Jumat, 16 Desember 2016

Geliat Politik Kampus di Era NKK/BKK Gaya Baru



Geliat Politik Kampus di Era NKK/BKK Gaya Baru

Viki Adi N

Penggagas Gerakan Literasi Mahasiswa
Ketua PK KAMMI UNY 2016


Geliat Politik Kampus mahasiswa hari ini khususnya UNY, sedang menjadi pembicaraan yang cukup berarti, khususnya bagi mahasiswa yang masih memiliki nalar kritis, nalar aktivis, dan nalar untuk bergerak. Bukan kepada para apatis atau oportunis. Menjadi sebuah perhelatan besar khususnya dalam bab Pemilihan Umum Mahasasiswa hari ini di UNY. Saya kira bagi orang yang berkecimpung dalam dunia gerakan mahasiswa ataupun bagi pengamatnya. Tidak asing bagi mereka dengan kebijakan NKK/BKK dahulu saat orde baru. Berterimakasihlah kepada kebijakan itu.

Berterimakasihlah kepada kebijakan itu karena ia telah memandulkan geliat nalar kritis mahasiswa, mematikan kebebasan berpendapat, mematikan potensi nalar gerak mahasiswa, mengembalikan mahasiswa hanya ke dalam bangku kelas, menundukkan mereka pada penguasa, bahkan posisi tawar yang kecil di mata publik.

Berterimakasihlah kepada kebijakan itu karena ia telah melahirkan berbagai macam blok-blok, kelompok-kelompok study, bahkan gerakan-gerakan baru. Bukan hanya melahirkan blok-blok baru, namun akhirnya blok-blok itupun mampu bersatu dalam sebuah tekanan, meski pasca reformasi blok-blok itu kembali memilih jalannya masing-masing. Ada yang akomodatif, memilih oposisi, memilih mengawal, atau menyesuaikan terhadap kondisi.

Bagi orang yang masih bisa berfikir, adanya kekuatan besar mahasiswa waktu itu ialah karena satu isu besar, satu tekanan besar, satu maslah besar, dan satu musuh besar. Ini merupakan hikmahnya, lalu bagaimana dengan UNY sekarang? Dari mulai pencabutan halus sistem student government dari Republik Mahasiswa, istilah Presiden, hingga terjadi aksi di bulan-bulan kemarin di depan rektorat, ancaman DO kepada Ketua BEM UNY dan Menteri Karispol BEM UNY, dimana pihak birokrasi turun langsung mendatangi rumah mereka.

Bagi aktivis mahasiswa sebenarnya itu hal biasa. Yang menjadi tidak biasa, dimana katanya hari ini ialah “abad demokrasi”, tapi masih saja seperti itu. Hingga kemudian aksi-aksi selanjutnya dilakukan oleh gerakan berbagai aliansi yang menuntut kebebasan akan demokrasi kampus.

Sebenarnya ketika mata kita menjadi mata pengamat, atau menjadi orang ketiga di luar cerita dalam sebuah novel, maka ada satu kesempatan besar bagi gerakan-gerakan mahasiswa, ada satu isu besar, ada satu masalah besar! Tapi memang benar bahwa pengamat tetaplah pengamat, orang ketiga tetaplah orang ketiga, dan memang sejarah ditulis sesuai keinginan penguasa. Dan memang benar pula bahwa kepentingan memperebutkan kursi kepemimpinan mahasiswa yang seharusnya mampu menjadi corong persaingan sehat dan penunjukkan eksistensi serta kapasitas masing-masing gerakan dalam menumbuhkan daya intelegensia mahasiswa, malah berbalik menjadi proses saling membunuh. Mungkin itulah yang membuat sebagian besar mahasiswa lebih memilih menjadi orang ketiga di luar cerita, bahkan lebih dari itu, tapi memilih untuk tidak tahu menahu!

Pernahkah kita berfikir dengan adanya “permasalahan-permasalahan” seperti ini di masing-masing kampus – saya kira masalah ini juga sering terjadi di kampus-kampus lain – bahwa ada sebuah hegemoni dari penguasa – baca: pemerintah – dengan menurunkan pada penguasa lainnya – baca: birokrasi kampus – dalam sebuah proses pemandulan nalar kritis dan nalar gerak mahasiswa? Sehingga masing-masing gerakan mahasiswa sibuk dalam urusan kampusnya, dan lupa akan masalah bangsanya? Mungkinkah ini NKK/BKK gaya baru?

Penyempitan maka “prestasi” pun berlaku. Semua harus menjadi trophy, menjadi uang, menjadi popularitas. Karya-karya ilmiah yang kemudian menjadi wacana, menjadi ajang perhelatan besar. Memang tidak ada salahnya, karena semua yang terjadi hari ini ialah berawal dari wacana masa lalu. Pemadatan SKS atau mata kuliah sehingga proses pergantian atau rotasi mahasiswa dan pasca kampus menjadi cepat hingga kebijakan-kebijakan perguruan tinggi yang kemudian menyibukkan mahasiswanya untuk study lapangan berbulan-bulan.

Terjadi sebuah perubahan zaman, terjadi sebuah pergeseran. Alasan-alasan di atas memang ke depan akan menjadi tren, tren akademis, sebuah gaya baru dalam aktivis mahasiswa. Sudah seharusnya gerakan mahasiswa mampu membaca arah gerak baru ini, arah gerak baru generasi tren akademis, generasi Z, generasi yang termudahkan. Bukan persoalan kaderisasi saja, namun bagaimana gerakan mahasiswa mampu memupuk nalar gerak mahasiswa tanpa harus mengubah haluan – yang pada nantinya malah menjadi usang – dalam kondisi yang sudah berbeda.


Selamat membaca ARAH GERAK BARU itu! Karena bagi saya sebagai kader KAMMI, bahwa “Perbaikan adalah tradisi Perjuangan KAMMI!”, “Kebathilan adalah Musuh Abadi KAMMI”, “Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar