Rabu, 20 September 2017

Menilik Fenomena Post Tarbiyah dalam Dakwah Kampus

                        Menilik Fenomena Post Tarbiyah dalam Dakwah Kampus*
Ketika memilih pergi dari jamaah

Ada tulisan yang cukup apik untuk mengungkapkan hal ini, meski ada beberapa hal yang saya sendiri kurang bersepakat.
Yusuf Maulana dalam bukunya "Konservatif Ilmiah" mengungkapkan akan keresahannya dalam jamaah ini dengan berbagai ragam masukkan, meski ia tetap mendukung dengan posisi lain.
Ada pesan apik yang perlu ditangkap oleh kader tarbiyah hari ini.
Beliau mengungkapkan, "Menjadi konservatif itu sebuah pilihan. Bertindak radikal dan fundamentalis juga pilihan. Tinggal bagaimana semua ini dibingkai sikap ilmiah. Bukan apologi dan pembenaran ideologis buta. Berislam ada pertanggungjawaban. Dan pertanggungjawaban berharakah adalah dengan berpikir ilmiah. Bertindak harus dengan ilmu dan pemahaman. Bukan grasak-grusuk demi bergegas yang sifatnya kuantitatif. Dari soal momentum hingga raihan suara kian besar." (2016: 5)
Coba resapi kalimat tersebut, namun dalam setting yang berbeda, setting dakwah kampus!
Fenomena Post Tarbiyah, bukan hal aneh saat ini khususnya di kampus-kampus. Banyak sekali penyebabnya. Saya tidak akan menyebutnya satu-satu. Silakan renungkan.
Hilmia, tiba-tiba ia baru tersadar. ia menikmati bahwa dirinya telah ditemukan dalam lingkungan yang baik. Pemahaman akan dakwah di kampus ia temukan. Ia memulai membenahi diri. Sang kakaknya, Rasti, di kampus yang membinanya. Mengarahkannya hingga Hilmia menjadi orang yang dikatakan "siap" mengemban amanah di depannya. Dalam perhelatan pemira, pemilihan ketua HIMA PgPaud, Ia didukung penuh dari kakak2nya, mulai dari persiapan penampilan hingga strategi peraih suara. Menang hasilnya.
Proses berjalan, diawal komunikasi lancar, namun terus berlanjut bulan ke depan nya, ia mulai merasa sendiri. Kebersamaan yang biasa ia alami mulai terasa pergi. seolah-olah amanahnya seperti bara api yang sedang dipegang. Kakak-kakaknya yang dulu mendukung kini pergi meninggalkannya. Ia mulai jatuh. pergi.. pergi..

Memang tak sesimpel kisah itu. Lebih banyak yang tidak terkoordinasikan tentu akan lebih banyak dan pelik masalah yang terjadi. Anggap saja kisah tadi tidak ada.
Menurunkan ego memang sulit, terlebih ketika merasa diri dalam kebenaran. Seolah orang lain itu salah. Berdamai pun hanya wacana pemikiran yang menyalahi ucapan yang keluar. Tampilan dan amanah yang ia emban tak cukup merepresentasikan sikapnya.
Memang konservatif itu pilihan. Tapi mari tengoklah adik-adik kita yang sekarang beramanh di lapangan. Mungkin mereka bingung, bingung tak ada yang mau mendengar keluh kesahnya. Mereka kehilangan sosok. Sosok kakak-kakaknya yang dulu menariknya, menyanjungnya. Sosokmu wahai para pemimpin!
Ujian berjamaah muncul. Perasaan tidak enak lebih menguasai dibanding rasionalitas akal berpikir mencerna masalah disekitar. Mengakomodir terasa sulit. Tapi bukankah sulit bukan berarti tidak bisa?
Persoalan resign dari jalan dakwah, perlu kita cermati, jangan2 bukan hanya karena mereka yang akhirnya memilih pergi, tetapi karena dari kita sendiri selaku "kakak" tidak menyediakan pilihan lain selain pilihan resign. Pilihan yang ada karena kita tidak mau menurunkan ego. Pilihan yang ada karena kita tidak mau mengalah. Pilihan yang ada karena kita tidak mau menimalisir kepentingan pribadi kita untuk kepentingan mereka.

Anak Muda Berbicara
Mereka berbicara dan mengikuti jangan-jangan karena belum mengerti dan memahami. Bahkan seolah hanya doktrin yang ia dapat. Meski awalnya merasa aman. Namun kian lama kian tak paham. Meski kita tahu bahwa ada sisi tertentu yang bisa dipahami ketika sudah melakukan. Namun bukan pada ranah itu. Pengekangan menanyakan sebuah keputusan atau kebijakan janganlah menjadi dalih untuk melarang atau bahkan mencapnya sebagai orang tak patuh.
Budaya keilmuan dan penajaman fikrah harus digelorakan di kaum anak muda ini. Agar resign ini bukan pilihan yang satu-satunya disediakan. Fikrah yang tertancap kuat akan mampu mencegah itu. Mencegah resign meski merasa sendiri, meski merasa lelah, bahkan merasa sekarat.

Menjamu Fenomena
Fenomena  resign ini perlu jadi evaluasi bersama, adakah yang mulai terlupa pada diri kita? hingga menyebabkan  mereka yang telah melekat pergi tak berpamit?
Mengoreksi diri sendiri memang sulit, apalagi di hadapan orang lain. Apalagi di hadapan orang yang merasa pernah memberi rasa sakit. Namun, lebih baik manakah orang yang meminta maaf dengan orang yang menunggu-nunggu orang yang mau meminta maaf?

Selamat menjadi konservatif, ditengah arus besar yang berlawanan. []

*Viki Adi Nugroho

(orang yang belajar menulis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar