Selasa, 25 Juli 2017

Kenali KAMMI dari diri KAMMI

Kenali KAMMI dari diri KAMMI
Oleh Viki Adi Nugroho 

Ketika ada aktivis dakwah kampus yang tidak berterima dengan KAMMI, sebagian menganggapnya wajar, mungkin karena perbedaan ‘cara’. Tapi apakah itu wajar yang normal? Jangan sampai pepatah ini berlaku, “Kacang lupa pada kulitnya”.

Memang KAMMI hadir dan dideklarasikan setelah diskusi-diskusi kelanjutan diluar FSLDK (Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) yang sedang berlangsung. Kita tahu bahwa sebagian besar dari aktivis LDK (Lembaga Dakwah Kampus) ini ialah aktivis berbasis Masjid Kampus. Kita tentu semua paham bahwa aktivitas berbasis masjid kampus di tahun 80-an diwarnai arus pemikiran Ikhwanul Muslimin yang waktu itu memang sedang menggema di berbagai belahan dunia. Bahkan sulit untuk melacak kapan pertama kali masuk dan melalui ‘jalur’ apa. Dengan konsep puritan akan kesempurnaan agama Islam inilah, yang kemudian merasuk menjadi pemahaman yang integral bahwa persoalan bangsa yang terjadi harus segera ditanggapi. Inilah sebagian dari kesebangunan sejarah umat islam, khususnya di Indonesia. Semoga saja kacang ini tidak lupa pada kulitnya.

Menjadi aneh tentunya ketika aktivis dakwah kampus anti dengan KAMMI itu sendiri. Mungkin begitulah, ibarat kekhawatiran Soekarno terhadap sejarah kebesaran bangsanya sendiri sehingga muncul kata-kata fenomenal “jasmerah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Apalagi ketika kemunculan ‘anti’ tersebut datang dari para murabbi yang ada di kampus. Sesuatu yang bagi saya lebih dari “Kacang lupa pada kulitnya”. Entah apa penyebutannya. Sebegitu ‘ngeri’ kah Dauroh Marhalah 1 itu? Atau karena cap ‘politik’ yang menempel di baju KAMMI sehingga tidak mengizinkan untuk mengikutinya? Padahal itu hanya cap.

Adapula yang tidak mengizinkan untuk mengikuti alur pengkaderan di KAMMI itu sendiri, semisal mengikuti DM 2, DM3, dan suplemen lainnya. Ada alasan ‘konsekoensi’ yang katanya ‘mengerikan’, ada pula opini “tanpa KAMMI juga bisa upgrade kapasitas”, ada yang menggunakan dalih merasa belum pantas, ada yang menganggap karena KAMMI lebih kental politiknya, ada yang dikarenakan cap ‘pendemo’, kering ruhiyah dan sebagainya.

Bagi alasan semua itu, cukup sederhana bagi saya. Murabbi bukan sekedar ‘status’ namun amanah. Ia bukan orang yang sekedar pada tataran marhalah ta’rif, namun baginya sudah mulai men-ta’rif kepada orang lain, yang artinya murabbi punya tingkaan diatasnya secara level dibanding mutarabbinya (baca: binaan/ objek dakwah). Apakah itu bukan ‘konsekoensi’? konsekoensi sebagai seorang murabbi?

Ketika ada tempat lain untuk mengupgrade kapasitas. Saya jawab, “tentu, itu benar”. Namun, benarkah diri ini mampu untuk mencari tempat untuk meng-upgrade tersebut secara sendiri? Padahal di depan matanya sudah ada sistem kaderisasi yang mapan dengan segudang upgrade kapasitas yaitu di KAMMI? Adapun bagi yang merasa belum pantas, saya hanya bertanya, “Sampai kapan kalian akan merasa pantas?” saya kira semua sepakat, kalau seandainya dakwah ini membutuhkan orang yang sudah pantas, tentu di era seperti ini, tidak ada lagi yang mau berdakwah, dan mungkin terlupa dengan ajaran Rasul kita bahwa sampaikanlah walau satu ayat.

KAMMI lebih kental dengan politiknya, ini memang agak aneh, meski ada benarnya, karena KAMMI adalah gerakan mahasiswa dan gerakan dakwah tentunya, bukan gerakan politik semata. Namun politik yang dimaksud juga sudah jelas, bahwa tetaplah  prinsip KAMMI yang enam adalah hal yang harus selalu dipegang. Sudah jelas pula bahwa yang menjadi musuh adalah kebathilan. Justru dengan turut berperan dalam gerakan mahasiswa kita akan tahu dan paham kondisi umat dan masyarakat Indonesia. Kita akan dibelajarkan ‘merasa’ dalam hal sosial yang lebih peka. Bukan apatis terhadap masalah-masalah sekitar. Begitu pula cap pendemo, tentu perlu kita sadari bahwa memang KAMMI terbentuk sebagai kesatuan aksi. Bukan hal aneh cap tersebut, yang jadi aneh adalah mereka yang tidak pernah turut andil dalam kegiatan tersebut – sebagai upaya mengingatkan pemimpin –, jadi penonton, dan merasa bangga. Bangga dengan diamnya. Bangga sekedar menjadi penonton.

Namun benar pula, perlulah kita berprasangka baik, semoga ada alasan yang lebih ‘ideologis’ dibalik semua itu. Mengapa saya beranikan menulis hal ini, karena ini ada pada tataran internal aktivis dakwah itu sendiri. tentu akan sangat aneh bukan? Kecuali ketika kita sedang membahas masalah ini dari faktor eksternal (umum).

Adalah menjadi wajar ketika pandangan-pandangan miring itu dari luar, dari orang yang memang belum mengerti, atau dari orang yang memang tidak mau mengerti. Bagi orang yang memang belum mengerti, maka saya sarankan, buka referensi seluas-luasnya, mulai dari kran sejarah, dari kran keilmuan agama islam itu sendiri, dari para pelaku sejarah, bukan sekedar orang-orang yang bercuit yang tiada pernah merasakan perjuangan. Bagi orang yang belum mengerti dan memahami seperti apa itu KAMMI, sebenarnya sangat mudah ketika ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya. Bagi saya sendiri, silakan ikuti Dauroh Marhalah 1, ketika setelah mengikuti agenda tersebut, Insya Alloh kalian akan mengerti apa itu KAMMI. Ketika memang tidak bersepakat, silakan, cara dan sarana adalah hal yang fleksibel (baca: mutaghayyirat).

Bagi orang yang tidak mau mengerti, yang pekerjaannya hanya menebar berita negatif, pandangan miring, mencegah orang untuk ikut memperkeruh suasana, mencegah orang untuk tidak mau mengikuti organisasi ini, bagi saya sendiri, dengan terang saya katakan “Semoga Alloh memberikan kita petunjuk, kelapangan, serta kesabaran”. Semoga kami berbicara bukan dengan mulut saja, namun dengan kontribusi untuk bangsa ini.  Ya Alloh, saksikanlah, bahwa KAMMI telah menyampaikan.

Ketika kalian ingin tahu tentang KAMMI, maka kenalilah KAMMI dari diri KAMMI. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar