Elegi di masa esok
Seorang Ayah berprofesi pemulung, seperti dikutip dalam kumpulan kisah nyata di majalah sabili yang kemudian di buku kan. Ia kebingungan mencari sejengkal tanah untuk menguburkan anaknya, setelah ia bergulat melawan sakitnya.
Seorang Ayah yang ditinggal oleh isterinya, dengan mendorong gerobak sampah berkeliling kemana tanpa arah untu mengais rizki, satu bocah berlarian dan satu bocah bergulat dengan sakitnya di dalam gerobak bersama sampah-sampah.
Saya tak ingat persis judul bukunya. Tapi Sabili pernah menoreh kejayaannya. Hingga ia mati. Mati bersama kenangan.
Sabili menorehkan para aktivis untuk berkarya. Menuliskan tinta kebaikan melalui pena.
Begitu juga tarbawi. Kini tiada keliatan akarnya.
Masuk pusaran arus, bertarung dan kalah. Zaman terus berjalan. Barangkali seorang Ayah pemulung itu juga berjuang mengarungi hidup. Ia yakin bahwa ini hanya sementara.
Benar sekali, masyarakat yang tau akhirnya menguburkan dengan membiayai keseluruhan dari mulai tanah hingga kesemua yang berkaitan dengan jenazah si kecil.
Berharap lebih untuk menjadikan cawapres dari seorang ulama boleh saja, tapi kini apakah Anda kecewa?
Bukan itu persoalannya, ijtima ulama bersifat rekomendasi dalam pertarungan kali ini. Tapi setidaknya, umat akan tercerahkan. Meski di seberang juga ada salah satu dari ulama kita. Barangkali pesantren akan bergoyang memenuhi ruang dialektika perbedaan dan ditepuk tangani sang penonton.
Meski tidak sekeras kalau saja oposisi kini memenuhi permintaan ijtima ulama, artinya Anda bisa berandai bahwa Islamisasi sepenuhnya belum berjalan. Indikasi sederhana, masih ada anggapan pemisahan agama dan negara.
Namun dari sini kita juga belajar. Bahwa teori Gelombang Ketiga Anis Matta berlaku.
Itulah yang menyebabkan mengapa masyarakat mau ikut menguburkan sang putri mungil Ayah si pemulung.
Karena ia adalah kewajiban dalam agama.
Begitu pula dalam memilih pemimpin.
Ijtima ulama kita sudah mendukung dan memutuskan.
Mari sambut kemenangan. [ ]
Seorang Ayah berprofesi pemulung, seperti dikutip dalam kumpulan kisah nyata di majalah sabili yang kemudian di buku kan. Ia kebingungan mencari sejengkal tanah untuk menguburkan anaknya, setelah ia bergulat melawan sakitnya.
Seorang Ayah yang ditinggal oleh isterinya, dengan mendorong gerobak sampah berkeliling kemana tanpa arah untu mengais rizki, satu bocah berlarian dan satu bocah bergulat dengan sakitnya di dalam gerobak bersama sampah-sampah.
Saya tak ingat persis judul bukunya. Tapi Sabili pernah menoreh kejayaannya. Hingga ia mati. Mati bersama kenangan.
Sabili menorehkan para aktivis untuk berkarya. Menuliskan tinta kebaikan melalui pena.
Begitu juga tarbawi. Kini tiada keliatan akarnya.
Masuk pusaran arus, bertarung dan kalah. Zaman terus berjalan. Barangkali seorang Ayah pemulung itu juga berjuang mengarungi hidup. Ia yakin bahwa ini hanya sementara.
Benar sekali, masyarakat yang tau akhirnya menguburkan dengan membiayai keseluruhan dari mulai tanah hingga kesemua yang berkaitan dengan jenazah si kecil.
Berharap lebih untuk menjadikan cawapres dari seorang ulama boleh saja, tapi kini apakah Anda kecewa?
Bukan itu persoalannya, ijtima ulama bersifat rekomendasi dalam pertarungan kali ini. Tapi setidaknya, umat akan tercerahkan. Meski di seberang juga ada salah satu dari ulama kita. Barangkali pesantren akan bergoyang memenuhi ruang dialektika perbedaan dan ditepuk tangani sang penonton.
Meski tidak sekeras kalau saja oposisi kini memenuhi permintaan ijtima ulama, artinya Anda bisa berandai bahwa Islamisasi sepenuhnya belum berjalan. Indikasi sederhana, masih ada anggapan pemisahan agama dan negara.
Namun dari sini kita juga belajar. Bahwa teori Gelombang Ketiga Anis Matta berlaku.
Itulah yang menyebabkan mengapa masyarakat mau ikut menguburkan sang putri mungil Ayah si pemulung.
Karena ia adalah kewajiban dalam agama.
Begitu pula dalam memilih pemimpin.
Ijtima ulama kita sudah mendukung dan memutuskan.
Mari sambut kemenangan. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar