Kamis, 07 Februari 2019

Dari Mabda hingga Amal

Dari mabda hingga amal*


Buat apa berbusa-busa ngomong sejarah peradaban islam dengan keunggulan di masa lalu? Namun saat ini umat Islam harus terpuruk di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berlimpah.
Untuk apa berbicara ekonomi Islam di saat tidak ada negara - saat ini - yang menjadi contoh penerapan dan kesuksesannya?
Beberapa contoh ajuan pertanyaan di atas seolah merobohkan banyak pengkajian-pengkajian hal tersebut. Meski itu hanya sekadar contoh. Namun dari sini kita akan mencoba mengerti bahwa idealitas kita masih berupa pikiran dan belum mewujud dalam tataran amal. Pertanyaan nya lalu menjadi sederhana, benarkah pikiran kita sudah terisi? Dengan melihat ruang amal yang begitu besar, apakah pikiran kecil akan mampu menghasilkan amal besar? Semua sepakat akan menolaknya. Semua sepakat kalau pekerjaan besar membutuhkan pikiran besar.

Mabda haruslah di pegang erat

Umat Islam disebut sebagai umat yang terbaik karena ia memiliki aqidah yang kokoh, fikrah yang kuat dan mabda yang kokoh, manhaj yang mapan serta syiar dakwah dan harakah. Kesemuanya membentuk karakter khas umat terbaik. Lalu pertanyaannya sederhana, sudah dimilikikah hal tersebut dalam diri kita?
Ataukah - selaku yang menisbahkan dirinya sebagai aktivis dakwah sampai saat ini - tak mengerti dan paham terkait hal ini? Bahkan yang dimaksud pun tak tahu?

Kalau lah prinsip nya sendiri tak tahu menahu, bagaimana ia akan memegangnya?

Tajnid dan amal

Khas karakteristik gerakan Islam ialah tajnid (pengkaderan) dan amal. Ia akan berputar dalam dua karakter khas ini. Namun dua hal ini lagi-lagi tak akan mampu menjadi karakter khas tanpa di topang kuat oleh kekokohan fikrah dan mabda yang dipegang oleh seorang muslim.

Artinya meski harakah adalah ranah aplikasi dari dakwah. Tetap ia akan bertumpu pada fikrah dan mabda yang kokoh. Bukan serampangan bergerak.

Kita melihat ideolog dari sebuah gerakan seperti Hasan al-Banna telah sukses membangun pilar gerakannya. Bahkan di saat gerakan lain wafat atas wafatnya sang pendiri, tidak bagi gerakan ini. Semua sistem terus berjalan.

Kekokohan prinsip dipertahankan. Namun zaman tetaplah memiliki khas nya. Inilah peluang yang harus dilihat. Ada prinsip yang bisa berubah.

Setelah sukses dengan ideologisasi, perangkat dan sistem di era selanjutnya. Generasi sekarang sudah seharusnya melihat perubahan dan tantangan zaman untuk segera menemukan formula baru. Berani berpikir besar untuk amal besar.

Generasi "muda" dan gagasan baru

Berpikir besar dan gagasan besar dan mungkin "nyleneh" memang sering berada pada generasi muda. Barangkali karena pengalamannya yang masih belum banyak. Mungkin itu pula yang membuat Umar bin Khattab menatap optimis setiap ada masalah besar, merekalah para penyelesainya.

Tak sedikit para generasi tua yang kemudian berpikir "saklek" dan "kaku" kecuali mereka yang memang adaptif dan melihat tantangan zaman. Setua apapun usianya, mereka tetap berjiwa muda. Bahkan jiwanya semakin muda, semakin matang setiap melihat dan mengalami peristiwa dalam kehidupannya, dalam setiap waktunya.

Cara-cara hebat yang telah sukses di waktu lalu belum tentu hari ini laku. Ini hukum tak tertulisnya.

Generasi muda di zaman kini pun mulai memiliki karakter yang khusus. Jiwa mudanya tumbuh dengan rasa penasaran tinggi, mudah bosan, serta rasa suka dan keinginan diakui sangat besar. Ditambah rotasi kampus (kelulusan) yang cepat. Kalau perlu penanganan khusus mungkin iya, tapi bagi saya, selama saya berinteraksi dalam gerakan ini, tarbiyah akan selalu melihat potensi di setiap individu dan mengembangkannya. Tapi faktanya?

Saya tidak mengatakan hasilnya sama. Orang yang "sama". Tapi fakta di lapangan barangkali begitu. Dan itu yang dirasa. Mari bertanya pada diri kita, siapa yang salah? Atau mungkin pertanyaan saya yang salah. Mari kita ganti. Apakah wadah ini masih relevan? Atau hanya perkara cara?

Cara janganlah bercampur dengan tujuan. Cara adalah ladang fleksibel.

Manhaj baru?

Kampus dan dakwah kampus perlu manhaj baru? Pertanyaan ini sederhana tapi berat. Berat bagi yang tak tahu jiwa zaman. Paradigma baru, bahkan kalau memang dibutuhkan pun perlu diperbarui. Dan tak semua kader pun paham dengan soal ini.

Bahkan arus bawah banyak yang bertanya, "dari mana indikator keberhasilan (tumuhat) dan pencapaian ini? Bagaimana adanya?" Yang ada hanya sejumput pertanyaan balik, "bagaimana cara meraihnya?"

Ini semestinya perlu di evaluasi. Dan ini menjadi persoalan lagi.

at-Tarbiyah bil Ahdaf

Apa ini? Setidaknya saya sejenak merenungi. Ini salah satu yang harus dikuatkan. Bagi saya murabbi tetaplah harus orang yang berkualitas. Mohon maaf jika banyak yang tak sependapat. Maksud saya ia haruslah mampu mendorong potensi mutarabbinya untuk terus berkembang. Jadi tarbiyah tidak "menyamakan" setiap orang. Dengan potensinya, ia tetap islami. Itu sederhananya! Artinya tarbiyah itu akan mengawali objek dakwahnya untuk mengubah fikrah dari "jahiliyah" hingga ia bersih dan mampu "bergerak" (aktivitas pergerakan/harakah). Jika ia seorang pemusik, ketika tercelup tarbiyah harusnya ia menjadi pemusik yang islami. Bukan menjadi "ustadz" yang tidak bisa bermusik.

Tarbiyah, Kampus, & aktivitas intelektual; Ketidakpuasan?

Kampus sebagai pencetak generasi intelektual. Semua sepakat. Apalagi aktivis dakwah yang intelek. Ini seharusnya hasilnya. Mendasarkan dakwah pada sebuah gerakan intelektual. Gagasan besar lahir. Narasi besar dibentuk. Ketidakmampuan menampung daya nalar dan mobilitas terhadap ide-ide, pemikiran-pemikiran, serta kemandegan dalam ranah "doktrin" seolah membuat generasi muda tak puas. Memang dakwah kampus seharusnya mampu menawarkan dakwah berbasis riset kepada publik dengan lebih baik. Tidak sporadis. Sekarang?

Sepertinya itu yang ada di sebagian benak. Saya merasakan hawa-hawa ini. Lemahnya baca, diskusi, kaji, riset, aksi. Bahkan isu-isu krusial banyak yang terlewat alih-alih fokus pada pemilu 2019. Sebut saja RUU P-KS. Gerakan mahasiswa tak banyak bersuara. Lesu? Tak punya gagasan? Tak punya narasi?

Konflik & pendewasaan

Dalam kata pengantar buku Arah Baru karya Erizal, Anis Matta menulis, "..dalam perjalanannya akan ada godaan untuk mempercepat proses, melengkapi tahapan yang harus dilalui, tapi sejarah telah mengajarkan, jalan pintas tak pernah berhasil."

Mari kita renungi, jalan pintas tak pernah berhasil. Cukup kita renungi. Sudah. Cukup. Itu saja.

Berbicara ketaatan. Semua rasanya sudah cukup. Selesai.

Namun, perlu kita pikirkan sejernih mungkin. Kenapa bisa begini? Adakah tarbiyah tak lagi mampu menampung perubahan? Atau kita ganti pertanyaan, bagaimana seharusnya tarbiyah menampung perubahan dan melihat peluang?

Berbicara ukhuwah dalam dakwah selalu diulang berkali-kali. Mari dewasakan hati.

Menyusuri Turki, Tunisia, Mesir, Malaysia; lalu Indonesia?

Turki dan Tunisia selalu menjadi rujukan berkaitan dengan model baru "pos-islamis" melalui AKP dan Ennahda. Dan, hasilnya berhasil. Begitu juga Malaysia, sekeluarnya dari PAS dan membentuk Partai Amanah. Menang! Kecuali Mesir yang menang di awal namun dikudeta akhirnya. Tersebab terlalu cepat dalam melakukan perubahan sementara banyak yang belum siap. Lalu Indonesia?

Masa depan politik Islam di Indonesia?

Seturut umat Islam bersatu di indonesia. Duka menghampiri partai politik Islam ini (PKS). Setidaknya dengan adanya perpecahan. Orang tak menyangka. Kenapa bisa begini?

Namun, harapan satu-satunya dari kesemua partai Islam tetaplah jatuh pada partai ini. Sebagai pembela isu keumatan yang masih terhitung konsisten di banding partai Islam lainnya. Bahkan fatwa untuk mencoblosnya pun keluar.

Semoga catatan akhir pekan ini jadi refleksi. Bukan untuk memperkeruh. Tapi untuk saling memperbaiki.

Karya Syekh Jumah Amin Abdul Aziz, Manhaj Taghyirnya menuliskan bahwa tarbiyah itu bukan pengajaran atau pembelajaran  layaknya sekolah formal. Ia istimewa, seharusnya.

*Viki Adi N
(Penulis dan Kurator amatir, penyuka buku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar