Jumat, 29 Desember 2017

Lesunya Dakwah Kampus

Lesunya Dakwah Kampus




KAMMI lahir pasca sidang FSLDK ke X ditutup,  sehingga dari sejarahnya saja kita akan mengetahui bahwa KAMMI dilahirkan oleh aktivis dakwah kampus yang berbasis di masjid-masjid kampus di era orde baru. Maka menjadi aneh ketika kader KAMMI bahkan KAMMI itu sendiri sudah tidak mau memikirkan dakwah kampus itu sendiri dan sebaliknya, menjadi aneh juga ketika aktivis dakwah kampus tidak berterima dengan KAMMI. Begitu pula, tidak perlu kita naifkan, bahwasanya memang basis massa KAMMI sendiri adalah di kampus atau komisariat-komisariat yang ada di kampus.

Dari sisi sistem pengkaderan saja, KAMMI memiliki daya tawar yang mapan. Maka tawaran ini sebenarnya mampu untuk menciptakan para ‘petarung’ sejati bagi dakwah itu sendiri, apalagi dalam ruang lingkup kampus. Maka ketika kader-kader KAMMI menyebar dalam lembaga intrakampus sebagai aktivis dakwah kampus, selain untuk mengkader, nilai-nilai kebaikan yang dibawa itu pula yang diharapkan mampu mewujudkan suasana ‘keislaman’ dalam lingkup kampus atau kita menyebutnya dalam civitas akademika. Bukan hanya sekedar sebagai oposisi belaka seperti yang sering digaungkan oleh banyak gerakan mahasiswa, namun lebih dari itu. Bagi KAMMI dan kader-kadernya, mendukung atau oposisi itu hanya bagian dari strategi saja, bukan ‘keabadian’, karena indikatornya jelas, apakah itu kebenaran atau kebathilan.

Lesunya dakwah kampus yang ada di era ini, mulai dari kurangnya pemahaman terhadap manhaj dakwahnya sendiri, daya tawar mahasiswa yang dikatakan mulai minus, budaya intelektual yang mulai menurun, hingga hal-hal yang berkaitan dengan teknis seperti masalah indisiplin dalam pertemuan menjadi hal yang menghinggapi para aktivis dawah kampus. Apalagi di era yang serba mudah ini. Bukannya disikapi dengan bijak, namun malah terlalu memudahkan.

Kepahaman terhadap fikrah dan manhaj perjuangannya
Kepahaman terhadap fikrah dan manhaj perjuangan menjadi kewajiban bagi setiap kader KAMMI, bisa kita lihat pada kompetensi atau kita kenal sebagai Indeks Jati Diri Kader KAMMI. Dalam proses evaluasi (baca: sertifikasi) untuk mendapatkan status Anggota Biasa 1 (AB1) saja. Kepahaman terhadap fikrah dan manhaj ini harus bisa dikatakan “lulus” dan tuntas tentunya ketika akan berlanjut menempuh jenjang berikutnya (Anggota Biasa 2/ AB2). Menjadi barang aneh, ketika kader KAMMI ketika ditanya, apa fikrah kalian? Kemudian mendongak keatas atau menunduk dan hening. Lalu selama ini, apa yang kemudian mampu membuat kita bergerak ketika dalam hal ‘dasar’ ini saja kita belum mengetahui atau bahkan tidak yakin dengan fikrah kita sendiri? Atau jangan-jangan kita sendiri tidak memahami apa itu fikrah yang KAMMI maksud?

Seperti yang pernah saya paparkan dalam tulisan saya pada buku Recharge Semangat Dakwah, bahwa fikrah tidak hanya berbicara pemikiran, tidak hanya sekedar berbicara tentang tsaqofah (wawasan) saja, namun fikrah lebih dari itu, ia mampu membuat otak, akal, hati, tulang punggung, seluruh jiwa, anggota badan, untuk senantiasa bergerak dan terus bergerak dengan konsisten dan komitmen menuju apa yang menjadi cita-citanya, menjadi impiannya, sesuai apa yang menjadi firman-Nya.

Maka secara signifikan, fikrah ini bisa kita lihat dalam buku induknya pada Risalah Ta’alim oleh Imam Hasan Al Banna, sebuah risalah yang ditujukan kepada segenap aktivis dakwah yang ia memang siap untuk memikul amanah-amanah besar ke depan. Maka dalam risalah ini kita akan berbicara tentang Arkanul Bai’ah (Rukun Bai’at). Dimana dimasing-masing rukun tersebut masih ada penjelasan turunan-turunannya. Selian itu, lebih terang juga ada di Risalah Muktamar al-Khamis dengan delapan fikrah Ikhwanul Muslimin. Lalu, kita sebagi kader KAMMI, masih terasa asingkah dengan Risalah ini? Lalu apa yang selama ini menjadi landasan kita bergerak dalam dakwah ini?

Kepahaman terhadap fikrah ini, seperti tertuang dalam rukun yang pertama, Al-Fahmu (Paham), dalam rukun ini terdapat Ushul Isyrin (20 Prinsip) yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh aktivis dakwah. Dimana salah satunya ialah berkaitan dengan Syumuliyatul Islam (Kesempurnaan/ Kemenyeluruhan agama Islam). Dari sinilah kemudian kita mulai bergerak dengan kepahaman, itu mengapa pula kemudian kita mau-maunya untuk berdakwah, bergerak, masuk kepada lembaga, institusi, berbagai civitas akademik, bergerak dengan terpadu, terkoordinir ke dalam semua ranah dan aspek kehidupan yang ada. Bukankah karena kita memahami fikrah ini? Ini baru salah satu saja.

Pada manhaj dakwah kita pula, hakekat dan tujuan dakwah haruslah dipahami oleh semua kader KAMMI. Bahwa kita mengetahui, tujuan dakwah bukanlah kemenangan semata, tujuan dakwah bukanlah untuk itu saja. Maka alangkah indahnya ketika Syekh Mustafa Mashyur mengatakan dalam Fiqh Dakwahnya (2013: 5),

“Sebelum melangkah jauh, satu hal yang harus kita perjuangkan adalah menjadikan Alloh tujuan utama. Tiada satu pun yang dijadikan tujuan selain Alloh. Kita beriman kepada-Nya dan kita melihat-Nya pada segala sesuatu dalam hidup kita. Kita beribadah kepada-Nya dengan sepenuh hati dan kita mencari keridhoan-Nya di setiap aktivitas kita. Kita melakukannya dengan penuh ikhlas dan yakin bahwa di sanalah terletak kebahagiaan sejati, sebenar-benar petunjuk, dan kemenangan hakiki. Alloh SWT berfirman: Maka segeralah kembali kepada (menaati) Alloh. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Alloh untukmu. (Adz-Dzariyat: 50)”

Dari sini kita melihat, apa tujuan dakwah itu. Sekarang kita mengerti dan memang harus memahami ini sebagai prinsip yang harus dipegang teguh.

Adapun tabiat dakwah itu sendiri, masih dalam tulisan beliau (2013: 6),
“Jalan dakwah tidaklah ditaburi bunga-bunga, tapi sebuah jalan terjal yang sulit dan panjang. Jalan itu tidak mudah dilalui dan bukan jalan yang singkat. Jalan dakwah merupakan perseturuan antara yang haq dan batil. Ia menghajatkan kesabaran dan ketabahan karena beban yang berat. Ia memerlukan kesungguhan hati, jerih payah, dan menuntut banyak pengorbanan. Tidak boleh tergesa-gesa ingin mendapatkan hasil, namun tidak boleh mudah putus asa dan patah semangat. Yang dituntut dari dakwah itu adalah usaha dan amal yang kontinu, lalu biarlah Alloh yang menentukan hasilnya pada waktu dan keadaan yang Dia kehendaki. Bahkan mungkin Anda tidak dapat melihat hasilnya saat masih hidup karena Anda hanya diperintah untuk beramal dan tidak harus melihat hasilnya.”

Dalam rukun baiat yang kedua, ada rukun amal, sebagai kader KAMMI, kita juga harus paham terhadap tahapan-tahapan amal (maratibul amal) dakwah kita, dimulai dari islakhunnafs (perbaikan diri sendiri), takwiinu baytimmuslim (pembentukan keluarga muslim), irsyaadulmujtama’ (membimbing masyarakat), takhriirulwaton (pembebasan tanah air [dari penguasa asing]), ishlahul hukuumah (memperbaiki keadaan pemerintah), i’datulkiyaaniddawliyyi lil ummatil islaammiyah (usaha mempersiapkan seluruh aset negeri di dunia ini untuk kemashlahatan umat islam), dan ustadziyyatul ‘alam (penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah islam).

Mengapa kita perlu memahami ini? Karena dalam manhaj kita ini, dakwah kita adalah dakwah yang bertahap, dakwah yang gradual, tidak sporadis dan anarkis. Hal ini juga agar kita sebagai kader KAMMI mengetahui bahwasanya apa yang dilakukan kita di kampus juga bagian dari tahapan-tahapan dalam maratibul amal ini. Sehingga apa yang kita susun, apa yang kita lakukan, bukan sekedar amal sesaat saja, namun amal yang merupakan bagian dari jangka panjang untuk menyiapkan proyek besar, proyek peradaban islam tersebut.

Pertemuan-pertemuan yang mulai indisiplin
Pertemuan-pertemuan di era digital ini, seolah bisa digantikan hanya dengan berkomunikasi di medsos saja. Ya, kita akui dan memang benar, zaman yang berbeda menuntut cara yang berbeda. Namun begitu pula kah dengan musyawarah-musyawarah kita? Saya kira berbeda ketika memang keadaan mendesak, genting, dan tidak memungkinkan. Sebut saja sebagai ‘rukhshah’.

Kita semua paham bahwa pertemuan secara langsung akan lebih menimbulkan kesan berarti. Selain pembahasan yang terang dan jelas, secara ukhuwah pun akan lebih ‘dapat’. Sekali dayung, dua sampai tiga pulau terlampaui. Pertemuan secara langsung juga akan menghilangkan prasangka-prasangka yang tidak baik, klarifikasi juga menjadi lebih jelas, serta lebih mudah untuk meluruskan berbagai pemahaman yang berbeda terhadap sebuah kebijakan.

Pertemuan-pertemuan ini juga bisa menandakan ‘militansi’ kader, tingkat kedisiplinan akan terlihat jelas. Apakah siap menyambut seruan, baik dalam keadaan sedang lapang maupun berat. Pertemuan juga dapat mengetahui ketika ada kader-kader yang memang sedang ‘bermasalah’. Mari kita cek dalam pertemuan rutin saja, seberapa besar presentase kehadirannya dalam segi kelengkapan personil?

Kita perlu mengetahui bahwa pertemuan-pertemuan (baca: musyawarah) menjadi hal tsawabit (prinsip tetap) dalam dakwah kita. Rasulullah senantiasa mencontohkan hal ini, bahkan Beliau selalu meminta pendapat sahabat-sahabatnya. Hingga kita masih ingat ketika perang Uhud diputuskan untuk diluar Madinah, ini karena keinginan sebagian besar sahabat dan kemudian diputuskanlah kebijakan tersebut. Meski akhirnya, kekalahan yang didapatkan. Tentu Alloh SWT ingin memperlihatkan berbagai hikmah dalam peristiwa ini. Setelah keputusan ditetapkan, maka tiada lain adalah ketaatan untuk melaksanakannya. Maka, bagaimana dengan pertemuan-pertemuan kita?

Daya tawar gerakan mahasiswa di depan birokrasi kampus
Ini yang kian hari kian menurun. Daya tawar gerakan mahasiswa kian menurun di mata ‘penguasa’ kampus. Efek ancaman Drop Out menjadi senjata ampuh ketika dihadapkan pada hal ini. Efek tuduhan pencemaran nama baik juga menjadi salah satu kiat untuk menjerat berbagai tulisan dan opini yang dibangun dalam mahasiswa baik sebagai mahasiswa itu sendiri apalagi sebagai representasi dari sebuah gerakan, atau juga dalam pers mahasiswa itu sendiri. Seperti beberapa kali kerap terjadi yang cukup ramai dikabarkan dalam media di negara kita.

Kalau seandainya berbicara ideologi, memang sudah selesai, semua gerakan sulit untuk menemukan titik temu. Namun saya kira, masih banyak isu besar di kampus masing-masing yang masih memiliki titik persamaan. Misal saja isu Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang kian waktu kian mulai besar gerakan perlawanannya di kampus-kampus. Sebenarnya ketika berbagai gerakan ini mampu menyatukan sebagai isu bersama dan mampu memberikan tekanan dalam hal ini birokrasi untuk menyelesaikan masalah ini. Maka ‘daya tawar’ gerakan di mata ‘mahasiswa umum’ menjadi ‘pahlawan’ dan di mata birokrasi, gerakan mahasiswa dinilai punya ‘kekuatan’ massa, yang mampu menggiring opini mahasiswa. Semua diuntungkan, baik dari mahasiswa umum maupun gerakan mahasiswa itu sendiri.

Maka ketika daya tawar ini muncul kembali, setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh birokrasi, akan lebih berhati-hati. Karena mereka tahu bahwa gerakan mahasiswa ada di depan mereka. Peran-peran strategis inilah yang hari ini harus dibangun kembali. Sekali lagi bukan hanya oposisi laten, namun memposisikan diri dalam sifat ‘moderat’. Indikatornya jelas, menyengsarakan atau tidak, kebatilan atau kebaikan. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar