam media di
negara kita.
Kalau seandainya
berbicara ideologi, memang sudah selesai, semua gerakan sulit untuk menemukan
titik temu. Namun saya kira, masih banyak isu besar di kampus masing-masing
yang masih memiliki titik persamaan. Misal saja isu Sistem Uang Kuliah Tunggal
(UKT), yang kian waktu kian mulai besar gerakan perlawanannya di kampus-kampus.
Sebenarnya ketika berbagai gerakan ini mampu menyatukan sebagai isu bersama dan
mampu memberikan tekanan dalam hal ini birokrasi untuk menyelesaikan masalah
ini. Maka ‘daya tawar’ gerakan di mata ‘mahasiswa umum’ menjadi ‘pahlawan’ dan
di mata birokrasi, gerakan mahasiswa dinilai punya ‘kekuatan’ massa, yang mampu
menggiring opini mahasiswa. Semua diuntungkan, baik dari mahasiswa umum maupun
gerakan mahasiswa itu sendiri.
Maka ketika daya tawar ini muncul kembali, setiap kebijakan yang akan
dikeluarkan oleh birokrasi, akan lebih berhati-hati. Karena mereka tahu bahwa
gerakan mahasiswa ada di depan mereka. Peran-peran strategis inilah yang hari
ini harus dibangun kembali. Sekali lagi bukan hanya oposisi laten, namun
memposisikan diri dalam sifat ‘moderat’. Indikatornya jelas, menyengsarakan
atau tidak, kebatilan atau kebaikan. []