Menilik Fenomena Post Tarbiyah dalam Dakwah Kampus*
Ketika
memilih pergi dari jamaah
Ada
tulisan yang cukup apik untuk mengungkapkan hal ini, meski ada beberapa hal
yang saya sendiri kurang bersepakat.
Yusuf
Maulana dalam bukunya "Konservatif Ilmiah" mengungkapkan akan
keresahannya dalam jamaah ini dengan berbagai ragam masukkan, meski ia tetap
mendukung dengan posisi lain.
Ada
pesan apik yang perlu ditangkap oleh kader tarbiyah hari ini.
Beliau
mengungkapkan, "Menjadi konservatif itu sebuah pilihan. Bertindak radikal
dan fundamentalis juga pilihan. Tinggal bagaimana semua ini dibingkai sikap
ilmiah. Bukan apologi dan pembenaran ideologis buta. Berislam ada
pertanggungjawaban. Dan pertanggungjawaban berharakah adalah dengan berpikir
ilmiah. Bertindak harus dengan ilmu dan pemahaman. Bukan grasak-grusuk demi
bergegas yang sifatnya kuantitatif. Dari soal momentum hingga raihan suara kian
besar." (2016: 5)
Coba
resapi kalimat tersebut, namun dalam setting yang berbeda, setting dakwah
kampus!
Fenomena
Post Tarbiyah, bukan hal aneh saat ini khususnya di kampus-kampus. Banyak
sekali penyebabnya. Saya tidak akan menyebutnya satu-satu. Silakan renungkan.
Hilmia,
tiba-tiba ia baru tersadar. ia menikmati bahwa dirinya telah ditemukan dalam
lingkungan yang baik. Pemahaman akan dakwah di kampus ia temukan. Ia memulai
membenahi diri. Sang kakaknya, Rasti, di kampus yang membinanya. Mengarahkannya
hingga Hilmia menjadi orang yang dikatakan "siap" mengemban amanah di
depannya. Dalam perhelatan pemira, pemilihan ketua HIMA PgPaud, Ia didukung
penuh dari kakak2nya, mulai dari persiapan penampilan hingga strategi peraih
suara. Menang hasilnya.
Proses
berjalan, diawal komunikasi lancar, namun terus berlanjut bulan ke depan nya,
ia mulai merasa sendiri. Kebersamaan yang biasa ia alami mulai terasa pergi.
seolah-olah amanahnya seperti bara api yang sedang dipegang. Kakak-kakaknya
yang dulu mendukung kini pergi meninggalkannya. Ia mulai jatuh. pergi.. pergi..
Memang
tak sesimpel kisah itu. Lebih banyak yang tidak terkoordinasikan tentu akan
lebih banyak dan pelik masalah yang terjadi. Anggap saja kisah tadi tidak ada.
Menurunkan
ego memang sulit, terlebih ketika merasa diri dalam kebenaran. Seolah orang
lain itu salah. Berdamai pun hanya wacana pemikiran yang menyalahi ucapan yang
keluar. Tampilan dan amanah yang ia emban tak cukup merepresentasikan sikapnya.
Memang
konservatif itu pilihan. Tapi mari tengoklah adik-adik kita yang sekarang
beramanh di lapangan. Mungkin mereka bingung, bingung tak ada yang mau
mendengar keluh kesahnya. Mereka kehilangan sosok. Sosok kakak-kakaknya yang
dulu menariknya, menyanjungnya. Sosokmu wahai para pemimpin!
Ujian
berjamaah muncul. Perasaan tidak enak lebih menguasai dibanding rasionalitas akal
berpikir mencerna masalah disekitar. Mengakomodir terasa sulit. Tapi bukankah
sulit bukan berarti tidak bisa?
Persoalan
resign dari jalan dakwah, perlu kita cermati, jangan2 bukan hanya karena mereka
yang akhirnya memilih pergi, tetapi karena dari kita sendiri selaku
"kakak" tidak menyediakan pilihan lain selain pilihan resign. Pilihan
yang ada karena kita tidak mau menurunkan ego. Pilihan yang ada karena kita
tidak mau mengalah. Pilihan yang ada karena kita tidak mau menimalisir
kepentingan pribadi kita untuk kepentingan mereka.
Anak Muda Berbicara
Mereka
berbicara dan mengikuti jangan-jangan karena belum mengerti dan memahami.
Bahkan seolah hanya doktrin yang ia dapat. Meski awalnya merasa aman. Namun
kian lama kian tak paham. Meski kita tahu bahwa ada sisi tertentu yang bisa
dipahami ketika sudah melakukan. Namun bukan pada ranah itu. Pengekangan
menanyakan sebuah keputusan atau kebijakan janganlah menjadi dalih untuk
melarang atau bahkan mencapnya sebagai orang tak patuh.
Budaya
keilmuan dan penajaman fikrah harus digelorakan di kaum anak muda ini. Agar
resign ini bukan pilihan yang satu-satunya disediakan. Fikrah yang tertancap
kuat akan mampu mencegah itu. Mencegah resign meski merasa sendiri, meski
merasa lelah, bahkan merasa sekarat.
Menjamu Fenomena
Fenomena resign ini perlu jadi evaluasi bersama,
adakah yang mulai terlupa pada diri kita? hingga menyebabkan mereka yang telah melekat pergi tak berpamit?
Mengoreksi
diri sendiri memang sulit, apalagi di hadapan orang lain. Apalagi di hadapan
orang yang merasa pernah memberi rasa sakit. Namun, lebih baik manakah orang
yang meminta maaf dengan orang yang menunggu-nunggu orang yang mau meminta
maaf?
Selamat
menjadi konservatif, ditengah arus besar yang berlawanan. []
*Viki
Adi Nugroho
(orang
yang belajar menulis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar