Meminang
Pahit, Mekar Kuncupnya*
Kecewa bukanlah pilihan seorang petarung & prajurit
sejati, saudaramu menunggu penuh kelindan di tapal batas pengharapan
DIBALIK SOHORNYA nama Yusuf bin Najmuddin Al-Ayyubi, yang
kita kenal sebagai Salahuddin Al-Ayyubi, ada tokoh besar yang mungkin luput
dari pandangan kita. Entah karena memang tidak tahu, atau memang tidak mau
mencari tahu. Dibalik semua itu, juga ada intrik yang menarik. Menjadi sebuah
barang langka, sebuah fragmen apik bertabur hikmah.
Zengi, atau kita lebih mengenalnya dengan Zanki. Dua
Zanki yang menyejarah hadir dalam sebuah kelesuan zaman. Hadir dalam sebuah
arena yang sulit untuk bangkit, namun penuh optimisme menatap akan kemenangan.
Karena ia yakin akan keagungan ajaran Islam. Pendudukan Jerusalem, pasca
penaklukan lalu oleh umat islam, untuk kali pertamanya terjadi. Kota Suci yang
memang disucikan oleh Islam, Yahudi dan Nasrani ini memang menjadi primadona
tersendiri dengan berbagai alasan dibaliknya. Pendudukan ini lebih kita kenal
sebagai Perang Salib. Pasca 1099 Masehi, tak banyak yang bisa dilakukan oleh
umat Islam. Perpecahan internal dalam tubuh umat Islam terus saja hadir di
tengah gempuran Pasukan Salib.
Imaddudin Zanki, seorang penguasa kota Mosul, Irak,
memulai perlawanan dengan menghimpun kekuatan Mosul dan Aleppo. Edessa menjadi
target pertama, meski secara politik tidak berpengaruh besar, karena Edessa
merupakan kota terlemah yang dikuasi oleh Tentara Salib. Namun dibalik inilah,
kekuatan islam pertama kalinya akan berhimpun kembali ke depannya untuk
melakukan perlawanan terhadap Tentara Salib.
Penghimpunan kekuatan dilakukan oleh Zanki, dimulailah dari
persatuan Suriah. Namun sayang, usahanya masih kandas, karena perang emir-emir
kecil di sekitar daerah tersebut masih saja terus bergemuruh meski musuh dari
luar ada di depan mata. Adapun Damaskus, tidak mau menyerahkan kekuasaannya, ia
lebih memilih dirinya sendiri dibanding harus berjuang bersama. Hingga wafatlah
Imaduddin Zanki.
PERJUANGAN TAK PERNAH BERHENTI, di tengah perpecahan yang
semakin menjadi, muncullah sosok Zanki muda, yaitu anak dari Imaddudin Zanki,
ia bernama Nuruddin Zanki. Zanki muda mengambil alih kepemimpinan ayahnya dan
melanjutkan perjuangan untuk menyatukan Timur Tengah. Ia berhasil melakukan
penaklukan di sekitar Antioch serta mampu menggulingkan emir Damaskus dengan
bantuan rakyat yang memang sudah jengah terhadap perpecahan sementara musuh
diluar sudah siap menerkam.
Bersatunya Suriah dan sekitarnya membuka harapan baru dan
optimisme umat Islam, bahkan sinarnya merekah terlihat kian nampak. Tahu bahwa
Suriah dan sekitarnya semakin kuat. Tetara Salib memutar otaknya, hingga
akhirnya ia mengalihkan perhatian ke sebuah kota kuno, kota Fir’aun yaitu
Mesir. Terjadilah peristiwa invasi itu sekitar 1163, diseranglah Kerajaan
Fatimiyyah yang waktu itu masih menguasai Mesir.
Yakin tak dapat mengalahkan Pasukan Salib, wazir dari
Kerajaan Fatimiyyah bernana Shawar, yang sebelum invasi telah digulingkan,
meminta bantuan Nuruddin Zanki. Zanki muda merasa was-was, ada prasangka
bercampur emosi. Akhirnya ia memutuskan untuk membantu demi persatuan Islam.
Akhirnya digempurlah Tentara Salib, bahkan Shawar mampu menjadi wazir agung
kembali.
Umat Islam melihat ini bisa menjadi sebuah “koalisi”,
antara Suni Suriah dan Syiah Mesir. Namun jalan berkata lain, tak disangka,
was-was Zanki menemukan suaranya. Shawar berbalik, ia mengadakan perjanjian
dengan aliansi Pasukan Salib yang baru saja diperangi. Akhirnya Zanki terpaksa
mundur ke Suriah.
Beberapa tahun kemudian Tentara Salib kembali menginvasi
kota kuno ini untuk dijadikan sebagai wilayahnya. Shawar meminta Zanki untuk
menolongnya, demi persatuan Islam. Zanki pun menerima tawaran tersebut. Ia
bersama pasukannya kembali ke Mesir dan memukul Pasukan Salib dan merebut
Mesir. Pasca kemenangan ini, Shawar di eksekusi karena telah berkhianat pada
perjanjian sebelumnya. Lalu Mesir menjadi kekuasaannya, dengan menempatkan
wazir baru yaitu Shirkuh. Pasca wafatnya Sirkuh inilah, yang nanti akan muncul
sosok pelanjut Zanki untuk melawan Kesombongan Tentara Salib, Salahuddin
Al-Ayyubi.
KITA TAK PERNAH BERPIKIR, bahkan menurunkan ego. Rasa
kecewa Zanki muda atas pengkhianatan seharusnya sudah cukup untuk dijadikan
alasan untuk ia tidak membantu Fatimiyyah di Mesir. Namun ia lebih memilih
Persatuan Islam, ia lebih memilih persatuan. Ia lebih memilih menurunkan ego,
menurunkan emosinya, demi sebuah persatuan. Orang secara umum juga pasti akan
berpikir sebaliknya. Namun tidak bagi Zanki. Ia tau peluang ke depan, ia tahu
kesempatan besar. Selain menurunkan ego pribadi, ia benar-benar mengetahui
bahwa umat sedang membutuhkan kekuatan baru untuk mengalahkan musuh diluar dibawah
persatuan Islam.
Ini perlu menjadi perhatian kita bersama. Kecewa yang
terjadi pada diri seorang, pada kelompok, pada organisasi, pada jamaah, bisa
jadi karena sandaran kita bukanlah yang Maha Kekal, bukanlah Sang Pencipta.
Kalaulah Zanki mendidik umat dengan persatuan Islam, apa yang sedang kita
lakukan hari ini? Sedikit saja, tak perlu jauh-jauh bicara persatuan Islam.
Bicara kelompok sendiri saja, masih saling hujat, masih saling menjatuhkan.
Seolah kecewa pada pribadi menjadi masalah besar yang dampaknya dibawa pada
kelompok.
Hari ini, engkaulah Zanki itu? []
*Viki Adi Nugroho
(Seorang anggota KAMMI)
Tulisan ini dikutip dari draft naskah untukmu muslim
negarawan (tunggu untuk segera terbit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar