Sederhana
Barangkali kata inilah yang menjadikan Abu Hamid al-Ghazali terpampang ke dalam jajaran tokoh sufi. Misykat menjadi salah satu karya fenomenalnya. Cintanya pada kehebatan lenyap pada putaran ia ber-intishab.
Adapun umat, sedang bertukar. Perdebatan masalah-masalah sepele menjadi ajang saling mengklaim kebenaran. Para filsuf dan aliran kebatinan menjadi momok hebat dalam berbicara. Perpecahan antar pemimpin wilayah dan ketidaktundukan pada otoritas Khalifah terjadi. Sementara, Kaum Frank membawa ruh mengerikan hingga al-Aqsha jatuh kepada mereka.
Lagi-lagi elegi cinta al-Ghazali memanggilnya. Ia turut hadir dalam jengkal intishabnya. Memanggilnya kembali menyelesaikan ceruk internal umat.
Kepiawaian nya bergelut ke gelanggang semua pemikiran dan semua aspek kehidupan membuatnya ampuh menyelesaikan kemelut itu.
Ianya memandang masalah internal umat sebagai biang utama. Tidak serta merta dari kaum frank.
Syair-syairnya terus merasuk ke jantung hati umat. Menanamkan harapan akan pembaruan diri.
Nizam al Mulk membujuknya untuk kembali menjabat di sekolah bergengsi Nizamiyah. Ia sempat mengajar namun pergi lagi.
Ia dedikasikan hidupnya untuk mendidik dengan konsep pembaruan pendidikannya.
Ia ingin mendidik umat agar optimis. Kerusakan pemimpin terjadi karena individu-individu tidak disiapkan untuk siap mengemban amanah.
Barangkali keramaian perbincangan dan deklarasi Sang Presiden Indonesia di tahun 2018 ini untu maju di tahun 2019 menjadi contoh sederhana. Ketika seorang 'ulama ditarik ke dalam pusaran kekuasaan yang di tentang oleh majelis 'ulama yang lainnya.
Tentu, pasangan sebelah harus melihat komposisinya. Nasionalis religius. Barangkali ini titik segar jika ingin melawan. Ijtima ulama sebenarnya sudah turut menyumbang andil akan teropong ini.
Kalau al-Ghazali bangun dan bangkit, ia tentu akan keras dan lantang menyuarakan bahwa ulama bukan barang jualan. Bukan ulama' dunia. Mungkin sikap Ustad Abdul Somad juga memberi keteladanan.
Masih ada nama hebat seperti Habib Salim sebenarnya. Tapi jika ini terjadi maka PKS akan sangat bangga, dan mungkin kader-kadernya akan bekerja ekstra yang dikenal dengan militansi-militansinya.
Sejumpa itu, al-Ghazali tentu akan mengingatkan. Bahwa selain jangka pendek yang berkaitan dengan segala urusan politik dan ekonomi. Masih ada yang harus ditilik dan di cermati. Ya! Pendidikan untuk menyiapkan para cendekiawan muslim untuk berdakwah di berbagai lini kehidupan. [ ]
Barangkali kata inilah yang menjadikan Abu Hamid al-Ghazali terpampang ke dalam jajaran tokoh sufi. Misykat menjadi salah satu karya fenomenalnya. Cintanya pada kehebatan lenyap pada putaran ia ber-intishab.
Adapun umat, sedang bertukar. Perdebatan masalah-masalah sepele menjadi ajang saling mengklaim kebenaran. Para filsuf dan aliran kebatinan menjadi momok hebat dalam berbicara. Perpecahan antar pemimpin wilayah dan ketidaktundukan pada otoritas Khalifah terjadi. Sementara, Kaum Frank membawa ruh mengerikan hingga al-Aqsha jatuh kepada mereka.
Lagi-lagi elegi cinta al-Ghazali memanggilnya. Ia turut hadir dalam jengkal intishabnya. Memanggilnya kembali menyelesaikan ceruk internal umat.
Kepiawaian nya bergelut ke gelanggang semua pemikiran dan semua aspek kehidupan membuatnya ampuh menyelesaikan kemelut itu.
Ianya memandang masalah internal umat sebagai biang utama. Tidak serta merta dari kaum frank.
Syair-syairnya terus merasuk ke jantung hati umat. Menanamkan harapan akan pembaruan diri.
Nizam al Mulk membujuknya untuk kembali menjabat di sekolah bergengsi Nizamiyah. Ia sempat mengajar namun pergi lagi.
Ia dedikasikan hidupnya untuk mendidik dengan konsep pembaruan pendidikannya.
Ia ingin mendidik umat agar optimis. Kerusakan pemimpin terjadi karena individu-individu tidak disiapkan untuk siap mengemban amanah.
Barangkali keramaian perbincangan dan deklarasi Sang Presiden Indonesia di tahun 2018 ini untu maju di tahun 2019 menjadi contoh sederhana. Ketika seorang 'ulama ditarik ke dalam pusaran kekuasaan yang di tentang oleh majelis 'ulama yang lainnya.
Tentu, pasangan sebelah harus melihat komposisinya. Nasionalis religius. Barangkali ini titik segar jika ingin melawan. Ijtima ulama sebenarnya sudah turut menyumbang andil akan teropong ini.
Kalau al-Ghazali bangun dan bangkit, ia tentu akan keras dan lantang menyuarakan bahwa ulama bukan barang jualan. Bukan ulama' dunia. Mungkin sikap Ustad Abdul Somad juga memberi keteladanan.
Masih ada nama hebat seperti Habib Salim sebenarnya. Tapi jika ini terjadi maka PKS akan sangat bangga, dan mungkin kader-kadernya akan bekerja ekstra yang dikenal dengan militansi-militansinya.
Sejumpa itu, al-Ghazali tentu akan mengingatkan. Bahwa selain jangka pendek yang berkaitan dengan segala urusan politik dan ekonomi. Masih ada yang harus ditilik dan di cermati. Ya! Pendidikan untuk menyiapkan para cendekiawan muslim untuk berdakwah di berbagai lini kehidupan. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar