Jumat, 07 Desember 2018

Buku dan Kehidupan

Buku dan Kehidupan



Oleh: Viki Adi N

Zaman kebesaran Islam baik di era Abbasiyah dengan ibukota Baghdad maupun kelanjutan Umawiyah di Spanyol dengan Andalusia menyisakan potret renungan. Setidaknya karena kejungkirbalikkan yang sudah kian lama. Tidak! Bukan! Bukan karena umat Islam mundur, bukan demikian. Tapi karena umat tertinggal. Masih ada waktu untuk mengejar kalaulah umat yakin dan percaya akan janji Allah Swt dan sabda Rasul Saw. Namun, masihkah optimis itu hadir?

Di zaman yang disebut "masa emas" itu, aktivitas intelektual terus bergulir. Bahkan tercatat banyaknya para penimba ilmu dari belahan Barat sana. Fenomena yang kini sekali lagi terbalik! Semua berlomba ke barat. Ini tak mengapa? Apa yang kita musti petik?

Khazanah intelektual Islam kala itu dan budayanya menghasilkan ruang ijtihad yang begitu besar. Bahkan pada pencapaian karya ilmiah yang menembus pada masa-masa sebelumnya (baca: Yunani). Meski efek fenomena negatifnya hadir pula di era akhir abbasiyah. Memang kita perlu jujur. Kenyamanan yang kadung hadir melupakan kebutuhan akan kekuatan dan persatuan. Semua terjebak pada kedigdayaan individu dan penganggapan dirinya yang paling benar.

Buku menjadi bagian tak terpisahkan di masa itu. Seorang penerjemah mampu menjadi orang kaya mendadak! Para peneliti, penulis, ilmuan, 'ulama, pasti terjamin hidupnya! Ia digaji oleh negara. Bisakah kita membandingkannya di hari ini?

Perpustakaan di tiap rumah warga di zaman itu saja terbilang ribuan jumlahnya. Belum perpustakaan yang dimiliki pemerintahan dari tingkat kecil hingga tingkat pusat. Orang rela membelanjakan uangnya untuk membeli buku dibanding sesuap makan. Barangkali berbeda dengan hari ini yang lebih rela meminum kopi diatas 20.000 dibanding membeli satu buku!

Para aktivis sebuah gerakan mengaku telah menjadi ideolog dari sebuah gerakannya pun tak luput dari hal ini. Bahkan pemikiran sang pendiri gerakan atau gagasan gerakannya sendiri saja tidak tahu. Semua berjalan layaknya air yang mengalir.

Ketidaksengajaan saya ialah menemukan buku 1001 inventions; The Enduring Legacy of Muslim Civilization karya Prof. Salim T.S. Al-Hassani, saya membeli dengan harga 250.000 rupiah. Harga waktu itu padahal bisa lebih dari 500.000. Setidaknya saya sedang tidak ingin bernostalgia dengan "the golden age" itu. Saya sekedar membaca bolak-balik, dan merenungi sejenak.

Ya! Kita butuh ini. Budaya intelektual dan keilmuan umat harus terus ditingkatkan. Menyiapkan pemimpin dan peradaban besar tak akan mampu ditopang tanpa hal ini. Saya mengerti mengapa al-Ghazali kemudian tidak langsung menyerukan jihad di awal perang salib itu. Ya, saya tau kini. Inilah kitab ihya ulumuddin hadir. Dan kau tau selama 90 tahun itu lahirlah generasi Salahuddin beserta pasukannya? []

Tulisan sebelumnya di post di sini

Sabtu, 20 Oktober 2018

Godaan; Antara Ego, Prasangka, & Firasat

Godaan
Antara ego, prasangka, & firasat

Dalam setiap sub peri kehidupan, akan kita dapati berbagai dugaan-dugaan. Akan hadir pula syak-syak di tiap individu. Pemikiran itu hadir menelorong dua hal, iya atau tidak, negatif atau positif.

Saking condongnya prasangka kepada ketidakbaikan, itulah mengapa Rasulullah Saw memerintahkan untuk menjauhinya. Di dalam prasangka inilah ego kemudian berperan. Apakah ia akan menundukkannya atau malah meneruskannya.

Ego, ialah kunci untuk memahami diri. Tutur Said Nursi. Ia kunci yang memiliki kunci. Kiranya tiap manusia paham dengan hal ini. Kiranya pula ia mampu mengendalikan raja nya raja pada manusia. Ialah Hati.

Ego pada diri manusia terus menggelayuti dalam setiap tindak-tanduknya. Ia akan memilih di antara dua kutub yang berlawanan. Prasangka ikut turut campur menguatkan ke arah keragu-raguan.

Dalam hal ini, ketika seorang individu mempunyai orientasi lurus dalam dakwah. Harusnya ego dan prasangka ke arah yang buruk pada saudara seiman bisa diminimalisir. Terkadang keberpengetahuan kita tidak sebanyak pengetahuan yang ada dalam alam realita sekitar kita. Inilah mengapa firasat itu perlu dihadirkan.

Hati, tegas al-Ghazali, menjadi Raja yang akan mengelola kepribadian insan. Dalam perseturuan dengan saudara seiman dengan beda pendapat tak harus disikapi dengan prasangka buruk dan ego yang menguat untuk menjatuhkan.

Sudah tidak seharusnya, ketika berbeda pendapat lantas ia tak mau turut dalam likuan jalan dakwah. Masih ada ruang-ruang untuk terus berperan meski barangkali berbeda arah haluan dengan tetap satu tujuan. Pun bagi yang kemudian memilih berpisah atau berhenti bukan lantas ia dicaci. Ingat kawan! kita masih bersaudara.

"Hai orang-orang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu... " ; begitu Allah Swt menutup surat ali-Imran. Allah Swt meminta kita untuk bersabar dan menguatkan kesabaran ; semoga kita selalu dikuatkan.


Viki Adi N
Late post
Ditulis pasca pemilihan Ketua KAMMI PD Sleman 2018-2020

Sabtu, 08 September 2018

Angka-Angka yang Termakzulkan



Angka-Angka yang Termakzulkan

Oleh: Viki Adi N

Hujan di bulan September sejenak memberi rasa lega dikarenakan rindu yang telah dirasa. Baik oleh katak yang lama bertengger di balik pot dan got kering, rumput yang masih terpendam hingga manusia-manusia yang kadung rakus serta lupa terhadap apa yang disebut dengan syukur. Hujan ini jugalah yang membawa kita pada titik permulaan angka baru di tahun qomariyah.

Anda, tentu saja selaku pelaku aktif medsos akan dihujani dengan "tabligh akbar", kajian hingga diskusi berkaitan dengan refleksi tahun baru. Meski ramainya tidak terlihat seramai percekcokan cebong & kampret atau sejenisnya. Jangan harap ada kembang api, Anda cukup melihat ramai "postingan" di medsos saja, sejatinya Anda sudah bangga (harusnya). Toh, ini bukan tahun baru hura-hura layaknya 1 januari itu. Namun bagaimana kondisi di medsos berkaitan dengan 1440? Anda bisa melihat sendiri.

Saya, Anda, Kita ialah anak bangsa yang sedang tertatih menjalani masa sulit. Entah bagi "mereka" yang tertawa terbahak dengan mengatakan harga kopi masih sama serta mengatakan melemahnya rupiah tak ada apanya. Di sisi lain, kita juga disuguhkan pemandangan susahnya gawai lokal akan meluncurkan tipe barunya dikarenakan salah satu komponennya impor sehingga memasang harga saja perlu berpikir keras meski baru saja tadi gawai bertipe baru dari negeri tembok Cina di flash sale kan dengan harga murah. Miris tentunya. Belum berbicara produk lainnya. Pemandangan semua disuguhkan pada kacaunya manusia di segala urusan. Penyimpulannya pada isu politik yang kian pedas dan tak ramah lagi. Revolusi Mental yang pernah menjadi esai tulisan Pemimpin tertinggi negeri ini hilang entah kemana. Terbukti dengan banyaknya KKN hingga persoalan impor produk pangan yang mana produk lokal masih mencukupi.

Peliknya semua ini perlu kita sadari betul bahwa acapkali kita mengabaikan sebuah relung terdalam dari pembentuk negeri ini. Alih-alih terus berkerja memperbaiki dan menambal sulam sana sini namun masih abai pada aspek paling fundamentalnya. Tentu dengan tidak mengabaikan peran di segala bidang.

Ia ialah sebongkah hati dalam diri individu-individu pembentuk masyarakat dan negara.

Dalam setiap tokoh besar, mulai dari ulama hingga pakar pendidikan, mulai dari Hasan al-Banna hingga al-Attas, mulai dari Nursi hingga Natsir. Semua menyatakan didikan yang baik dari sebuah individu inilah yang akan membawa perubahan besar.

Hati selalu menjadi jantungnya manusia yang mengarahkan pada suatu perbuatan. Semua permasalahan juga bermula dari sini. Mulai percekcokan antara suami isteri sampai perpolitikan dalam perebutan kekuasaan. Semua tertancap erat dalam kuasa bersih kotor nya hati.

Tahun 1440 Hijriah bukanlah tahun untuk memulai perbaikan. Namun mengingatkan kita, setidaknya batas usia kerja kita akan segera berakhir. Meski esok hari kita tidak tau taqdirnya. Artinya perubahan dalam diri diharuskan saat ini pula, bukan menunggu esok dan esoknya lagi. Tahun 1440 hanyalah sejenak lecutan untuk mengingatkan kita. Bahwa September ini bukanlah derai hujan kesedihan untuk meratapi masalah yang terus menjangkiti negeri ini. Namun untuk segera berbenah hati dan kemudian bangkit dengan optimisme serta arah baru untuk membangun kebaikan-kebaikan.

Di negeri ini tak kurang orang baik. Lalu? Dari berjuta orang itu tidak adakah yang layak untuk memimpin? Anda bisa merenunginya.

Angka 1440 akan terdzalimi ketika bumi makin menua namun penduduknya makin tak merawatnya. Mari tunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta melalui prosesi merawat negeri dengan menyiraminya melalui harumnya keringat dan darah sekalipun.

1440, semoga menjadi titik balik refleksi dari keangkuhan dan kebiadaban menjadi insan yang beradab. []

Selasa, 14 Agustus 2018

OSPEK & Masa Depan Peradaban

Ospek & Masa Depan Peradaban
Oleh Viki Adi N



Kalau kemarin saya ingat tentang Sabili yang jatuh dan hilang. Kini, saya teringat Ospek. Tentu banyaknya postingan di beranda, entah facebook, whatsapp, atau instagram membuat memori itu hidup.

Ospek atau entah bernama apa, dimana tiap kampus punya sebutan yang berbeda merupakan bagian dari pengenalan kampus kepada mahasiswanya. Dari segala tetek bengeknya hingga seharusnya "peran sebagai mahasiswa". Namun yang kedua ini biasanya hanya datang dari formalitas jargon tri dharma perguruan tinggi saja.

Tentu saya juga tidak akan menguliti perbedaan yang mencolok itu di setiap ospek dari mulai tingkat sepele sampai bekaitan dengan "ideologi". Toh pusarannya akan kita lihat menuju ke tengah. Hanya sedikit yang masih mempertahankan ideologi dan idealismenya di tengah percaturan yang semakin rumit ini. Ini berlaku di semua hal. Kecuali konsep Aqidah yang sudah tidak bisa ditawar. Itu bedanya!
Peradaban selalu dimulai dari unsur terkecil yang mempengaruhinya. Individu selalu menjadi kajian menarik, karena ialah yang menjadikan peradaban itu eksis.

Bicara Kampus, tentunya ini lah yang menjadi tingkat pendidikan tertinggi. Dimana harapan munculnya orang-orang hebat untuk mensejahterakan bangsa hadir. Meski faktanya, hanya dihasilkan para pekerja sesuai kebutuhan bidang garapan saja. Liberalisme muncul, bahkan jurusan dan fakultas bisa saja menyesuaikan lapangan pekerjaan.
Untung saja, di kampus Anda belum muncul jurusan youtubers atau sejenisnya.
Saya jadi teringat konsep al-Attas yang mengkonsepkan bahwa Universitas sebenarnya adalah ceminan dari diri manusia. Artinya dengan konsep Universitas versi Barat ini sangat tepat jika hasilnya menjadikan individu yang "sekuler".

Dari tujuan saja sudah salah. Gagasan al-Attas lebih bertitik bahwa tujuan pendidikan bukan sekedar menghasilkan warga negara yang baik tapi sebagai individu yang baik. Tepat sekali Hasan al-Banna juga merumuskan ini dalam tahapan dakwahnya. Atau barangkali konsep ta'dib yang dibawa al-Ghazali dalam kecamuk perang Salib dimana perbaikan individu (baca: internal umat) lebih tepat menjadi obat mujarab dibanding hanya menyalahkan keadaan dari luar.

Setidaknya itu juga yang membuat Iqbal berpikir dan terus berkeinginan mewujudkan pembaruan dalam pemikiran Islam konemporer dimana Barat sebagai ideologi telah merambah dalam kancah yang tidak semestinya.

Inilah yang oleh al-Attas disebut permasalahan terbesar umat hari ini. Ialah kerancuan Ilmu pengetahuan. Ditambah dengan hilangnya adab (lost of adab), maka dari sini akan dihasilkan individu-individu yang rusak. Serta dari individu ini akan dihasilkan para pemimpin yang palsu.
Permasalahan ini pelik. Karena bukan saja dihadapkan pada penggantian sistem luaran tapi juga sudah terkaburnya konsep ilmu yang benar. Sehingga butuh penjelasan khusus dan kerja besar untuk mengimplementasikannya.
Dari sinilah metodologi epistemologi muncul. Berusaha membenahi kesalahan metode klaim (mengklaim kebenaran sains dengan ayat Al Quran dan hadist), metode integrasi yang dibawa Ismail Raji al Faruqi, metode sains sakral oleh Seyyed Hossen Nasr maupun metode lawas yang dibawa Prof Abdus Salam sebagai peraih Nobel Fisika pertama.

Begitulah dengung Islamisasi masa kini. Butuh orang radikal yang mampu dan berani mengkonsepkan. Serta butuh pemangku kebijakan yang arif untuk menyokong. Khususnya konsep dan realisasi Universitas yang berkaca pada diri manusia yang benar sesuai konsep Islam.

Dan bicara Islam ia tak sekedar bicara jenggot, tapi berbicara peradaban.

Selamat bereuforia di Ospek!

Jumat, 10 Agustus 2018

Elegi di Masa Esok

Elegi di masa esok

Seorang Ayah berprofesi pemulung, seperti dikutip dalam kumpulan kisah nyata di majalah sabili yang kemudian di buku kan. Ia kebingungan mencari sejengkal tanah untuk menguburkan anaknya, setelah ia bergulat melawan sakitnya.

Seorang Ayah yang ditinggal oleh isterinya, dengan mendorong gerobak sampah berkeliling kemana tanpa arah untu mengais rizki, satu bocah berlarian dan satu bocah bergulat dengan sakitnya di dalam gerobak bersama sampah-sampah.

Saya tak ingat persis judul bukunya. Tapi Sabili pernah menoreh kejayaannya. Hingga ia mati. Mati bersama kenangan.

Sabili menorehkan para aktivis untuk berkarya. Menuliskan tinta kebaikan melalui pena.

Begitu juga tarbawi. Kini tiada keliatan akarnya.

Masuk pusaran arus, bertarung dan kalah. Zaman terus berjalan. Barangkali seorang Ayah pemulung itu juga berjuang mengarungi hidup. Ia yakin bahwa ini hanya sementara.

Benar sekali, masyarakat yang tau akhirnya menguburkan dengan membiayai keseluruhan dari mulai tanah hingga kesemua yang berkaitan dengan jenazah si kecil.

Berharap lebih untuk menjadikan cawapres dari seorang ulama boleh saja, tapi kini apakah Anda kecewa?

Bukan itu persoalannya, ijtima ulama bersifat rekomendasi dalam pertarungan kali ini. Tapi setidaknya, umat akan tercerahkan. Meski di seberang juga ada salah satu dari ulama kita. Barangkali pesantren akan bergoyang memenuhi ruang dialektika perbedaan dan ditepuk tangani sang penonton.

Meski tidak sekeras kalau saja oposisi kini memenuhi permintaan ijtima ulama, artinya Anda bisa berandai bahwa Islamisasi sepenuhnya belum berjalan. Indikasi sederhana, masih ada anggapan pemisahan agama dan negara.

Namun dari sini kita juga belajar. Bahwa teori Gelombang Ketiga Anis Matta berlaku.

Itulah yang menyebabkan mengapa masyarakat mau ikut menguburkan sang putri mungil Ayah si pemulung.

Karena ia adalah kewajiban dalam agama.
Begitu pula dalam memilih pemimpin.

Ijtima ulama kita sudah mendukung dan memutuskan.

Mari sambut kemenangan. [ ]

Kamis, 09 Agustus 2018

Sederhana

Sederhana

Barangkali kata inilah yang menjadikan Abu Hamid al-Ghazali terpampang ke dalam jajaran tokoh sufi. Misykat menjadi salah satu karya fenomenalnya. Cintanya pada kehebatan lenyap pada putaran ia ber-intishab.

Adapun umat, sedang bertukar. Perdebatan masalah-masalah sepele menjadi ajang saling mengklaim kebenaran. Para filsuf dan aliran kebatinan menjadi momok hebat dalam berbicara. Perpecahan antar pemimpin wilayah dan ketidaktundukan pada otoritas Khalifah terjadi. Sementara, Kaum Frank membawa ruh mengerikan hingga al-Aqsha jatuh kepada mereka.

Lagi-lagi elegi cinta al-Ghazali memanggilnya. Ia turut hadir dalam jengkal intishabnya. Memanggilnya kembali menyelesaikan ceruk internal umat.

Kepiawaian nya bergelut ke gelanggang semua pemikiran dan semua aspek kehidupan membuatnya ampuh menyelesaikan kemelut itu.

Ianya memandang masalah internal umat sebagai biang utama. Tidak serta merta dari kaum frank.

Syair-syairnya terus merasuk ke jantung hati umat. Menanamkan harapan akan pembaruan diri.

Nizam al Mulk membujuknya untuk kembali menjabat di sekolah bergengsi Nizamiyah. Ia sempat mengajar namun pergi lagi.

Ia dedikasikan hidupnya untuk mendidik dengan konsep pembaruan pendidikannya.

Ia ingin mendidik umat agar optimis. Kerusakan pemimpin terjadi karena individu-individu tidak disiapkan untuk siap mengemban amanah.

Barangkali keramaian perbincangan dan deklarasi Sang Presiden Indonesia di tahun 2018 ini untu maju di tahun 2019 menjadi contoh sederhana. Ketika seorang 'ulama ditarik ke dalam pusaran kekuasaan yang di tentang oleh majelis 'ulama yang lainnya.

Tentu, pasangan sebelah harus melihat komposisinya. Nasionalis religius. Barangkali ini titik segar jika ingin melawan. Ijtima ulama sebenarnya sudah turut menyumbang andil akan teropong ini.

Kalau al-Ghazali bangun dan bangkit, ia tentu akan keras dan lantang menyuarakan bahwa ulama bukan barang jualan. Bukan ulama' dunia. Mungkin sikap Ustad Abdul Somad juga memberi keteladanan.

Masih ada nama hebat seperti Habib Salim sebenarnya. Tapi jika ini terjadi maka PKS akan sangat bangga, dan mungkin kader-kadernya akan bekerja ekstra yang dikenal dengan militansi-militansinya.

Sejumpa itu, al-Ghazali tentu akan mengingatkan. Bahwa selain jangka pendek yang berkaitan dengan segala urusan politik dan ekonomi. Masih ada yang harus ditilik dan di cermati. Ya! Pendidikan untuk menyiapkan para cendekiawan muslim untuk berdakwah di berbagai lini kehidupan. [ ]

Selasa, 07 Agustus 2018

Hakikatnya Ia Terus Mencari

Hakikatnya ia terus mencari


Dalam alam luar, yang tiada terlihat belum tentu tiada. Namun ia terasa.

Dunia kembangkempis ditiupkan gelombang ini. Ia tiada tertunduk oleh apapun selain karenanya.

Kalau hakikat itu sudah tiba, tiada yang bisa menjauhkan. Kecuali atas kuasa-Nya. Ikhtiar manusia menjadi ruang-ruang sebab akibat serta doa yang menjadi penyerahan totalitasnya.

Cinta memberikan harapan. Ia tiada terlihat seperti alam fisik, namun gejalanya terasa.

Inilah yang membuat sepasang merpati menjadi simbol. Itulah mengapa barangkali yang membuat al-Adawiyah takluk di hadapan sujud-sujudnya atas cinta kepada-Nya yang begitu kuat.

Inilah elan yang membuat Rasul Agung kita memanggil umatnya tatkala ia harus meninggalkan dunia ini. [ ]

Selasa, 17 Juli 2018

Resensi Buku Membina Angkatan Mujahid

Cek instagram untuk membeli buku ini

Sedikit komentar tentang buku *MEMBINA ANGKATAN MUJAHID*

Oleh Viki Adi N

Buku: Membina Angkatan Mujahid
Judul Asli: Fi Afaqi at-Ta'alim
Penulis: Said Hawwa
Penerjemah: Abu Ridho & Wahid Ahmadi
Penerbit: Era Adicitra Intermedia
Tahun Terbit: 2014

Resensi buku ini sudah banyak di internet, barangkali generasi gawai selalu membuka tanpa pernah mencoba menyelesaikan membaca bukunya. Silakan, itu pilihan.

Ini bukan sekedar resensi, hanya ocehan seorang bakul buku. Buku yang terdiri dari 8 Bab ini, plus pendahuluan dan penutup sehingga pas menjadi 10 dalam edisi terjemahannya menjadi semacam buku "pegangan" oleh aktivis dakwah khususnya di kampus-kampus. Padahal hingga kini buku sejenis ini sangatlah banyak bahkan dengan kajian dan pendekatan yang baru karena saking banyaknya penelitian dan studi tentang gerakan ini.

Mengapa saya awali dengan ini? Ya! Agar Anda terbuka bahwa buku ini ialah syarahan dari Risalah Ta'alim yang ditulis oleh Imam as-Syahid Hasan al-Banna sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin. Kita akan temukan bahwa tidak berlebihan jika Beliaulah peletak gerakan Islam kontemporer, ia memadukan otak al-afghani, rasyid ridho dan praktek al-maududi. Kalau tokoh-tokoh sebelumnya masih berpusat pada tataran ide, maka toho satu ini mampu menyebarkan gagasannya hingga seluruh pelosok dunia. Hingga fikrah nya mampu membuat gerakan dengan berbagai coraknya yang berbeda di tiap negara.

Dan tentu, buku ini - sekali lagi - bukan buku satu-satunya atas syarahan itu. Hanya saja karena penulisnya ialah langsung dari anggota Ikhwan maka buku ini seolah menjadi panduan untuk membina angkatan mujahid.

Mungkin Anda bertanya apa maksud membina angkatan mujahid?

Anda perlu tahu bahwa Risalah Ta'alim ditujukan bukan untuk "simpatisan". Anda bisa merujuk pada tulisannya langsung dalam buku Majmuatu Rasail Hasan al-Banna. Sangat jelas bahwa risalah ini ditujukan untuk seorang "mujahid". Maka benarlah bahwa risalah ini berkaitan dengan takwiniyah serta berisi panduan bagi seorang al-akh, baik berkaitan dengan dirinya maupun jamaah. Bahkan tak tanggung-tanggung, Hasan al-Banna mengatakan bahwa untuk mereka yang bukan "mujahid", akan disediakan ceramah-ceramah, tulisan-tulisan, training-training. Artinya rukun bai'at bukan untuk sembarang orang. Itu catatan yang harus Anda pikirkan.

Menuju bab kedua, Said Hawwa menuliskan kunci memahami dakwah Ikhwanul Muslimin. Disini dijelaskan meski secara umum. Sebenarnya peletakan manhaj bisa kita tilik dalam tulisan atau pidato Imam Hasan al-Banna dalam Risalah Muktamar al-Khamisnya. Beliau sudah menerangkan dengan sejelas-jelasnya. Entah hari ini generasi muda masih mau membaca tulisan itu atau tidak.

Selanjutnya penulis menjelaskan bahwa tiap diri muslim ialah seorang da'i yang memiliki tanggung jawab besar, apalagi dengan tidak adanya kepemimpinan umat. Sebenarnya kompilasi pemikiran Said Hawa sudah diterjemahkan oleh Gema Insani menjadi satu paket, kita juga akan mengerti dinamika pemikirannya. Dari mulai menolak demokrasi hingga tragedi pembantaian IM di Syiria sehingga pelunakan terjadi. Anda bisa menjalani proses alur ini ketika membaca dua jilid Majmuatu Rasail terbitan Era atas dinamisnya pemikiran Sang pendiri jamaah.

Di buku terjemahan yang Anda pegang ini, maratibul amal di beri bab dengan judul: tentang tujuan. Setidaknya bocah-bocah yang katanya ADK harus mengetahui ini. Karena dakwah ini jauh menelusuri berbagai aspek, tidak berkutat hanya di LDK saja seperti yang dipikiran sebagian aktivisnya. Ia memiliki tahapan yang jelas dan khas. Anda bisa membandingkan tahapan ini dengan gamblang serta memikirkannya dengan tahapan atau manhaj Hizbut Tahrir. Akan ada kesamaan di tahap bagian awal tapi akan ada perbedaan cukup mencolok di bagian tengah menuju atas. Setidaknya ini bisa dimengerti khususnya karena pergolakan situasi yang berbeda dan pengambilan hukum yang mengacu atas letterleck sejarah ataupun atas pengalaman langsung pergulatan politik. Anda bisa bayangkan selama 8 dekade, IM selalu jatuh bangun khususnya di negerinya sendiri.

Untuk sarana tiap tujuan atau tiap tahapan juga dijelaskan dalam bab selanjutnya. Baik point untuk person maupun jamaah. Setidaknya point-point yang bersifat ruhiyah masih bisa terus dipakai, hanya saja terkait cara tertentu berkaitan dengan strategi tentu di tiap negara akan memiliki permasalahan dan solusi yang berbeda. Anda tidak bisa membayangkan misalnya, bahwa di Malaysia belum ada partai yang secara fikrah mengusung ide IM, karena partai Islam (ulama) sudah ada terlebih dahulu sebelum pemikiran IM tersebar disana. Berbeda pula jika melihat di Tunisia, partai dipisah dengan jamaahnya. Di Indonesia? Anda bisa merasakan sendiri.

Bab 6, penulis membawa penjelasan atas tahapan seperti ta'rif, takwin, tanfidz. Mulai dari penjelasan pengertian hingga apa yang harus dilakukan di masing-masing itu. Pertanyaannya, ada dimanakah Anda?

Kita juga harus berpikir bahwa ketiga ini akan terus berlangsung dan berkelanjutan. Meski dalam Risalah-risalah pendiri gerakan secara marhalah, jamaah sudah memasuki usia yang matang, tentu dengan kualitas dan kuantitas serta pengalaman dan pergulatan yang terjadi. Itulan mengapa integralitas ditekankan penuh oleh penulis.

Penjelasan rukun bai'at ada dalam bab selanjutnya termasuk penjelasan wajibatul akh. Yang sebenarnya ada 40 point, namun belum dibahas semua dibuku ini. Selengkapnya ada di risalah Ta'alim.

Next, terakhir di bab 8, penulis menambahkan uraian pelengkap. Berkaitan dengan kaidah yang sesuai dengan tabiat dakwah. Kompilasi lengkap terkait ini sebenarnya bisa Anda dapatkan dalam seri Fiqh dakwah karya Syekh Mustafa Mashyur yang sudah diterjemahkan pula baik oleh Era maupun al-i'tishom. Di bagian selanjutnya ialah penjelasan berkaitan dengan peringkat keanggotaan. Ini sebenarnya menjadi privasi apalagi di pebahasan berikutnya ialah berkaitan dengan penjelasan metodologi. Anda bisa saja dibuat pusing dengan bab ini. Karena itu memang ditujukan untuk para anggotanya dengan berbagai peringkat. Tidak masalah Anda bingung. Kebingungan terjadi karena Anda tidak tahu. Itu jawaban simpelnya.

Sekian ocehan dari bakul buku.

Untuk pemesanan dan pembelian bisa langsung ke Omah Literasi atau @bookstoregaza

Wa: 085740199965 (Gaza Group)

Atau klik link di atas

Kamis, 12 Juli 2018

Ketika Anda ditanya, apa "fikrah" yang kalian bawa?

Ketika Anda ditanya, apa "fikrah" yang kalian bawa?
(Tulisan untuk kader KAMMI secara khusus dan Aktivis Dakwah Kampus secara umum)

Oleh:
Viki Adi N


Mari belajar dari seorang A. Hassan, tokoh besar yang tidak dipisahkan dari Persis (Persatuan Islam). Setidaknya kontribusi pemikiran dan "pembongkaran" pembelajaran efeknya bisa sampai di tangan kita sekarang. Kita bisa membaca buku "agama" dengan bahasa Melayu (baca: Indonesia) dan terjemahan al-Quran, jurnalisme agama, tidak terlepas dari kiprah satu tokoh ini.

Kalaulah dulu pembelajaran agama hanya dan harus ditemukan dalam pesantren atau mendaras pada seorang ahli. Kini ribuan bahkan jutaan eksemplar karya bisa dibaca sendiri dan untuk mendiskusikannya dalam ruang terbuka adalah hal yang biasa. Terbukti dengan maraknya kajian ada dimana-mana.

Menjadi perhatian utamanya ialah dengan mudahnya akses saja, seharusnya seorang "aktivis muslim" bisa memanfaatkannya dengan baik. Orang awam saja memanfaatkannya, apalagi yang katanya berlabel aktivis?

Perilaku dan karakter terbentuk atas apa yang ia biasakan utk dilakukan. Dan ia akan terbentuk dari sebuah pemikiran, dan pemikiran akan terbentuk dari banyaknya ia membaca. Mulai dari membaca peristiwa, alam, buku, dan apapun hingga  firasat mampu ia bentuk dengan pembacaan pandangan ke arah depan. Tentu ini bukan hal mudah.

Maka kenapa konsep "ikhsan" ada di dalam Islam? Ya, itulah hasil dari daya pembacaan tingkat tinggi. Ia memadukan akal, hati, pengetahuan, perbuatan dan keimanan.

Hingga konsep "wihdatul wujud" tidak sepenuhnya salah jika kita melihat dari perspektif "ikhsan" seperti paparan Syed M. Naquib al-Attas, bukan perspektif kesatuan wujud "Aku dan Tuhan" karena konsep ini bisa menjatuhkan manusia pada konsep bahwa "aku adalah Tuhan". Inilah yang membuat para Walisongo menjatuhkan hukuman mati dan kafir kepada Syekh Siti Jenar.

Konsep membaca tidak bisa disederhanakan hanya dengan membaca buku saja.

Tapi tulisan kali ini barangkali ingin sejenak mengupas satu sarana ini. Kita harus berterima kasih kepada A. Hassan sebagai salah satu tokoh yang mendobrak kejumudan ini.

Saya kira judul di atas tidak akan ditanyakan dengan _letterlejk_ oleh orang lain. Pastinya oleh kalangan sendiri hanya untuk sekedar menguji. Anggaplah seperti itu.

Namun inilah salah satu pertanyaan mematikan yang jarang tidak bisa dijawab oleh kadernya sendiri. Saya dapati real ketika melakukan "sertifikasi" menuju AB1 di KAMMI.

Dan tulisan ini juga tidak akan membahas itu, karena toh saya telah menuliskannya di buku Recharge Semangat Dakwah atau lebih panjang di buku Untukmu Muslim Negarawan.

Kalaulah KAMMI masih membandingkan konsep iqomatuddin melalui salah satu gagasan yang diletakkan oleh Imam Hasan al-Banna (Pendiri Ikhwanul Muslimin). Tentulan karya-karyanya seharusnya menjadi perhatian bagi kadernya.

Meski seperti kata Tariq Ramadhan ketika wawancara dengan gatra, "Ikhwanul muslimin punya manhaj (metodologi khusus). Bukan untuk kekerasan, melainkan pembaruan masyarakat. Jika Anda mengikuti manhaj Ikhwanul Muslimin, tak bisa Anda menirunya begitu saja. Jangan taklid, kita harus punya jawaban yang baru untuk realitas yang baru".

Tentu inilah mengapa nuansa serta kepahaman terhadap sejarah bangsa Indonesia serta potensi yang dimiliki negeri ini, menjadi kompetensi yang harus dipahami oleh kader KAMMI.

Kekuatan fikrah dan keindonesiaan inilah dengan disertai kepahaman tentunya, yang menjadi kekuatan serta daya lenting seorang kader.

Lalu bagaimana pengkajian ini - minimal kalangan kader dakwah (ADK) - di kampus? Masih ada? Terasa? Atau hampa?

Semoga bermanfaat.

Tulisan ini pertama di post di:
https://gazalibrarypublishing.wordpress.com/2018/07/08/ketika-anda-ditanya-apa-fikrah-yang-kalian-bawa/

Kamis, 10 Mei 2018

Sofisme Ketidakcocokkan

Sofisme Ketidakcocokkan
Ketika kantong semar bertemu serangga, ketika bunga bukan dihinggapi lebah


Oleh:
Viki Adi N


Entah apa artinya judul ini. Tidak perlu dipikirkan. Coba tebak saja. Saya teringat dulu tahun 2013 pertama kali mendapati buku inilah politikku diobral seharga 25rb karya fenomenal M. Elevandi yang kita kenal sebagai orang beserta alumni KAMMI mendukung ust. Anis Matta sebagai presiden serta dalam international campaign #saveTariqRamadhan dan #IndonesiaWithYou, pasti Anda tau kini siapa Beliau. Dalam buku tersebut di bagian awal, saya masih teringat ketika paparan tentang "12 naqib" yang mewakili masing2 suku atau klan dari Madinah untuk bertanggungjawab terhadap kelompoknya dan menyampaikan risalah Islam yang diemban. Saya sedang tidak berbicara politik seperti dalam dauroh siyasi atau training politik. Tapi tentang kata "naqib".

Ada apa dengan kata itu? Kalau Anda tidak atau jarang menemuinya, mungkin Anda kurang piknik, atau setidaknya Anda tidak pernah membaca Sirah Nabawiyah. Sofisme ketidakcocokkan muncul disini (seandainya istilah ini pas). Maka ini mewakili kerancuan keteladanan dan kebingungan.

Ok, kita sudahi ini. Ganti dengan kata lain, kalau Murabbi? Masih asing? Saya rasa tidak. Mungkin ini mewakili dalam istilah yang lain. Naqib atau murabbi atau mentor dalam sebuah sistem pendidikan, mengingat sistem pendidikan "sederhana" ini sekarang menjadi tumpuan dalam aktivitas "kebangkitan" gerakan. Saya tidak berkata dalam satu gerakan saja, karena pengembangan ini sudah jauh membesar. Menjadi primadona yang siap dipanen. Kumpulan-kumpulan sel terkecil inilah yang akan terus mengelompok jadi sebuah lingkaran besar kebaikan. Meski sekali lagi ini bukanlah konsep pendidikan yang bisa menahan "sekulerisasi Barat" dari hegemoni segala sistem dan menjungkirbalikkan secara radikal, namun setidaknya mampu membentengi dari cara pandang (worldview) yang tidak benar. Keberhasilannya pun tak semata pada manhaj yang digunakan beserta rentetan kurikulumnya, tapi juga dari seorang naqib atau murabbi atau mentor nya. Percaya? Saya juga tidak memaksakan untuk percaya.

Banyak yang di awal berharap besar namun di tengah menghilang. Bukan karena ingin berpisah dari sel namun karena merasa tidak cocok dengan para mentor ini. Ketidakcocokan bisa dikarenakan karakter yang "berbeda" bisa juga dikarenakan "kaidah dakwah" yang salah. Dulu saya mendapati kaidah ini dalam karya gemilang seorang Syekh Jumah Amin Abdul Aziz yang tertuang dalam 10 kaidah dakwah. Entah buku ini masih dibaca oleh aktivis "kekinian" atau sudah dicampakkan dan berganti dengan buku "pernikahan". Kaidah kedua mengatakan, ta'lif qobla ta'rif, artinya dekat dulu sebelum mengenalkan. Seberapa dekat diri Anda dengan anggota/ binaan?

Selain dari ketidakcocokkan karakter, juga bisa terjadi dikarenakan "kepercayaan". Ketidaksalingpercayaan muncul misal saja melihat kawan selingkarannya mendapat "amanah" dan dirinya tidak. Sehingga muncul kata, "Aku mah apa". Jangan dianggap remeh kata2 ini. Anda bisa saja gila hanya karena ini. Bahkan menangis kalau binaan Anda terpaksa harus resign. Kecuali jika Anda memang tidak peduli dengan hal seperti itu. Selain ketidakpercayaan juga terkait kurangperhatian. Artinya "emosional" ataupun ukhuwah tidak berjalan dengan semestinya, dalam lingkaram hanya ada "taklimat2" tanpa mendesain pendidikan yang berjangka dan bertahap melalui serangkaian kaidah yang benar. Selamanya Anda hanya akan jadi pembinasa dan membuat barisan kecewa semakin banyak saja.

Satu lagi yang biasanya muncul ialah dikarenakan tradisi keilmuan. Kalau ini tidak perlu dibahas. Bagaimana Anda akan memberi tapi Anda tidak punya? Sehingga yang berpindah haluan hanya karena "haus ilmu" kini menjadi fenomena jamur yang tumbuh dengan subur.

Kesemua hal ini sebenarnya sederhana, sofisme ketidakcocokkan berlaku. Sofisme berkaitan dengan kebenaran yang relatif. Artinya ketidakcocokkan bisa di eliminasi dengan memperhatikan kaidah dakwah yang benar. Saya tidak membenarkan bahwa kebenaran itu relatif, karena toh kebenaran mutlak itu ada. Disini ketidakcocokkan bukanlah alasan. Artinya semua bisa diperbaiki. Meski ada solusi akhir dengan "berganti" mentor. Toh ujungnya mereka akan berkumpul dalam satu wadah yang besar pula.

Sekilas tentang ingatan saya pada naqib atau murabbi atau mentor.

Tadi barusan, saya mendengar orang berkata, "apa keuntungan kita kecewa dalam sebuah jamaah dakwah? Pasti tidak dapat apa2, yang tadinya membela malah merusak". Justru saya punya pikiran lain, karena dengan kecewa itulah jamaah dakwah akan menjadi dewasa, dewasa agar tidak membuat kader2nya kecewa dengan kubangan yang sama.


2 Mei Kemarin

Ini menjadi hari pendidikan dimana para mahasiswa berdendang aksi dijalanan menggugat pendidikan di Indonesia belum mewujudkan manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlaq mulia. Sayangnya di depan kampus UIN Suka kemarin terjadi hal yang tak beradab apalagi di kampus Islam yang tentunya mengajarkan adab. Meski aksinya ialah 1 Mei (hari Buruh). Dan saya tidak akan membahas itu.

Beberapa kali saya mengisi di SMA, saya merasa cukup kewalahan ketika harus bercakap dengan anak besar tapi dianggap anak-anak. Pertama kali ngisi di SMA ialah di peringatan Ultah Smansasi Sidareja bersama Ust. Guspur (Anggota DPR RI dari FPKS) itu sekitar tahun 2011. Setelah itu berturut-turut acara talkhsow tentang pemuda, politik islam dan sebagainya. Saya merasa susah untuk mengajak mereka berpikir. Saya terus cek dan cek kenapa bisa seperti ini. Dan saya, kini tau jawabannya, mengapa anak SMA kok masih kayak anak kecil dan masih sulit diajak beripikir?

Sederhana, kita perlu REVOLUSI USIA pendidikan kita. Saya masih ingat waktu bulan Ramadhan dimana masing terngiang #SaveYuyun, saya menjadi kordum Aksi Peduli Moral dari Aliansi Mahasiswa Peduli Moral Yogyakarta (Ampiby). Aksi ini ialah keprihatinan akan rusaknya moral pada anak didik kita, yuyun yang masih SMP diperkosa dan dibunuh oleh anak yang sebagian masih dibawah umur. Sehingga kasus ini pun di dampingi oleh Komisi Perlindungan Anak, juga kasus Eno yang diperkosa dan dibunuh dengan sadis hingga negara tetangga membuat foto2 tentang #Pacul. Lagi KPAI turun tangan. Benarkah usia 15 tahun masih dianggap anak2? Benarkah usia SMA masih disebut anak2? Atau dalam bahasa kita disebut remaja? Dimana remaja dianggap usia yang sedang mencari jati diri?
Pandangan inilah yang sebenarnya, setelah saya pikir2 yang membuat pendidikan kita tidak mampu memberikan orang hebat!!!

Lihat saja Natsir, usianya yang masih muda ia bahkan membuat sekolah Islam, lihatlah Abdullah bin Umar di usia 15 tahun sudah terjun berperang, lihat saja panglima termuda Islam pertama ialah 18 tahun. Dan masih banyak yang lainnya. Tapi hari ini usia 18 tahun hanya dimanjakan untuk makan dan "belajar" untuk menghadapi soal ujian. Bukan ujian hidup tapi ujian nasional!!

Disini tidak lagi bicara sofisme, tapi bicara sesuatu yang mutlak. Ya, mutlak harus diubah.

Demikian catatan malam hari ini..
Ke depan sepertinya catatan2 ini akan mewarnai lembar saya .. yg biasa sy simpan di laptop, kini sy share. Cukup malam ini.

Catatan tentang pembelajaran dari kehidupan.
3 Mei 2018 di malam hari

Kamis, 05 April 2018

Sejenak membaca Pemikiran Syed Naquib al-Attas


#KisahPagi
Sejenak membaca Pemikiran Syed Naquib al-Attas
Pesan bagi kita yang mau belajar, jadi jangan baca tulisan ini

Oleh Viki Adi N



Bagi para pegiat pendidikan, pemikiran, ataupun peradaban Islam, tidaklah asing sosok ini. Merupakan seorang pendiri ISTAC di Malaysia, sebuah universitas akan wujud gagasannya. Dimana hari ini hanya tinggal nama karena kejahilan manusia dengan segenap kepentingan di belakangnya. Padahal nama-nama ulama dan intelektual muslim banyak lahir dari sana termasuk para alumninya yang menyebar di negeri ini seperti Adian Husaini dan Hamid Fahmi Zarkasy serta masih banyak lainnya. Beliau satu-satunya orang Islam di zaman modern yang ditempatkan sebagai pemikir/filsuf yang masuk dalam kumpulan para filsuf dan bertengger bersama nama-nama pemikir besar Eropa, padahal gagasan-gagasannya sangat keras dalam mengkritik peradaban Barat.

Penelitian tentang pemikiran Beliau sudah sangatlah banyak. Saya disini hanya merenung sejenak, bukan skripsi, karena saya tidak mengerjakan skripsi, apalagi tesis atau disertasi, S1 saja belum lulus.

Pernyataan Beliau bahwa kata ‘tarbiyah’ tidak relevan dengan konsep pendidikan Islam turut menuai warna dan mencoba menggantinya dengan ‘ta’dib’. Tentu dengan alasan yang sangat mendalam dengan melihat makna dibaliknya. Islamisasi bahasa tentunya. Pun dengan konsep universitas yang ditawarkan, menjadi sebuah tamparan keras bagi umat ini, apalagi kita yang masih hidup dalam rentetan kepulauan Melayu yang jelas-jelas jejak Islam terukir besar disini namun kian lama kian hilang.

Dalam salah satu karya monumentalnya, Islam and Secularisme, beliau menerangkan bahwa masalah besar dari umat ini ialah ‘hilangnya adab’. Adab disini bukanlah dalam artian seperti yang kita maknai sempit hari ini semisal sopan santun atau sejenisnya. Namun adab disini lebih berkaitan pada keadilan. Dimana adil merujuk pada menempatkan sesuatu pada tempatnya. Artinya tidak dzalim. Beliau mengutarakan bahwa pada hari ini, umat tidak bisa lagi menempatkan ilmu pada tempatnya. Tentu dari banyak segi, mulai dari esensi atau hakikatnya hingga masalah klasifikasinya. Seolah-olah ilmu hanya tergantikan dan terreduksi oleh sains sesuai pandangan alam (worldview) Barat.

Dari sini saja, sudah ada ketimpangan definisi dari ilmu itu sendiri. Ilmu tentu berbicara hal yang sangat luas baik yang nampak maupun tidak nampak. Namun Barat memandang bahwa sains lah yang menjadi acuan mereka dengan paham realisme dan empirisisme-nya. Artinya mereka tidak mengakui hal diluar akal. Bahasa kita ialah perkara  ghoib. Yang berimbas bahwa sains yang dibawa ialah tidak menganggap hadirnya Tuhan dibalik semua yang ada.

Dalam pengklasifikasian, Imam al-Ghazali telah memberikan definisi yang tepat dimana ada ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Umat, lanjut Beliau juga masih belum bisa menempatkan ini sesuai koridornya, lagi-lagi pandangan alam Barat yang dijadikan tumpuan. Hari ini banyak yang mengejar jurusan spesialisasi hingga S3 bahkan profesor, namun di balik semua itu yang menjadi fardhu ‘ain terabaikan. Meski dalam hal ini kita akan perlu tahu bahwa yang kifayah bisa saja naik status menjadi ‘ain bagi orang-orang tertentu. Seperti di suatu wilayah tidak ada dokter, maka menuntut ilmu untuk menjadi dokter menjadi wajib di masyarakat itu meski cukup sesuai kebutuhan, artinya tidak semua harus jadi dokter. Berebeda dengan ilmu fardhu kifayah, semisal aqidah, atau ilmu tentang tata cara sholat, apakah dia akan bisa sholat kalau dia tidak tau tata caranya? Ini ibarat sederhana saja.

Penempatan ini bukan saja dzalim dari individunya, tapi telah terstruktur masuk ke dalam semua ranah aspek kehidupan termasuk pendidikan. Ya! Sekarang Anda kuliah di universitas, apakah ilmu fardhu ‘ain menjadi ilmu yang diajarkan sebagai dasar jurusan yang Anda geluti? Inilah tawaran yang menurut saya dalam diagram konsep pendidikan Beliau sangat apik, memadukan konsep asli dalam Islam dengan konsep modern hari ini. Persis seperti konsep Baitul Hikmah ketika Baghdad berjaya menjadi mercusuar peradaban dunia.

Implikasinya, tentu keinginan membuat universitas yang sesuai konsep ini butuh pengorbanan yang banyak, baik dari harta maupun dari segi ‘kepentingan’. Karena ISTAC saja dibumihanguskan di negerinya sendiri.

Lagi-lagi memang, perbaikan individu selalu jadi yang utama sebelum memperbaiki tingkat diatasnya. Karena pendidikan yang baik ialah mendidik manusia jadi baik, bukan sekedar warga negara yang baik, begitu papar Beliau.

Ini sejenak renungan pagi ini. Sedikit dan hanya membuat Anda gatal mungkin.


Namun tetiba saya terpikirkan oleh konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Ikhwanul Muslimin dalam blue printnya dimana usrah/liqa menjadi tsawabit dalam jamaah dimana kita akui bahwa inilah gerakan dakwah terbesar di dunia hingga saat ini. Bukan pada format atau sebagainya. Tapi saya mencoba melihat pada tata ‘adab’ nya. Dimana tsawabit lainnya ialah berkaitan dengan Risalah ta’alim, ushul ‘isyrin dan risalah ‘aqaid sebagai dasar dan referensi ajaran, terkhusus dalam arkanul baiah dalam risalah ta’alimnya. Ini bukan otak-atik gatot.
Mari dengan lapang dan jujur – tidak skeptis tentunya – kita melihat bahwa rukun ini sebenarnya diserukan bukan pada orang yang biasa saja, tapi memang orang yang mau dan siap menjadi mujahid yang akan membela agamanya. Sehingga seruannya jelas pada tatanan tertentu, bukan pada orang umum. Selanjutnya, adab lainnya ialah terkait urutan rukun yang sejatinya, namanya saja rukun, tentu tidak boleh dibolak-balik. Seolah hari ini tsiqoh menjadi rukun pertama, namun al-fahmu entah dimana. Penempatan ini tentunya rumit, karena akan berefek pada sejauh mana pemahamannya dan orang yang mau memahamkannya. Tamparan bagi aktivis dakwah yang memanggul manhaj ini, sudahkan kepahaman ini ditanamkan pada binaannya?

Lagi-lagi adab mengingatkan kita untuk menempatkan pada posisinya. “Nduk, organisasi kita sedang oprek pengurus, bagaimana kalau kamu membantu di bagian ini ya?” kata salah seorang pengurus inti, lalu dijawab oleh kadernya, “nembung itu ada etikanya, tolong sesuai jalur”. Dalam konteks organisasi, menjadi seorang staf misalnya, padahal ini organisasi umum, tentu para Murobbi/naqib hanya memberikan saran dan nasehat, keputusan akhir tetap ada di si ‘anak’. Karena itu ialah berkaitan dengan haknya sebagai kader. Ini jelas sebuah kekeliruan dalam adab terkhusus kebalik-baliknya rukun baiah ini. Mungkin ia belum bisa “profesional” dalam menempatkan posisinya sebagai “anggota jamaah” dan sebagai “kader lembaga umum”. Semoga saja ini bukan doktrin dari proses pendidikan kita, namun keluar dari kepahaman dan disebalik dirinya. Mungkin kalau orang tua bilang, “Nak, segera pulang ya, Ibu lagi sakit”, tiba-tiba anak menjawab, “Wah saya sedang ada agenda dakwah Bu, maaf yaa, ini lebih penting”. Bagaimana menurut kalian? Benarkah konsep adab atau penempatan ini berlangsung? Apakah ia dzalim?

Semoga pagi ini cerah dan mampu memberikan semangat jiwa. Tentu bagi antum sekalian yang terus berjuang meski ditentang banyak orang yang dengki dan iri. #SemangatPagi!

Beberapa referensi buku Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas:
- Risalah untuk Kaum Muslimin
- Islam dan Sekularisme
Islam dan Filsafat Sains
- Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu rangka pikir pembinaan filsafat pendidikan Islam
- Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu


Sabtu, 17 Maret 2018

Buku Untukmu Muslim Negarawan

Sebuah epik Untukmu Muslim Negarawan



New Arrival

Untukmu Muslim Negarawan - Berhikmah dari Buku Perjalanan

Penulis: Viki Adi Nugroho
Penerbit: Gaza Library Publishing
Tahun: 2018
Jml Hlmn: xi+212
Foto Sampul: Sri Lestariningsih, Rais Ikhlas, Briliant
Desain Sampul: VAN Art
Puisi: Dena Vidia dan Yuyun Wijayanti
Harga: Rp 65.000, 00 (Belum termasuk diskon)

Karya ini mencoba mengambil potret peristiwa juga situasi kondisi sebagai latar. Mengambil hikmah bahkan menemukannya adalah sebuah keberuntungan bagi seorang muslim. KAMMI menjadi gerakan mahasiswa muslim yang akan selalu dituntut untuk hidup dalam berbagai pusaran zaman. Ketika daya lenting tidak dimiliki untuk selalu menghela nafas dan menjaga nafas, maka kemunduran bahkan kehancuran menjadi hal yang pasti.

Muslim Negarawan merupakan akumulasi dari nilai perjuangan seorang da'i untuk mengantarkan umat ini, bangsa ini, negeri ini, agama ini, ke dalam kemenangan abadi dan hakiki. Merupakan karakter perpaduan dari berbagai akhlaq Islam dalam konteks real kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Muslim Negarawan akan melihat apapun di depanya dengan rasa optimis, ia berusaha berprestasi di tengah keterbatasan yang dimiliki. Dan inilah pahlawan yang dibutuhkan oleh Indonesia masa depan.

Selamat berhikmah, berhikmah dari buku perjalanan.

Pemesanan/ Reseller untuk buku ini bisa melalui: 085743640193 (Ariadi)
ig: @gazalibrary ; @gazabookstore

Selasa, 13 Maret 2018

Download Ebook We are Wolves - Terjemah Lengkap 24 Pasal Protocol of Zion

Bismillah...

Assalamualaikum Sahabat-sahabat semua,
semenjak keluar film tentang Sultan Abdul Hamid II, seorang khalifah Turki Utsmani terakhir sebagai penjaga Bulan Sabit, saya kembali teringat akan sepak terjang gerakan yang telah membungihanguskan Islam dari peredaran peradaban. Sebuah gerakan yang tentunya hari ini sudah menjelma menjadi sebuah negara. dulu hanya sebuah mimpi, namun kini real di depan mata. Saudara-saudara kita di Palestina menjadi saksi setiap hari. Doa selalu kita panjatkan semoga Alloh senantiasa menguatkan kesabaran dan semangat berjuang, dan kita yang disini selalu membantu dengan apa yang bisa kita lakukan.

Selain buku Zionisme Gerakan Menaklukan Dunia karya Z.A. Maulani, kali ini saya ingin membagikan sebuah buku yang cukup fenomenal, Ya! terjemahan atas protokol Zionis.
Semoga bermanfaat, dan mampu menyadarkan kita, setidaknya, membuat kita berpikir ulang untuk menguatkan gandengan dalam sebuah rantai Islam berupa akidah yang kuat dengan dai sebagai pekerjaan kita, amal jamai sebagai gerbong kita.

Silakan ada dua link,

Pertama, via 4shared, jangan lupa buat akun dulu ya, kecuali yang sudah punya, tinggal log in aja


Kedua, via mediafire, biasanya tanpa harus membuat akun dulu


Saya haturkan terima kasih kepada yang telah membagikan ini, mohon maaf belum saya cantumkan sumber mendapatkannya, karena terlupa, mungkin sudah agak lama karenanya.

Wassalamualaikum, Wr. Wb.

Senin, 05 Maret 2018

Akankah kita tertunduk dan layu?




Akankah kita tertunduk dan layu?

Oleh Viki Adi Nugroho
(Penulis Buku Recharge Semangat Dakwah, Ketua PK KAMMI UNY)

“Tetaplah di posisi kalian dan jagalah sebelah belakang kami. Jika kalian melihat kami menang, jangan pernah turun dan mengikuti kami. Jika kalian melihat kami kalah dan terbunuh, jangan menolong kami,” salah satu pesan Nabi SAW pada 50 pemanah di perang Uhud. Sebuah pesan yang fenomenal dalam rentang sejarah Islam. Perang yang cukup berat dimana sahabat-sahabat terbaik berguguran demi melindungi Rasulullah SAW. Kesabaran menjadi ujian di balik kemenangan yang mulai merekah di episode awal.

Anggap saja Anda sedang melakukan trading – sebuah istilah yang digunakan orang dalam memprediksi nilai mata uang – dalam rentang waktu satu hingga dua menit. Anda mendapat prediksi yang benar dan jumlah uang naik. Terus itu berjalan sehingga emosi yang hadir, kegembiraan yang datang melonjak membuat Anda terus melakukan trading. Namun sayang, emosi tidak bisa dikendalikan. Kesabaran dan anggapan “besok masih ada hari”, tertutup oleh awan keinginan mendapatkan banyak uang. Libaslah tetiba itu,  uang habis atas ketidaksabaran, kerugian melanda, stres menjadi. Terlepas dari kontroversi bisnis ini baik ditinjau dari sisi manapun. Kita akan dibawa pada penuaian hikmah besar. Kiranya perang Uhud menjadi nilai penting dalam sejarah umat Islam. Alloh menguji kesabaran, mampukah ia tidak tunduk pada emosi? Pada nafsu memburu?

Pasukan memanah turun, kecuali Abdullah bin Jubayr dan sepuluh orang lainnya masih tetap teguh di posisinya karena mengingat pesan Rasulullah SAW. Khalid yang kita ketahui waktu itu masih musyrik segera membalikkan keadaan, kaum muslimin yang sudah memukul kaum musyrik dan berpesta memenggal leher, tetiba dikejutkan dengan serangan pasukan berkuda Khalid dari arah yang tiada disangka. Pasukan pemanah di bukit Uhud pun terbantai. Keadaan berbalik. Kemenangan sesaat tergantikan oleh keganasan dan kebiadaban. Hamzah tak pelak menjadi korban, juga duta Islam pertama Mush’ab bin ‘Umayr, serta beberapa sahabat terbaik lainnya. Bahkan hingga Rasulullah terperosok dan banyak sahabat yang disampingnya rela berkorban demi selamatnya junjungan Alloh SWT. Desas-desus terbunuhnya Rasulullah sempat tersebar sehingga menyiutkan nyali kaum muslimin hingga akhirnya Rasulullah berteriak untuk menyemangati kembali pasukan. Perang ini berakhir dengan kemenangan sementara kaum musyrik, disebabkan putus asanya mereka dari tujuan membunuh Rasulullah SAW.

Di saat sakit menyayat, luka yang masih menoreh, baik luka fisik sampai luka batin. Lantas tidak menyurutkan semangat pada diri Rasulullah SAW. Meninggalkan Uhud Sabtu petang,malam hari beristirahat di Madinah. Usai sholat Subuh di hari Minggu, Rasulullah SAW memerintah Bilal untuk memanggil para sahabat dan dperintahkannya untuk berlari dan bergegas kembali dalam sebuah ekspedisi perang mengejar musuh. Tiada yang boleh ikut selain yang ikut dalam perang Uhud. Hingga sampailah pada daerah Hamra’ al-Assad. Hingga dikenallah peristiwa ini dengan perang Hamra’ al-Asad.

Pada Malam harinya, pasukan ekspedisi ini meyalakan api unggun besar yang terlihat jelas dari kejauhan. Tentu dengan tujuan agar kaum musyrik mengira bahwa pasukan muslim kembali dengan jumlah yang sangat dan lebih banyak lagi untuk siap bertempur. Ma’bad – yang waktu itu juga masih musyrik dari Khuza’ah – lewat dan melihat pasukan muslim, ia tercengang. Lalu ia juga melewati pasukan musyrik dan mendapati hal yang ganjil, dimana mereka tengah bersenang-senang karena kemenangannya di Uhud bahkan berencana ke Madinah untuk menghabisi kaum muslimin. Ya! Anda bisa menebak tentunya. Rencana itu gagal. Waktu itu, Abu Sufyan menangyakan perihal kaum muslimin pada Ma’bad. Lalu apa yang dikatakannya? “Celakalah kalian! Muhammad dan para pengikutnya keluar mengejar kalian dalam jumlah yang sangat besar. “Tak pernah aku melihat pasukan sebanyak dan sebesar itu. Mereka bergerak dengan persenjataan dan perlengkapan lengkap. Aku pun tak pernah melihat pasukan selengkap itu!”

Rasa takut menyelimuti kaum musyrik, kegembiraan berubah menjadi ketakutan dan was-was. Alloh memasukkan rasa takut pada hati mereka. Akhirnya merekapun kembali.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita sebuah epik yang indah. Pasca kekalahan bukan kemudian meratapi, namun kembali bangkit untuk tidak tunduk dan layu. Di saat luka menganga, Rasulullah SAW malah memerintahkan untuk kembali berlari. Hakikat kemenangan hadir, eksistensi kekuatan umat tercipta kembali. Ruh keimanan dan penyiapan materi menjadi kunci-kunci kebangkitan.

Kehidupan yang serba tiada menjanjikan dalam era kini seharusnya bukan membuat kita tertunduk dan layu. Peristiwa yang terus melanda negeri kita, juga tak seharusnya menyiutkan nyali bagi kita untuk kemudian diam, karena diam tak selalu emas! Itulah yang dilakukan oleh Rasul dan sahabatnya. Mereka tidak tunduk dan mengekor pada “penguasa” Mekkah. Mereka tidak tunduk pada “penguasa” dunia yang hanya sementara. Mereka percaya bahwa Alloh SWT akan menolong mereka sesuai janji Rasul-Nya.

Halangan dan ujian yang besar, apalagi di era kini. Kudu menjadikan kita lebih kreatif dalam mengemas dan “menyajikan” dakwah. Kalaulah Mansur, pimpinan Muhammadiyah di era Orde lama mengingatkan Soekarno bahwa pemimpin yang dia sudah tidak menerima masukkan dan saran lalu ia marah, maka sejatinya ia bukanlah pemimpin yang sedang didambakan bahkan akan menjadi hal yang berbahaya, apalagi jika yang mengingatkan ialah para ulama.

Semoga diri kita yang sejatinya ialah pemimpin mampu mengambil mutiara hikmah ini. []

Sabtu, 27 Januari 2018

Nun Jauh diatas Mimpi

Nun Jauh diatas Mimpi

Oleh: Viki Adi Nugroho



Menghimpun sekutu. Pemimpin Yahudi dari Bani Nadhir menemui suku Quraysh. Tak usah ditebak. Kumandang perang ditabuh. Provokasi memerangi umat Islam bergemuruh. “Kepercayaan kalian (orang-orang Quraisy) jauh lebih baik dari pada agama Muhammad”. Sontak terjadilah kesepakatan. Begitupula suku Ghatafan, bani Fuzarah dan bani Murrah. Hingga total 10.000 pasukan siap menggempur Madinah.

Ketika kabar ini kemudian Rasulullah dengar, lantas pula, musyawarah digelar. Salman Al-Farisi menawarkan ala perang yang berbeda. Parit, sebut saja. Penggalian Parit yang melelahkan itu. Di musim Paceklik pula. Bukan menyurutkan. Semangat makin berkobar. Meski dari orang-orang munafik kian menampakkan keengganannya.

Berlangsulah penggalian. Suatu ketika, para sahabat menggali dan menemukan batu putih. Saking kerasnya, tak bisa dipecah. Salman pun tak mampu. Rasulullah ikut terlibat. Mulailah untuk memecah. “Bismillah”, ucap Rasul. Dihantamkan cangkul, dan pecahlah sepertiga beserta kilatan cahaya. “Allohuakbar, aku telah diberi kunci-kunci negeri Syam, demi Alloh sesungguhnya aku dapat melihat istananya yang merah dari tempatku ini”.

Hantaman kedua, “Bismillah”, kilatan keluar serta pecah kembali sepertiganya. “Allohuakbar, aku telah diberi kunci-kunci negeri Persia, demi Alloh, sungguh aku melihat istana Madain yang putih sekarang ini”. Menghantamkan ketiga kalinya, “Bismillah”, pecah dan keluar kilatan. “Allohuakbar, demi Alloh aku telah diberi kunci-kunci negeri Yaman, demi Alloh sungguh aku melihat saat ini Shan’a dari tempatku ini”.

Seolah khayalan, bahkan impian ini sangat jauh. Mekkah saja, sebagai ‘tetangga sebelah’ belum beriman. Di tengah panasnya gurun serta sedikitnya bahan makanan. Bahkan perut hanya berisi ganjalan-ganjalan batu. Janji manis datang bagaikan mimpi di tengah siang bolong. Bayangkan saja diri Anda sedang tidak punya uang dan keluarga sedang terbaring di rumah sakit, tiba-tiba ada pesan masuk, “Selamat Anda mendapatkan 10 juta, klik link berikut...”. Saya kira Anda tidak akan percaya hal seperti itu di era kini. Tapi tidak bagi para sahabat. Rasa optimis itu hadir lantaran sinar keimanan.

Kaum muslimin yang hanya berjumlah 3000 pasukan. Tiba-tiba berbinar. Ada kilatan kebahagiaan. Bukan sekedar khayalan. Namun keyakinan dan cita besar. Semua percaya, apa yang dikatakan Rasul adalah kebenaran.

Disini kita perlu memahami bahwa bicara keyakinan bukan sedang berbicara hal sepele. Keyakinan besar merupakan sebuah tahapan awal yang harus dibangun untuk mewujudkan cita besar dan visi besar. Begitulah Rasulullah mengajarkan umatnya. Berkeyakinan tajam dan kuat menghujam. Visioner, melihat ke depan, dengan jangkauan yang tiada batas. Keyakinan dibarengi cita besar. Sebuah penghikmahan dari sejarah Sang Teladan.

Inilah yang harus kita petik. Rasul kita mengajarkan optimisme. Hingga akhirnya, percikan kilatan mulai terealisir. Meski dalam sejarah, Rasulullah sendiri tidak mengalaminya. Artinya penaklukan-penaklukan itu terjadi setelah Rasulullah wafat. Persia tersentuh. Bahkan dari wilayahnya ada yang pernah dijadikan sebagai ibu kota. Yaman, tersentuh pula. Syam, yang mungkin hari ini kita ketahui sebagai Palestina, Lebanon, Yordania dan sekitarnya. Juga menjadi negeri yang Rasulullah janjikan, hingga era Utsmani dan pergiliran kekuasaan Alloh putarkan.

Mengertilah kita bahwa visi dan cita dakwah ini tidak serta merta selesai oleh satu generasi. Tidak serta merta selesai dalam ukuran usia individu, namun jauh menembus usia bangsa bahkan usia peradaban. Lalu pertanyaannya, dimanakah kita berada saat ini.

Perjalanan sekilas di atas mengajarkan kita untuk berjuang, dan terus berjuang. Keyakinan akan cita besar merupakan anak-anak karakter seorang Muslim Negarawan. Bahkan nun jauh diatas mimpi. []