Buku dan Kehidupan
Oleh: Viki Adi N
Zaman kebesaran Islam baik di era Abbasiyah dengan ibukota Baghdad maupun kelanjutan Umawiyah di Spanyol dengan Andalusia menyisakan potret renungan. Setidaknya karena kejungkirbalikkan yang sudah kian lama. Tidak! Bukan! Bukan karena umat Islam mundur, bukan demikian. Tapi karena umat tertinggal. Masih ada waktu untuk mengejar kalaulah umat yakin dan percaya akan janji Allah Swt dan sabda Rasul Saw. Namun, masihkah optimis itu hadir?
Di zaman yang disebut "masa emas" itu, aktivitas intelektual terus bergulir. Bahkan tercatat banyaknya para penimba ilmu dari belahan Barat sana. Fenomena yang kini sekali lagi terbalik! Semua berlomba ke barat. Ini tak mengapa? Apa yang kita musti petik?
Khazanah intelektual Islam kala itu dan budayanya menghasilkan ruang ijtihad yang begitu besar. Bahkan pada pencapaian karya ilmiah yang menembus pada masa-masa sebelumnya (baca: Yunani). Meski efek fenomena negatifnya hadir pula di era akhir abbasiyah. Memang kita perlu jujur. Kenyamanan yang kadung hadir melupakan kebutuhan akan kekuatan dan persatuan. Semua terjebak pada kedigdayaan individu dan penganggapan dirinya yang paling benar.
Buku menjadi bagian tak terpisahkan di masa itu. Seorang penerjemah mampu menjadi orang kaya mendadak! Para peneliti, penulis, ilmuan, 'ulama, pasti terjamin hidupnya! Ia digaji oleh negara. Bisakah kita membandingkannya di hari ini?
Perpustakaan di tiap rumah warga di zaman itu saja terbilang ribuan jumlahnya. Belum perpustakaan yang dimiliki pemerintahan dari tingkat kecil hingga tingkat pusat. Orang rela membelanjakan uangnya untuk membeli buku dibanding sesuap makan. Barangkali berbeda dengan hari ini yang lebih rela meminum kopi diatas 20.000 dibanding membeli satu buku!
Para aktivis sebuah gerakan mengaku telah menjadi ideolog dari sebuah gerakannya pun tak luput dari hal ini. Bahkan pemikiran sang pendiri gerakan atau gagasan gerakannya sendiri saja tidak tahu. Semua berjalan layaknya air yang mengalir.
Ketidaksengajaan saya ialah menemukan buku 1001 inventions; The Enduring Legacy of Muslim Civilization karya Prof. Salim T.S. Al-Hassani, saya membeli dengan harga 250.000 rupiah. Harga waktu itu padahal bisa lebih dari 500.000. Setidaknya saya sedang tidak ingin bernostalgia dengan "the golden age" itu. Saya sekedar membaca bolak-balik, dan merenungi sejenak.
Ya! Kita butuh ini. Budaya intelektual dan keilmuan umat harus terus ditingkatkan. Menyiapkan pemimpin dan peradaban besar tak akan mampu ditopang tanpa hal ini. Saya mengerti mengapa al-Ghazali kemudian tidak langsung menyerukan jihad di awal perang salib itu. Ya, saya tau kini. Inilah kitab ihya ulumuddin hadir. Dan kau tau selama 90 tahun itu lahirlah generasi Salahuddin beserta pasukannya? []
Tulisan sebelumnya di post di sini
Oleh: Viki Adi N
Zaman kebesaran Islam baik di era Abbasiyah dengan ibukota Baghdad maupun kelanjutan Umawiyah di Spanyol dengan Andalusia menyisakan potret renungan. Setidaknya karena kejungkirbalikkan yang sudah kian lama. Tidak! Bukan! Bukan karena umat Islam mundur, bukan demikian. Tapi karena umat tertinggal. Masih ada waktu untuk mengejar kalaulah umat yakin dan percaya akan janji Allah Swt dan sabda Rasul Saw. Namun, masihkah optimis itu hadir?
Di zaman yang disebut "masa emas" itu, aktivitas intelektual terus bergulir. Bahkan tercatat banyaknya para penimba ilmu dari belahan Barat sana. Fenomena yang kini sekali lagi terbalik! Semua berlomba ke barat. Ini tak mengapa? Apa yang kita musti petik?
Khazanah intelektual Islam kala itu dan budayanya menghasilkan ruang ijtihad yang begitu besar. Bahkan pada pencapaian karya ilmiah yang menembus pada masa-masa sebelumnya (baca: Yunani). Meski efek fenomena negatifnya hadir pula di era akhir abbasiyah. Memang kita perlu jujur. Kenyamanan yang kadung hadir melupakan kebutuhan akan kekuatan dan persatuan. Semua terjebak pada kedigdayaan individu dan penganggapan dirinya yang paling benar.
Buku menjadi bagian tak terpisahkan di masa itu. Seorang penerjemah mampu menjadi orang kaya mendadak! Para peneliti, penulis, ilmuan, 'ulama, pasti terjamin hidupnya! Ia digaji oleh negara. Bisakah kita membandingkannya di hari ini?
Perpustakaan di tiap rumah warga di zaman itu saja terbilang ribuan jumlahnya. Belum perpustakaan yang dimiliki pemerintahan dari tingkat kecil hingga tingkat pusat. Orang rela membelanjakan uangnya untuk membeli buku dibanding sesuap makan. Barangkali berbeda dengan hari ini yang lebih rela meminum kopi diatas 20.000 dibanding membeli satu buku!
Para aktivis sebuah gerakan mengaku telah menjadi ideolog dari sebuah gerakannya pun tak luput dari hal ini. Bahkan pemikiran sang pendiri gerakan atau gagasan gerakannya sendiri saja tidak tahu. Semua berjalan layaknya air yang mengalir.
Ketidaksengajaan saya ialah menemukan buku 1001 inventions; The Enduring Legacy of Muslim Civilization karya Prof. Salim T.S. Al-Hassani, saya membeli dengan harga 250.000 rupiah. Harga waktu itu padahal bisa lebih dari 500.000. Setidaknya saya sedang tidak ingin bernostalgia dengan "the golden age" itu. Saya sekedar membaca bolak-balik, dan merenungi sejenak.
Ya! Kita butuh ini. Budaya intelektual dan keilmuan umat harus terus ditingkatkan. Menyiapkan pemimpin dan peradaban besar tak akan mampu ditopang tanpa hal ini. Saya mengerti mengapa al-Ghazali kemudian tidak langsung menyerukan jihad di awal perang salib itu. Ya, saya tau kini. Inilah kitab ihya ulumuddin hadir. Dan kau tau selama 90 tahun itu lahirlah generasi Salahuddin beserta pasukannya? []
Tulisan sebelumnya di post di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar