PERAN SENI BUDAYA
DALAM MEWUJUDKAN
KARAKTER DAN KEUTUHAN BANGSA
VIKI ADI NUGROHO
KOMISARIAT KAMMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
KAMMI DAERAH SLEMAN
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.
Wr. Wb.
Segala
Puji bagi Alloh yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk banyak
belajar. Sehingga mampu bersyukur dan menyelesaikan tulisan yang sedikit ini.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dimana
karena beliau lah islam kemudian menyebar, menjadikan dunia ini makmur.
Saya
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam
segenap proses penyusunan makalah yang sederhana ini. Meski tuntutan dari
berbagai aktivitas lebih banyak, namun Alhamdulillah bisa terselesaikan. Semoga
Alloh memberikan kebaikan atas hasil usaha ini.
Dalam
menyampaikan perbaikan ini, tentu kita paham bahwa mahasiswa ini ialah anasir
perubahan, dan kampus adalah salah satu medan perubahan. Maka tidak patut kalau
ia disiakan berlalu begitu saja. Semoga apa yang saya tulis bisa bermanfaat.
Saya
yakin masih banyak kekurangan, karena memang sumbernya juga masih sedikit dan
diakumulasi dengan pengalaman yang belum genap satu tahun kepengurusan. Tentu
ini belumlah lengkap. Masih banyak acuan yang bisa dijadikan rujukan. Kritik
dan saran sangat ditunggu untuk perbaikan ke depan.
Terima
kasih.
Wassalamu’alaikum.
Wr. Wb.
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR………………………………..………….........…………. i
DAFTAR
ISI…...……………………………………….......………….......……. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
1
A.
Latar Belakang
Masalah........................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah......…..……………….…….........................…...… 2
C.
Tujuan dan Manfaat…..…………………………..…..............……… 2
BAB II PEMBAHASAN.....………………………………….................…....….. 3
A.
Hakikat
Dakwah....................................................................................
3
B.
Konsep Syumuliyatul Islam dalam Pandangan
KAMMI...................... 4
C.
Islam dan Seni Budaya..........................................................................
6
D.
Seni Budaya,
Karakter, dan Keutuhan Bangsa................................... 15
BAB III PENUTUP………………………………...............…….................…...
20
A. Kesimpulan.........................................................................................
20
B.
Saran....................................................................................................
20
DAFTAR
PUSTAKA……………………………...….....…...............……....… 22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Alloh menciptakan manusia di bumi ini
pasti bukanlah hal sia-sia seperti yang telah digariskan dalam aqidah. Seperti
disebutkan dengan jelas dalam nash Al-Quran bahwa tiada lain tugas manusia
ialah beribadah. Arti ibadah di sini tentu sangatlah luas.
Dialog Alloh dengan malaikat telah
menjadi catatan bahwa Alloh menciptakan manusia sebagai pemakmur di bumi,
sebagai pemimpin di bumi, dan ini juga merupakan ibadah dalam cakupan yang
lebih luas lagi. Karena sebagai pemakmur bumi, pemimpin bumi, maka sudah jelas
bahwa misi manusia ialah misi peradaban. Ia membawa misi perbaikan (ishlah).
Perbaikan inipun secara jelas Rasulullah telah mencontohkan bergerak dalam
sebuah komunitas (jamaah), tidak cukup jika hanya dilakukan sendirian.
Sebagai organisasi yang mewadahi
mahasiswa muslim, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dalam Rakornas nya
merumuskan tujuan jangka panjangnya yaitu jayakan Indonesia 2045. Salah satunya
ialah dalam hal kebudayaan.
Hari ini dan masa kini, ketika melihat
realita, banyak orang yang menyampingkan hal ini, bahkan sedikit sekali orang
yang akhirnya memutuskan berdakwah dalam bidang ini, yaitu seni budaya. Karena
selain dianggap hal “boleh” dan pada realitanya condong pada ketidakbermanfaatan
atau semacam “senda gurau” juga seni budaya ini penuh dengan tradisi
“pergaulan” yang banyak negatifnya, penuh dengan mistik, pemikiran sekuler, dan
sebagainya. Sehingga hanya sedikit dai yang mau menggarap bidang ini.
Namun dalam tulisan ini, saya ingin mencoba
memaparkan ide yang mungkin dianggap aneh atau tabu dan tidak banyak orang
menggarapnya, dimana saya mengambil tema peran seni budaya dalam mewujudkan
Indonesia yang berdaulat.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan saya analisis:
1. Apa
itu hakikat dakwah dan bagaimana konsep syumuliyatul Islam dalam pandangan
KAMMI?
2. Adakah
hubungan antara agama dan seni budaya?
3. Bagaimana
peran seni budaya dalam membangun karakter dan kesatuan bangsa?
C.
Tujuan
dan Manfaat
Adapun
tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui
akan hakikat dakwah dan konsep syumuliyatul Islam dalam pandangan KAMMI
2. Mengetahui
hubungan antara agama dan seni budaya
3. Mengetahui
bagaimana peran seni budaya dalam membangun karakter dan kesatuan bangsa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Dakwah
Dakwah secara istilah bermakna upaya lewat perkataan
dan perbuatan untuk mengajak serta mengubah manusia untuk berpihak pada da’i.
Ruang lingkup pemahaman istilah dakwah adalah seputar upaya lewat ucapan dan
perbuatan untuk Islam, menerapkan manhaj-nya, meyakini aqidahnya, dan
melaksanakan syariatnya. Sehingga dari sini kita akan menemukan pemahaman akan
makna dakwah, yaitu menyeru kepada agama Alloh, mendorong untuk mengikutinya,
dan mengamalkan syariatnya. (Taufik Al-Wa’iy, 2010: 13)
Tujuan dakwah ini tentunya ialah Alloh. Alloh yang
menjadi tujuan utama. Adapun tugas dan fungsi dakwah, sudah sangat jelas yaitu
memimpin dunia, atau meminjam istilah Imam Hasan Al-Banna ialah Ustadziatul a’lam, dimana Islam menjadi
guru peradaban. Namun dalam proses dakwah tersebut akan kita dapati sebuah
tabiat dan sunatulloh batu ujian. Seperti yang telah dipaparkan dalam Quran
Surat Al-Ankabut 1-3, bahwasanya Alloh akan senantiasa menguji setiap orang
yang telah mengatakan bahwa dirinya telah beriman. Dimana tabiat jalan ini
ialah panjang, terjal, bahkan hasilnya terkadang tidak bisa diukur oleh umur
individu tapi umur bangsa atau peradaban.
Begitulah jalan dakwah, sebuah jalan yang merupakan
kewajiban bagi umat Islam sebagai umat yang terbaik, umat yang membawa risalah
rahmatan lil’alamin. Umat yang tentu tidak akan pernah rela melihat
kerusakan-kerusakan disekitarnya. Sehingga pantaslah ulama hari ini menetapkan
bahwa dakwah ini menjadi wajib ‘ain seperti yang dipaparkan Syekh Mustofa Masyhur
dalam fiqh dakwahnya.
Selain kewajiban, dengan dakwah ini pula akan dapat
menghilangkan (meminimalisir) munculnya musibah bagi masyarakat. Sebagaimana
firman Alloh, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri” (As-Syura: 30) dalam firman lainnya , sebagai
jawaban atas musibah yang menimpa mereka ketika Perang Uhud, “Katakanlah: ‘itu
dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Ali-Imran: 165) [Ali Muhammad Ash-shalabi,
2006: 708]
Dari sini sudah sangat jelas bahwa kita mengetahui
rahasia Alloh bahwa kita sebagai umat muslim harus senantiasa amar ma’ruf nahi
munkar, karena merajalelanya kerusakan di muka bumi ini, di Indonesia ini tentu
akan berdampak pada fitnah dan musibah. Apalgi sebagai mahasiswa muslim, dimana
sandang “intelektualitas” terpapar secara jelas, maka sudah seharusnya
menjadikan dakwah sebagai jalan hidup. Sehingga dalam setiap ranah
kehidupannya, setiap bidang kehidupannya, akan terisi oleh perjuangan
menegakkan kebenaran dan menghancurkan keburukan.
B.
Konsep
Syumuliyatul Islam dalam Pandangan
KAMMI
Setelah kita mengetahui akan pentingnya dakwah, maka
sebelum masuk ke dalam pembahasan seni budaya, akan lebih baik ketika membahas
terlebih dahulu tentang konsep syumuliyatul
Islam dalam pandangan KAMMI.
Dalam memandang konsep Syumuliyatul Islam (baca: SI/ Kesempurnaan/ kemenyeluruhan agama
Islam), maka KAMMI mengambil konsep yang ditawarkan oleh Ikhwanul Muslimin, ini
bisa dilihat dalam proses Dauroh Marhalah I, dimana konsep SI ini dijadikan
sebagai materi dasar setelah konsep syahadatain. Lalu bagaimana konsep SI ini?
Dalam memandang konsep SI ini kita bisa merujuk pada
tulisan Imam Hasan Al-Banna dalam risalah ta’alimnya, bahwa “Islam adalah
sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara
dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan
keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan
alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran,
sebagaimana juga ia adalah akidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak
kurang dan tidak lebih”. (Hasan Al-Banna, 2012: 429)
Prinsip ini menegasakn hakikat penting dari ajaran
Islam, yaitu “keuniversalan dan keintegralan Islam yang mencakup seluruh aspek
kehidupan.” (M. Abdullah Khotib dan M. Abdul Halim Hamid, 2007: 47) dari sini
kita melihat bahwa sudah jelas bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan
menyeluruh, artinya Islam mengatur segala aspek/ bidang kehidupan bahkan hingga
ekonomi, sosial, politik, budaya, keamanan,iptek dan sebagainya.
Seperti dalam firman-Nya, “Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelasakan segala sesuatu.” (An-Nahl:
89) Juga dalam hadist bahwa Rasulullah
bersabda kepada Kabilah bani Syaiban bin Tsa’labah saat Beliau SAW menawarkan
Islam kepada beberapa kabilah di Mekah, “Kalian tidak menolak dengan buruk jika
kalian mengutarakannya dengan jujur, bahwa tiada yang dapat melaksanakan agama
ini melainkan orang yang memahaminya dari seluruh aspeknya.”
Sudah jelaslah bahwa Islam memang mengatur seluruh
aspek kehidupan, meski konsep ini saat ditulis oleh Imam Hasan Al-Banna terjadi
banyak penentangan. Ini diakibatkan karena sudah tertanam kuatnya sistem
sekulerisme yang menjangkit umat Islam waktu lalu. Bahkan hingga hari ini masih
saja ada yang memisahkan agama dengan aspek kehidupan.
Dengan sistem keuniversalan atau kemenyeluruhan ini,
maka saya pun mengangkat tema seni budaya ini. Saya sengaja mengangkat aspek
ini karena aspek ini memang jarang “diminati” dai apalagi jika sudah masuk
dalam hasil cipta/ karya, dunia panggung, berbagai jenis seni, dan sebagainya.
Padahal dalam bidang ini, ketika semua “seniman” sudah berkumpul, maka
hilanglah sebuah perbedaan, namun yang ada ialah “kebermanfaatan” tanpa peduli
baju apa yang ia pandang. Sehingga sudah seharusnya dakwah mulai masuk pada
ranah-ranah ini, hingga pada akhirnya “keglamoran” dalam bisang ini mampu
dibuat “beretika” sehingga mampu membangun peradaban yang mulia dan maju.
C.
Islam
dan Seni Budaya
1. Definisi
Seni Budaya (kesenian)
Seni Budaya yang saya maksud disini ialah kesenian.
Kesenian merupakan manifestasi budaya (priksa, rasa, karsa, intuisi, dan karya)
manusia yang memenuhi syarat-sayarat estetik. Secara garis besar, kesenian
dapat dibedakan atas hal-hal berikut: Seni sastra/ kesusastraan, seni musik,
seni tari, seni rupa, seni drama/ teater. (Endang Saifudin Anshari, 2004: 105)
2. Nilai-nilai
Dasar Islam tentang Seni Budaya
Menurut
Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Islam bicara seni, beliau berkata,
“barangkali persoalan yang paling rancu dan rumit yang berhubungan dengan
kehidupan masyarakat Islam adalah persoalan seni dan permainan.” Sehingga dalam
hal ini ada dua sikap yang berlawanan yaitu antara orang yang eksrem dan orang
yang ceroboh. Karena memang masalah ini sangat berkaitan dengan perasaan dan
emosi daripada dengan akal pikiran. Dengan inilah akhirnya muncul orang yang
menerima secara bebas (ceroboh), dan ada pula yang “ketat” berlebihan.
Orang
yang ketat ini kemudian menampilkan sosok bahwa agama hanya “kerja” dan
“ibadah” saja tanpa ada hiburan atau senda gurau, dan lebih parahnya keketatan
ini ia paksakan pada orang lain, sehingga menampilkan posisi agama menjadi
posisi yang saklek dan tidak sesuai dengan zamannya. Hal ini tentu akan berbahaya
sehingga merusak “nama” agama yang dibawanya. Adapun orang yang ceroboh ini
ialah orang yang memberikan kebebasan seluas-luasnya dalam hal senda gurau,
permainan, mereka menganggap bahwa hidup ini ialah hanya bersenang-senang. Yang
akhirnya akan menampilkan sikap hedonisme bahkan pada titik tertentu akan
mengakibatkan sekulerisme. Lalu bagaimana Islam memandang hal ini? Apakah Islam
memandang kesenian ini dengan relistis?
Tentu
saja, karena Islam memang diturunkan sebagai umat pertengahan, Islam menyeru
manusia agar memenuhi seluruh kebutuhannya dalam batas-batas yang proporsional.
Apabila olahraga merupakan penyegar jasmani, ibadah merupakan penyegar ruhani,
dan ilmu pengetahuan merupakan penyegar akal pikiran, maka seni adalah penyegar
dan santapan bagi jiwa. Hanya saja yang kami maksud dengsn seni di sini adalah
suatu bentuk karya yang dapat mengangkat kualitas manusia, bukan malah
menjerumuskannya dalam kehidupan. (Yusuf Q, 1998: 21)
Sehingga
dalam memandang sebuah karya seni atau kesenian maka kita harus memperhatikan
dua hal, yaitu “manfaat dan keindahan”. Ketika memaparkan makhluk yang berupa
binatang, Alloh berfirman, “Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk
kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya
kamu makan.” (An-Nahl: 5) Dalam ayat ini Alloh mengisyaratkan adanya
kemanfaatan. Selanjutnya Alloh berfirman, “Dan Kamu memperoleh pandangan yang
indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
melepaskannya ke tempat penggembalaan.” (An-Nahl: 6) Dalam ayat ini Alloh
mengingatkan adanya aspek keindahan.
“Hai
Anak Adam pakailah pakaianmu yang indah itu setiap memasuki masjid, makan dan
minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai
orang-orang yang berlebihan.” (Al-A’raf: 31)
Memakai
hiasan itu untuk memenuhi kebutuhan jiwa manusia, sedangkan makan dan minum
adalah untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, kedua-duanya diperlukan. Begitulah
pendapat dari Ketua Ulama Islam Internasional.
Penulis
juga ingin memaparkan pendapat dua organisasi besar Islam yang ada di Indonesia
yaitu NU dan Muhammadiyah, yang diambil dari situs webnya.
Nahdhlatul
Ulama (NU) sendiri terkait hal ini telah menetapkan dalam Lembaga Bahtsul
Masailnya tentang kesenian. Bahkan NU sendiri memiliki Lesbumi (Lembaga Seniman
Budayawan Muslim Indonesia). Ketika kita menelisik isinya, NU sudah tidak
bicara boleh atau tidak bolehnya tentang kesenian (karena memang NU sudah
terkenal dengan sistem tradisi/ budayanya), namun sudah berbicara tentang
jangan sampai kesenian hanya dinilai dari segi pragmatisme (ekonomi, kekuasaan,
kapitalisme, dsb). Isinya antara lain: (1) Menolak praktik eksploitasi terhadap
kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya
beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka. (2) Mengembalikan
kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman
melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat,
untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang
terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan
eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin. (3) Menolak
kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai
alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak
dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun
universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari
ikatan relativisme historis suatu masyarakat. (4) Memperjuangkan kebudayaan
(baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan
ideologi suatu masyarakat; maupun terlebih sebagai praktik dan tindakan mereka
dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan
produk material yang mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan
oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi
kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan. (5)
Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional,
modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan
kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi
pasar, maupun kekuatan formalisme agama. (6) Merumuskan dan mengembangkan
“fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan
memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah
kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus
warga masyarakat-bangsanya. (7) Ke-Indonesia-an adalah tanah air kebudayaan
kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak
kreatifitas kami, realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi
perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air
kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa
ini
Dalam
situs Nahdlatul Ulama (nu.or.id), mengutip pendapat Imam Al Ghazali dalam
magnun opusnya (ihya ulumuddin), menyisahkan
satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik.
Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian
terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik. Menurut al-Ghazali,
baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi
musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat
musik tertentu, semisal seruling dan gitar.
Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan
tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan
disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun
kharij). Di awal-awal
Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di
tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras. Orang Islam tidak boleh meniru gaya
hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa
minhum” (barangsiapa meniru
gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu).
Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat
Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip
ketakwaan, dst.
Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak
berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari
makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin
disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka
tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga
sebaliknya.
Adapun fatwa Muhammadiyah dalam memandang seni budaya bisa
dilihat pada Keputusan Munas Tarjih XXIII Tentang Kebudayaan dan Kesenian.
Berikut saya tuliskan point 4-12: (4) Seni adalah penjelmaan
rasa keindahan yang terkandung dalam jiwa manusia dilahirkan dengan perantara
alat-alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap indera. (5) Seni
budaya merupakan penjelmaan rasa seni yang sudah membudaya, yang termasuk dalam
aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh orang banyak dalam rentang waktu
perjalanan sejarah peradaban manusia. (6) Rasa seni adalah perasaan keindahan
yang ada pada setiap orang normal yang dibawa sejak lahir. Ia merupakan sesuatu
yang mendasar dalam kehidupan manusia yang menuntut penyaluran dan pengawasan
baik dengan melahirkannya maupun dengan menikmatinya. Artinya proses
penciptaan seni selalu bertitik tolak dari pandangan seniman tentang realitas
(Tuhan, alam dan manusia). (7) Rasa seni merupakan salah satu fitrah manusia
yang dianugerahkan Allah SWT yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik
sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Allah SWT sendiri. Allah itu Maha
Indah dan Mencintai Keindahan. (8) Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang
berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia, justru menyalurkan
dan mengatur tuntutan fitrah tersebut. Termasuk dalam hal ini fitrah rasa seni,
karena itu seni tidak bebas nilai. (9) Menciptakan dan menikmati karya seni
hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah dan mengakibatkan fasad (kerusakan),
darar (bahaya), ‘isyan (kedurhakaan), dan ba’id
‘anillah (keterjauhan dari Allah), yang merupakan rambu proses
penciptaan dan menikmatinya.
Sebagai
orang mukmin, sudah seharusnya memiliki perasaan yang dalam terhadap keindahan,
karena memang itu fitrahnya, apalagi Alloh mencintai keindahan, dan Yang Maha
Indah (Al-Jamil) juga salah satu nama Alloh sekaligus merupakan salah satu
sifat Nya. Jadi jika kita sebagai aktivis dakwah, sebagai kader KAMMI, maka
janganlah kita rusak dakwah ini, janganlah kita burukkan dakwah ini, hanya
karena rusaknya atau buruknya tampilan kita, hanya karena kita tidak bisa
membaur dengan objek dakwah kita khususnya yang berada dalam bidang kesenian
atau seni budaya. Karena kesenian adalah bagian dari kebudayaan, dan kita sudah
sepakat bahwa Islam agama yang sempurna, agama yang menyeluruh, sehingga agama
Islam sudah seharusnya menjadi sumber kekuatan kebudayaan yang harus kita
perjuangkan.
3. Jejak
Islam dalam Kesenian
Jejak Islam dalam
kesenian ini ialah tokoh-tokoh Islam zaman dahulu yang menorehkan tintanya
dalam bidang kesenian, kebanyakan nama-nama yang tercatat memang penyair karena
sebuah karyanya yang memang masih banyak tersimpan, seniman musisi maupun
perupa mungkin lebih sulit dicari namanya, hanya beberapa yang menjadi pimpinan
pelukis istana, namun karya-karya seniman ini masih banyak terpampang baik di
istan-istana bersejarah islam maupun masjid-masjid bersejarah.
a. Al
Kindi (801-873), merupakan filsuf Islam yang pertama dan beliau orang yang ahli
musik. Beliau juga menemukan bahwa musik bisa dijadikan sebagai media
pengobatan.
b. Al-Farabi,
selain sebagai filsuf ia juga menulis kitab Musiqil Kabir (Kitab besar tentang
musik timur) dan Qounun (semacam alat musik kecapi). Beliau juga meneliti
tentang musik sebagai media pengobatan, yang pada nantinya berkembang saat era
Turki Usmani.
c. Abul
Thayyib Al-Mutanabbi (915-965, penyair arab terkenal. Salah satu karyanya
“Diwan” yang berulang kali diterbitkan.
d. Firdausi
(940-1020), penyair epos terbesar dari Persia. Salah satu karyanya ialah
Syahmana (sejarah raja-raja persia).
e. Abul
A’la Al-Ma’ari (973-1057), penyair dan filsuf muslim dari persia, merupakan
inspirator dari Dante Aigieri.
f. Nizami
(1140-1202), seorang pujangga besar, karya besarnya contohnya ialah Nizam,
Laila majnun.
g. Jalaludin
Ar-Rumi (1207-1273), dimana karya diwannya hingga 26.660 bait, juga tentang
cerita berisi ajaran sufi. Saat mengarang kumpulan puisi al matnawi, ia
memberikan kritikan terhadap ilmu kalam yang kehilangan semangat dan
kekuatannya, juga terhadap filsafat yang hanya mengedepankan rasio secara
berlebihan.
h. Umar
Khayyam (1038-1123), seoran penyair, dalam puisinya ia mempopulerkan
sajak-sajak berjumlah empat baris yang hingga kini diikuti oleh penyair dunia.
i.
Muhammad Iqbal (1873-1928), merupakan
filsuf dan penyair terbesar abad 19, Pada karya
shikwa,Iqbal menulis tentang warisan muslim dan keturunanya, sedangkan pada
karya jawab I Shikwa ,ia menyampaikan penyebab keruntuhan itu, mengapa harus pasrah
menerimanya sebagai takdir,bukan berusaha untik bangkit.
j.
Sayyid quthb, cendekiawan muslim,
pemikir muslim, dan penyair, karyanya tentang nabi yang disukai anak-anak
membuatnya populer di Mesir, karya tafsirnya Fidzilalil Quran yang mengkritik
akan budaya hidup barat.
k. Sunan
Kalijaga, merupakan salah satu dari 9 wali yang ada di Indonesia untuk
berdakwah dan mengubah masyarakat jawa menuju agama Islam melalui budaya,
karya-karyanya: Pengarang lakon pewayangan,
Layang kalimah sada; Suluk Lir ilir; Lanskap kota yang terdiri kraton, alun
alun dan masjid; penggagas baju taqwa.
l.
Said Abdul Mumi (wafat tahun 1924),
pendiri sekolah musik saat dinasti Abbasiyah.
m. Al-Mausili
(767-850 M), musisi yang disegani saat dinasti Abbasiyah.
n. Yunus
bin Sulaiman Al-Khatib (wafat tahun 785 M), juga merpakan pengkaji musik yang
dihormati.
o. Khalil
bin Ahmad (wafat 791 M), orang pertama di zaman Islam yangmemperkenalkan teori
menuliskan irama musik dengan not balok.
p. Hunia
bin Ishak (wafat 873 M), berhasil memperbaiki musik Arab di zaman Jahiliyah
dengan sistem baru. Ia menulis Kitab Ilhan Ghanam (buku Not dan irama) sehingga
ia menjadi terkenal.
q. Al-Wasiti,
seorang pelukis yang terkenal di zaman akhir Abbasiyah. Yang dijelaskan pada
manuskrip teks Maqamat.
r.
Kamaludin Behzad, direktur studio lukis
istana saat dinasti shafawiyah yaitu saat rajanya Shah Ismail I Shafav, bahkan
sebelumnya saat dinasti Timurid berkuasa, ia juga ditunjuk sebagai pelukis
istana. Dia merupakan maestro seni lukis miniatur (Persia) yang terkemuka.
Karya lukisnya terkenal hingga peradaban barat, hingga ditemukan pada manuskrip
kitab klasik, karya laila majnun, bahkan saking terkenalnya ia masuk ke dalam
novel Orphan Pamuk.
s. Nasuh
Al-Matraki, seniman pelukis miniatur terkemuka, hampir semua lukisan tersimpan
di perpustakaan istana istanbul, beialu hidup di masa Sultan Sulaiman
Al-Qanuni.
t.
Ibnu Muqlah (887-940 M), tokoh kaligrafi
terkenal di dunia, ahli tentang ilmu geometri, penemu kaligrafi naskhi dan
kuhfi.
u. Hasyim
Muhammad Al-Baghdadi (1917-1973), lulusan institut kaligrafi di Kairo, bekerja
di departemen dekorasi kaligrafi di Baghdad, beliau pencipta khat riq’ah,
sehingga beliau ditunjuk menjadi pengawas dalam kementrian di Baghdad sebagai
pengawas mushaf tulisan arab untuk yang pertama kali, menjelang wafatnya, belum
ada yang bisa meniru karakter kaligrafinya.
v. Ibnu
Bawwab, beliau penerus Ibnu Muqlah, mampu meneruskan khat naskhi, merupakan
putra penjaga istana baghdad, beliau juga seorang hafidz, tulisan kaligrafinya
banyak ia torehkan di masjid Istanbul turkey, beliau mampu menguasai 6 khat
gaya lukisan kaligrafi, bahkan karya nya tersebar di dunia termasuk Indonesia,
hingga karyanya memiliki nilai jual hingga 40-60 dinar per karya.
4. Seni
Budaya dan Peradaban
Agama
Islam sebagai dasar dari semua aspek kehidupan. Islam menjadi asas dalam setiap
kita berucap serta bertindak, menjadi asas dalam setiap kehidupan sehingga
dalam perkembangannya akan lahirlah sebuah kebudayaan dan peradaban.
Mengutip
pendapat Effat Al-Sharqawi dalam filsafat kebudayaan Islam dalam bukunya Badri
Yatim, bahwa kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu
masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis
lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan
dalam seni, sastra, religi dan moral, maka peradaban terfeleksi dalam politik,
ekonomi, dan teknologi.
Landasan Peradaban Islam ialah kebudayaan Islam terutama wujud
idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi dalam Islam,
tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (non samawi), agama
bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan adalah
hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama islam adalah wahyu dari Tuhan.
(Badri Yatim, 2015: 3)
Adapun
kesenian merupakan bagian dari kebudayaan, dimana kebudayaan menjadi landasan
peradaban. Maka kesenian ini menjadi salah satu unsur yang akan mempengaruhi
kemajuan peradaban. Sehingga dari sini ketika ingin melihat kemajuan peradaban
maka kita bisa melihat dari kemajuan unsur-unsur yang menjadi bagiannya, salah
satunya ialah seni. dan yang perlu diperhatikan bahwa kemajuan peradaban juga
tidak dilihat dari keseniannya saja, tapi semua unsur yang ada dalam sebuah
peradaban, seperti moralitas, ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan fisik
(bangunan, fasilitas) maupun non fisik (kesehatan, ekonomi, dsb).
Lalu
pertanyaan selanjutnya, bisakah dari kesenian ini mampu mewujudkan karakter dan
keutuhan bangsa sebagai bagian untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat?
D.
Seni
Budaya, Karakter dan Keutuhan Bangsa
Perlu kita ketahui bahwa apa yang disebut dengan
suatu bangsa adalah karena adanya kesamaan budaya. Sehingga dalam suatu negara
bisa saja ada lebih dari satu bangsa, bahkan dalam pemahaman nasional kita
hingga ada suku bangsa yang sangat beragam hingga lebih dari 500 suku dengan
bahasa lebih dari 700. Sudah menjadi tanggungjawab kita, bahwa kita memiliki
dua amanah besar dalam menjaga budaya ini. Pertama, budaya dari suku-suku
bangsa yang ada di Indonesia dan yang kedua adalah budaya nasional Indonesia
itu sendiri.
Dalam memahami budaya dan karakter bangsa,
sebenarnya ini bisa dijadikan sebuah pendekatan. Mengutip tulisan Edi Sedyawati
dalam kebudayaan di Nusantara, kalau kita sebut “karakter bangsa”, tentu yang dimaksud
adalah karakter suatu satuan nasional yang disebut “bangsa Indonesia”, secara
keseluruhan. (Edi Sedyawati, 2014: 7)
Dapatkah kiranya hal itu diidentifikasikan akan
keanekaragaman “karakter” yang dapat membedakan seperti suku Jawa, Bali, Batak,
Bugis, Minang? Apalagi ketika melihat seni budaya/ keseniannya? Sehingga perlu
adanya atau dicarinya – meminjam istilah Edy – “kesadaran sejarah” sebagai
pembentukan kesatuan nasional.
Penanaman nilai akan kebanggaan sejarah ini harus
disosialisasikan benar-benar, bahkan tidak sekedar menjadi teori saja, namun
diprogramkan menjadi sebuah tingkah laku. Meski tingkah laku ini sebenarnya
sudah berjalan hanya saja tergerus oleh arus globalisasi yang akhirnya anak
cucu kita merasa “asing” dengan budayanya sendiri dan malah bangga dengan
budaya asing yang masuk meski tidak sesuai dengan moralitas bangsa Indonesia.
Sehingga terkadang jalur budaya ini agak sulit untuk
dimasuki oleh aktivis dakwah ketika mereka memang tidak bisa membaur. Bahkan
efek ketercapaiannya bisa diprediksikan lama dan hanya membawa pada
“penghabisan” pemikiran, tenaga, waktu. Namun pernahkah kita terpikirkan
bagaimana Sunan Kalijaga mampu menggeser hasil “budaya” (seni budaya/ kesenian)
dari yang nilai non-religi menjadi sebuah nilai religi tanpa merubah sebuah
penampilan?
Sebuah jangkauan pemikiran yang melampaui zamannya.
Sebuah pendekatan budaya dalam membentuk karakter bangsa, lalu pertanyaannya,
karakter seperti apa yang bisa dicapai dengan pendekatan budaya ini?
Perlu kita ketahui bahwa kebudayaan berinti suatu
sistem gagasan: konsep-konsep dan nilai-nilai. Sehingga seorang aktivis dakwah
hari ini ketika mau menggarap ranah ini, mereka harus siap menjadi “Sunan
Kalijaga” selanjutnya. Ia harus berani untuk menggeser dan mengarahkan nilai ke
arah kebaikan sesuai prinsip Islam. Memang kedengarannya cukup gila, tapi
begitulah. Kita bisa melihat pergeseran balik kanan suatu kebudayaan, misal di
Keraton Yogyakarta. Dahulu saat Sultan pertama masih menjadikan agama sebagai
landasan, dalam seni budaya seperti tarian misalnya, Sultan akan menampilkan
tari perjuangan yang esensinya ialah semangat akan perjuangan membela agama dan
tanah air, namun hari ini apa yang ditampilkan ialah para gadis dengan
tariannya yang beresensi hanya pada estetika tanpa melihat esensi secara
praktis. Sehingga perubahan “budaya” yang dulunya Kraton tercitrakan sebagai
kerajaan Islam sekarang berubah menjadi seolah-olah kejawen, banyak hal-hal
yang berhubungan dengan sesaji dan sebagainya.
Padahal kalau kita mau jujur, pendekatan dengan
ranah seni budaya/ kesenian adalah pendekatan berbasis “keberpengaruhan” atau
“kebermanfaatan”. Misalnya, ada sebuah komunitas musik, pekerjaannya tiap
minggu mengadakan pentas musik. Maka ketika seorang aktivis dakwah berdakwah
disana, maka pertama yang ia lakukan adalah menjadi aktor dari pemusik itu,
meminjam istilah orang Jawa, “srawung”
sebagai kuncinya. Sehingga ketika kita sudah bergaul pilihannya hanya ada dua,
ia berpengaruh atau dipengaruhi. Makanya sedikit orang yang kemudian mau menghibahkan
dirinya untuk berjuang di ranah ini. Sebenarnya bagi saya ini adalah sebuah
tantangan untuk menciptakan kebermanfaatan dan keberpengaruhan. Karena saat
para pemusik ini bermain, mereka sudah tidak melihat “baju”, apakah ia aktivis
dakwah, apakah ia seorang birokrat, apakah ia seorang artis, maka semua larut
dalam kegembiraan jiwa, tapi yang terlihat adalah keberpengaruhan dan
kebermanfaatan, selagi ia bermanfaat bagi komunitas ini, maka ia akan
“didengarkan” dan dari situlah proses keberpengaruhan akan dimulai.
Sehingga dengan dakwah pendekatan budaya ini, bukan
berbicara karakter apa yang kita dapatkan, tetapi karakter seperti apa yang
ingin kita buat. Harapannya dengan proses berubahnya komunitas-komunitas kecil
yang tadinya hanya bermanfaat untuk komunitasnya, komunitas ini lalu akan
meluaskan kebermanfaatannya untuk komunitas yang lain, dan sebagainya akan
terus meluas ketika para aktivis dakwah ini mau melakukan proses rekayasa
sosial dan konsolidasi. Semoga ini bisa menjadi ladang garapan dari aktivis
KAMMI dengan bidang Seni dan Olahraga khususnya. Sehingga budaya yang baik,
pada nantinya mampu membentuk bangsa yang baik.
Mengapa seni mampu membentuk karakter? Kalau tadi
saya bicara tentang keberpengaruhan (eksternal), maka secara kepribadian
(internal) seni juga berpengaruh, khususnya pada anak-anak. Meminjam istilah
Setyoadi Purwanto dalam bukunya Pendidikan Karakter melalui Seni, bahwa Seni
bekerja “sangat mengesankan”. Katanya, “Kesenian menghadirkan kegembiraan dalam
jiwa, kegembiraan menggetarkan emosi manusia, emosi yang intens menggerakkan
sikap dan perilaku, sikap dan perilaku membentuk kepribadian, dan kepribadian
yang kukuh mengantar setiap jiwa pada takdir-Nya.” (Setyoadi Purwanto, 2016: 2)
Kenapa pada anak-anak? Ketika kita jujur, maka
anak-anaklah yang berani mengungkapkan apa yang ia rasa, ia berani menyanyi
tanpa malu, ia berani mencorat-coret kertas, tembok, ia berani berlari kemana
saja, meniru apa yang orang lain laukan, dan sebagainya. Maka pada hakikatnya
dalam fitrah naluri anak jika kita perhatikan, konsep kreativitas sudah sangat
besar, lalu konsep moralitas pun bisa dibentuk dengan keteladanan. Maka jawaban
terhadap fitrah naluri ini salah satunya ialah belajar dan bermain dengan seni,
seperti menyanyi, bercerita dan menggambar. Biarkanlah anak-anak menggambar apa
yang ia inginkan tanpa harus dibimbing dan diarahkan, karena itu memang
mewakili apa yang ia rasa, pujilah apa yang sedang ia buat dan tanyalah apa
yang sebenarnya ia gambar. Maka hal itu akan menanamkan rasa kasih sayang dan
perhatian sehingga anak akan lebih mematuhi orang tua dan merasa diperhatikan.
Pada hal musik, ajarilah, dengarkanlah pada mereka musik-musik anak atau lagu
anak yang memiliki pesan kebaikan, religi dan nasionalisme, sehingga
lirik-lirik kebaikan itu akan tertanam kuat dalam jiwa anak sehingga menjadi
pelajaran baginya, sesekali ajaklah anak-anak untuk membicarakan lirik dan kita
ungkapkan maknanya dengan bijak.
Inilah yang perlu dipahamkan kepada guru saat ini,
khususnya guru yang mengajar seni budaya di taman kanak-kanak dan sekolah
dasar. Bahwa ternyata ada sarana - yang oleh banyak orang dianggap hanya
sebagai pelengkap saja – yang dekat dengan jiwa manusia dan jiwa anak-anak
yaitu seni. Referensi dan penelitian ini bisa dirujuk banyak buku dan pendapat
ahli.
Beralih pada seni dalam mewujudkan keutuhan bangsa.
Apabila kita berbicara “karakter” dalam pendekatan budaya, maka tidak akan
terlepas dari persoalan “keutuhan” bangsa. Aplagi Indonesia dengan beragam suku
bangsanya. Seperti yang saya katakan tadi bahwa ketika seniman-seniman ini
sudah berbaur maka semua akan menyatu, melebur tanpa melihat “baju” apa yang ia
pakai, namun kontribusi apa yang bisa ia berikan. Apalagi semua budaya antar
suku tersebut tersatukan oleh apa yang dinamakan budaya Indonesia yang
konsepsinya telah diciptakan oleh founding fathers kita, “bhineka tunggal ika”.
Sehingga proses penciptaan “toleransi” dan saling menghargai harus selalu di blow up - selain dari media - harus
didukung oleh aspek yang lain seperti pendidikan, ekonomi, hukum, kemanan dan
sebagainya.
Masih ingat ketika tari Pendet yang kemudian muncul
di iklan Malaysia? Yang kemudian warga bangsa Indonesia marah-marah? Masih
ingat pula dengan “wayang” yang tadinya tidak dijadikan sebagai budaya Indonesia
oleh dunia? Hingga netizen Indonesia
pun berkoar-koar dalam akun medsosnya dari yang halus sampai yang kasar? Dari
sini kita melihat bahwa kesadaran“kesatuan nasional” sebenarnya sudah
terbentuk, yang disayangkan ialah proses pelestariannya itu. Sebagai aktivis
dakwah, sebagai kader KAMMI, tentu ini adalah hal yang bisa menjadi peluang
untuk “digarap”, ketika jarang orang yang mau melestarikannya, maka sudah
seharusnya kita mau menjadi “Sunan Kalijaga” selanjutnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
yang bisa diambil, yaitu:
1. Dakwah
pada hakikatnya ialah sebuah kewajiban bagi umat muslim, jalannya terjal,
waktunya tidak menentu, dan menyerap semua apa yang kita punya, namun itulah
konsekoensi dari ciri umat terbaik.
2. KAMMI
percaya dan mengikuti konsep syumuliyatul islam, yaitu konsep kesempurnaan dan
kemenyeluruhan agama Islam, sehingga semua aspek dalam kehidupan ini diatur
oleh Islam.
3. Seni
Budaya dalam hal ini kesenian, merupakan manifestasi dari budaya itu sendiri.
Islam dalam memandang seni ini tidak kaku dan juga tidak kebablasan, karena
islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah, dan umat Islam adalah umat
pertengahan.
4. Pembangunan
karakter melalui seni budaya bisa dilakukan dengan ikut membaur dan memberikan
kebermanfaatan (secara eksternal) serta melalui pendidikan seni budaya pada
anak-anak (secara internal), sehingga mampu memiliki keberpengaruhan untuk
mengarahkan manifestasi budaya itu demi mewujudkan keutuhan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang memiliki banyak suku
.
B.
Saran
1. Tulisan
ini belumlah sempurna, karena penulis masih mengkaji sebatas pengalaman saja,
belum banyak referensi yang digunakan.
2. Akan
lebih baik jika proses intelektual dan kajian ini digarap oleh KAMMI sehingga
mampu mengembangkan sumber daya manusia sebagai upaya balancing power di tengah arus korporatisme kuasa
3. KAMMI
sebagai gerakan perbaikan yang menempatkannya sebagai tradisi dan menempatkan
kebatilan sebagai musuh, maka harus berani untuk “srawung” dengan organisasi/
komunitas seperti ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Banna,
Hasan. 2012. RISALAH PERGERAKAN HASAN AL-BANNA Jilid 1. Surakarta: Era Adicitra
Intermedia.
Al-Wa’iy,
Taufik. 2010. Dakwah ke Jalan Alloh; Muatan, Sarana dan Tujuan, Jakarta:
Robbani Press.
Anshari,
Endang Saifuddin. 2004. Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma
dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Khatib,
Muhammad Abdullah dan Muhammad Abdul Halim Hamid. 2007. Syarah Risalah Ta’alim. Jakarta: Al-I’tishom.
M.
Ash-Shalabi, Ali. 2006. Fikih Tamkin; Panduan Meraih Kemenangan dan Kejayaan
Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Masyhur,
Musthafa. 2013. Fiqih Dakwah Jilid 1. Surakarta: Era Adicitra Intermedia.
Purwanto,
Setyoadi. 2016. Pendidikan Karakter Melalui Seni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedyawati,
Edi. 2014. Kebudayaan di Nusantara; dari Keris, Tor-tor sampai Industri Budaya.
Jakarta: Komunitas Jambu.
Yatim,
Badri. 2015. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali
Pers.
http://www.bluefame.com/topic/258642-7-seniman-muslim-yang-mengubah-dunia/,
Sabtu, 25 September 2016, 06:40 WIB.
http://fantarambah13.blogspot.co.id/2013/02/peradaban-islam-dan-musik-islami.html,
Sabtu, 25 September 2016, 06:53 WIB.
http://fantakerinci7.blogspot.co.id/2013/02/beberapa-tokoh-musik-islam.html,
Sabtu, 25 September 2016, 06:58 WIB.
http://www.republika.co.id/berita/shortlink/38931,
Sabtu, 25 September 2016, 07:20 WIB.
http://www.kaligrafi-masjid.com/2016/04/tokoh-kaligrafi-islam-dunia.html,
Sabtu, 25 September 2016, 07:48 WIB.
http://www.nu.or.id/post/read/19340/pandangan-ulama-terhadap-seni-musik,
Minggu, 16 Oktober 2016, 07.43 WIB.
https://adamdarko.wordpress.com/muhammadiyah-bicara-seni/,
Minggu, 16 Oktober 2016, 08.08 WIB.
http://angga-mardiansyah.blogspot.co.id/2012/11/a.html,
Minggu, 16 Oktober 2016, 08.29 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar