Kenali KAMMI
dari diri KAMMI
Oleh Viki Adi Nugroho
Ketika
ada aktivis dakwah kampus yang tidak berterima dengan KAMMI, sebagian
menganggapnya wajar, mungkin karena perbedaan ‘cara’. Tapi apakah itu wajar
yang normal? Jangan sampai pepatah ini berlaku, “Kacang lupa pada kulitnya”.
Memang
KAMMI hadir dan dideklarasikan setelah diskusi-diskusi kelanjutan diluar FSLDK (Forum
Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) yang sedang berlangsung. Kita tahu bahwa
sebagian besar dari aktivis LDK (Lembaga Dakwah Kampus) ini ialah aktivis
berbasis Masjid Kampus. Kita tentu semua paham bahwa aktivitas berbasis masjid
kampus di tahun 80-an diwarnai arus pemikiran Ikhwanul Muslimin yang waktu itu
memang sedang menggema di berbagai belahan dunia. Bahkan sulit untuk melacak
kapan pertama kali masuk dan melalui ‘jalur’ apa. Dengan konsep puritan akan
kesempurnaan agama Islam inilah, yang kemudian merasuk menjadi pemahaman yang
integral bahwa persoalan bangsa yang terjadi harus segera ditanggapi. Inilah
sebagian dari kesebangunan sejarah umat islam, khususnya di Indonesia. Semoga
saja kacang ini tidak lupa pada kulitnya.
Menjadi
aneh tentunya ketika aktivis dakwah kampus anti dengan KAMMI itu sendiri. Mungkin
begitulah, ibarat kekhawatiran Soekarno terhadap sejarah kebesaran bangsanya
sendiri sehingga muncul kata-kata fenomenal “jasmerah”, jangan sekali-sekali
melupakan sejarah. Apalagi ketika kemunculan ‘anti’ tersebut datang dari para murabbi yang ada di kampus. Sesuatu yang
bagi saya lebih dari “Kacang lupa pada kulitnya”. Entah apa penyebutannya. Sebegitu
‘ngeri’ kah Dauroh Marhalah 1 itu? Atau karena cap ‘politik’ yang menempel di
baju KAMMI sehingga tidak mengizinkan untuk mengikutinya? Padahal itu hanya
cap.
Adapula
yang tidak mengizinkan untuk mengikuti alur pengkaderan di KAMMI itu sendiri,
semisal mengikuti DM 2, DM3, dan suplemen lainnya. Ada alasan ‘konsekoensi’
yang katanya ‘mengerikan’, ada pula opini “tanpa KAMMI juga bisa upgrade
kapasitas”, ada yang menggunakan dalih merasa belum pantas, ada yang menganggap
karena KAMMI lebih kental politiknya, ada yang dikarenakan cap ‘pendemo’,
kering ruhiyah dan sebagainya.
Bagi
alasan semua itu, cukup sederhana bagi saya. Murabbi bukan sekedar ‘status’ namun amanah. Ia bukan orang yang
sekedar pada tataran marhalah ta’rif,
namun baginya sudah mulai men-ta’rif
kepada orang lain, yang artinya murabbi punya tingkaan diatasnya secara level
dibanding mutarabbinya (baca: binaan/
objek dakwah). Apakah itu bukan ‘konsekoensi’? konsekoensi sebagai seorang
murabbi?
Ketika
ada tempat lain untuk mengupgrade kapasitas. Saya jawab, “tentu, itu benar”. Namun,
benarkah diri ini mampu untuk mencari tempat untuk meng-upgrade tersebut secara
sendiri? Padahal di depan matanya sudah ada sistem kaderisasi yang mapan dengan
segudang upgrade kapasitas yaitu di KAMMI? Adapun bagi yang merasa belum
pantas, saya hanya bertanya, “Sampai kapan kalian akan merasa pantas?” saya
kira semua sepakat, kalau seandainya dakwah ini membutuhkan orang yang sudah
pantas, tentu di era seperti ini, tidak ada lagi yang mau berdakwah, dan
mungkin terlupa dengan ajaran Rasul kita bahwa sampaikanlah walau satu ayat.
KAMMI
lebih kental dengan politiknya, ini memang agak aneh, meski ada benarnya,
karena KAMMI adalah gerakan mahasiswa dan gerakan dakwah tentunya, bukan
gerakan politik semata. Namun politik yang dimaksud juga sudah jelas, bahwa
tetaplah prinsip KAMMI yang enam adalah
hal yang harus selalu dipegang. Sudah jelas pula bahwa yang menjadi musuh
adalah kebathilan. Justru dengan turut berperan dalam gerakan mahasiswa kita
akan tahu dan paham kondisi umat dan masyarakat Indonesia. Kita akan
dibelajarkan ‘merasa’ dalam hal sosial yang lebih peka. Bukan apatis terhadap
masalah-masalah sekitar. Begitu pula cap pendemo, tentu perlu kita sadari bahwa
memang KAMMI terbentuk sebagai kesatuan aksi. Bukan hal aneh cap tersebut, yang
jadi aneh adalah mereka yang tidak pernah turut andil dalam kegiatan tersebut –
sebagai upaya mengingatkan pemimpin –, jadi penonton, dan merasa bangga. Bangga
dengan diamnya. Bangga sekedar menjadi penonton.
Namun
benar pula, perlulah kita berprasangka baik, semoga ada alasan yang lebih
‘ideologis’ dibalik semua itu. Mengapa saya beranikan menulis hal ini, karena
ini ada pada tataran internal aktivis dakwah itu sendiri. tentu akan sangat
aneh bukan? Kecuali ketika kita sedang membahas masalah ini dari faktor
eksternal (umum).
Adalah
menjadi wajar ketika pandangan-pandangan miring itu dari luar, dari orang yang
memang belum mengerti, atau dari orang yang memang tidak mau mengerti. Bagi
orang yang memang belum mengerti, maka saya sarankan, buka referensi
seluas-luasnya, mulai dari kran sejarah, dari kran keilmuan agama islam itu
sendiri, dari para pelaku sejarah, bukan sekedar orang-orang yang bercuit yang
tiada pernah merasakan perjuangan. Bagi orang yang belum mengerti dan memahami
seperti apa itu KAMMI, sebenarnya sangat mudah ketika ingin mengetahui apa yang
ada di dalamnya. Bagi saya sendiri, silakan ikuti Dauroh Marhalah 1, ketika
setelah mengikuti agenda tersebut, Insya
Alloh kalian akan mengerti apa itu KAMMI. Ketika memang tidak bersepakat,
silakan, cara dan sarana adalah hal yang fleksibel (baca: mutaghayyirat).
Bagi
orang yang tidak mau mengerti, yang pekerjaannya hanya menebar berita negatif,
pandangan miring, mencegah orang untuk ikut memperkeruh suasana, mencegah orang
untuk tidak mau mengikuti organisasi ini, bagi saya sendiri, dengan terang saya
katakan “Semoga Alloh memberikan kita petunjuk, kelapangan, serta kesabaran”.
Semoga kami berbicara bukan dengan mulut saja, namun dengan kontribusi untuk
bangsa ini. Ya Alloh, saksikanlah, bahwa
KAMMI telah menyampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar