Ketika Anda ditanya, apa "fikrah" yang kalian bawa?
(Tulisan untuk kader KAMMI secara khusus dan Aktivis Dakwah Kampus secara umum)
Oleh:
Viki Adi N
Mari belajar dari seorang A. Hassan, tokoh besar yang tidak dipisahkan dari Persis (Persatuan Islam). Setidaknya kontribusi pemikiran dan "pembongkaran" pembelajaran efeknya bisa sampai di tangan kita sekarang. Kita bisa membaca buku "agama" dengan bahasa Melayu (baca: Indonesia) dan terjemahan al-Quran, jurnalisme agama, tidak terlepas dari kiprah satu tokoh ini.
Kalaulah dulu pembelajaran agama hanya dan harus ditemukan dalam pesantren atau mendaras pada seorang ahli. Kini ribuan bahkan jutaan eksemplar karya bisa dibaca sendiri dan untuk mendiskusikannya dalam ruang terbuka adalah hal yang biasa. Terbukti dengan maraknya kajian ada dimana-mana.
Menjadi perhatian utamanya ialah dengan mudahnya akses saja, seharusnya seorang "aktivis muslim" bisa memanfaatkannya dengan baik. Orang awam saja memanfaatkannya, apalagi yang katanya berlabel aktivis?
Perilaku dan karakter terbentuk atas apa yang ia biasakan utk dilakukan. Dan ia akan terbentuk dari sebuah pemikiran, dan pemikiran akan terbentuk dari banyaknya ia membaca. Mulai dari membaca peristiwa, alam, buku, dan apapun hingga firasat mampu ia bentuk dengan pembacaan pandangan ke arah depan. Tentu ini bukan hal mudah.
Maka kenapa konsep "ikhsan" ada di dalam Islam? Ya, itulah hasil dari daya pembacaan tingkat tinggi. Ia memadukan akal, hati, pengetahuan, perbuatan dan keimanan.
Hingga konsep "wihdatul wujud" tidak sepenuhnya salah jika kita melihat dari perspektif "ikhsan" seperti paparan Syed M. Naquib al-Attas, bukan perspektif kesatuan wujud "Aku dan Tuhan" karena konsep ini bisa menjatuhkan manusia pada konsep bahwa "aku adalah Tuhan". Inilah yang membuat para Walisongo menjatuhkan hukuman mati dan kafir kepada Syekh Siti Jenar.
Konsep membaca tidak bisa disederhanakan hanya dengan membaca buku saja.
Tapi tulisan kali ini barangkali ingin sejenak mengupas satu sarana ini. Kita harus berterima kasih kepada A. Hassan sebagai salah satu tokoh yang mendobrak kejumudan ini.
Saya kira judul di atas tidak akan ditanyakan dengan _letterlejk_ oleh orang lain. Pastinya oleh kalangan sendiri hanya untuk sekedar menguji. Anggaplah seperti itu.
Namun inilah salah satu pertanyaan mematikan yang jarang tidak bisa dijawab oleh kadernya sendiri. Saya dapati real ketika melakukan "sertifikasi" menuju AB1 di KAMMI.
Dan tulisan ini juga tidak akan membahas itu, karena toh saya telah menuliskannya di buku Recharge Semangat Dakwah atau lebih panjang di buku Untukmu Muslim Negarawan.
Kalaulah KAMMI masih membandingkan konsep iqomatuddin melalui salah satu gagasan yang diletakkan oleh Imam Hasan al-Banna (Pendiri Ikhwanul Muslimin). Tentulan karya-karyanya seharusnya menjadi perhatian bagi kadernya.
Meski seperti kata Tariq Ramadhan ketika wawancara dengan gatra, "Ikhwanul muslimin punya manhaj (metodologi khusus). Bukan untuk kekerasan, melainkan pembaruan masyarakat. Jika Anda mengikuti manhaj Ikhwanul Muslimin, tak bisa Anda menirunya begitu saja. Jangan taklid, kita harus punya jawaban yang baru untuk realitas yang baru".
Tentu inilah mengapa nuansa serta kepahaman terhadap sejarah bangsa Indonesia serta potensi yang dimiliki negeri ini, menjadi kompetensi yang harus dipahami oleh kader KAMMI.
Kekuatan fikrah dan keindonesiaan inilah dengan disertai kepahaman tentunya, yang menjadi kekuatan serta daya lenting seorang kader.
Lalu bagaimana pengkajian ini - minimal kalangan kader dakwah (ADK) - di kampus? Masih ada? Terasa? Atau hampa?
Semoga bermanfaat.
Tulisan ini pertama di post di:
https://gazalibrarypublishing.wordpress.com/2018/07/08/ketika-anda-ditanya-apa-fikrah-yang-kalian-bawa/
(Tulisan untuk kader KAMMI secara khusus dan Aktivis Dakwah Kampus secara umum)
Oleh:
Viki Adi N
Mari belajar dari seorang A. Hassan, tokoh besar yang tidak dipisahkan dari Persis (Persatuan Islam). Setidaknya kontribusi pemikiran dan "pembongkaran" pembelajaran efeknya bisa sampai di tangan kita sekarang. Kita bisa membaca buku "agama" dengan bahasa Melayu (baca: Indonesia) dan terjemahan al-Quran, jurnalisme agama, tidak terlepas dari kiprah satu tokoh ini.
Kalaulah dulu pembelajaran agama hanya dan harus ditemukan dalam pesantren atau mendaras pada seorang ahli. Kini ribuan bahkan jutaan eksemplar karya bisa dibaca sendiri dan untuk mendiskusikannya dalam ruang terbuka adalah hal yang biasa. Terbukti dengan maraknya kajian ada dimana-mana.
Menjadi perhatian utamanya ialah dengan mudahnya akses saja, seharusnya seorang "aktivis muslim" bisa memanfaatkannya dengan baik. Orang awam saja memanfaatkannya, apalagi yang katanya berlabel aktivis?
Perilaku dan karakter terbentuk atas apa yang ia biasakan utk dilakukan. Dan ia akan terbentuk dari sebuah pemikiran, dan pemikiran akan terbentuk dari banyaknya ia membaca. Mulai dari membaca peristiwa, alam, buku, dan apapun hingga firasat mampu ia bentuk dengan pembacaan pandangan ke arah depan. Tentu ini bukan hal mudah.
Maka kenapa konsep "ikhsan" ada di dalam Islam? Ya, itulah hasil dari daya pembacaan tingkat tinggi. Ia memadukan akal, hati, pengetahuan, perbuatan dan keimanan.
Hingga konsep "wihdatul wujud" tidak sepenuhnya salah jika kita melihat dari perspektif "ikhsan" seperti paparan Syed M. Naquib al-Attas, bukan perspektif kesatuan wujud "Aku dan Tuhan" karena konsep ini bisa menjatuhkan manusia pada konsep bahwa "aku adalah Tuhan". Inilah yang membuat para Walisongo menjatuhkan hukuman mati dan kafir kepada Syekh Siti Jenar.
Konsep membaca tidak bisa disederhanakan hanya dengan membaca buku saja.
Tapi tulisan kali ini barangkali ingin sejenak mengupas satu sarana ini. Kita harus berterima kasih kepada A. Hassan sebagai salah satu tokoh yang mendobrak kejumudan ini.
Saya kira judul di atas tidak akan ditanyakan dengan _letterlejk_ oleh orang lain. Pastinya oleh kalangan sendiri hanya untuk sekedar menguji. Anggaplah seperti itu.
Namun inilah salah satu pertanyaan mematikan yang jarang tidak bisa dijawab oleh kadernya sendiri. Saya dapati real ketika melakukan "sertifikasi" menuju AB1 di KAMMI.
Dan tulisan ini juga tidak akan membahas itu, karena toh saya telah menuliskannya di buku Recharge Semangat Dakwah atau lebih panjang di buku Untukmu Muslim Negarawan.
Kalaulah KAMMI masih membandingkan konsep iqomatuddin melalui salah satu gagasan yang diletakkan oleh Imam Hasan al-Banna (Pendiri Ikhwanul Muslimin). Tentulan karya-karyanya seharusnya menjadi perhatian bagi kadernya.
Meski seperti kata Tariq Ramadhan ketika wawancara dengan gatra, "Ikhwanul muslimin punya manhaj (metodologi khusus). Bukan untuk kekerasan, melainkan pembaruan masyarakat. Jika Anda mengikuti manhaj Ikhwanul Muslimin, tak bisa Anda menirunya begitu saja. Jangan taklid, kita harus punya jawaban yang baru untuk realitas yang baru".
Tentu inilah mengapa nuansa serta kepahaman terhadap sejarah bangsa Indonesia serta potensi yang dimiliki negeri ini, menjadi kompetensi yang harus dipahami oleh kader KAMMI.
Kekuatan fikrah dan keindonesiaan inilah dengan disertai kepahaman tentunya, yang menjadi kekuatan serta daya lenting seorang kader.
Lalu bagaimana pengkajian ini - minimal kalangan kader dakwah (ADK) - di kampus? Masih ada? Terasa? Atau hampa?
Semoga bermanfaat.
Tulisan ini pertama di post di:
https://gazalibrarypublishing.wordpress.com/2018/07/08/ketika-anda-ditanya-apa-fikrah-yang-kalian-bawa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar