Geliat
Politik Kampus di Era NKK/BKK Gaya Baru
Viki
Adi N
Penggagas Gerakan
Literasi Mahasiswa
Ketua
PK KAMMI UNY 2016
Geliat
Politik Kampus mahasiswa hari ini khususnya UNY, sedang menjadi pembicaraan
yang cukup berarti, khususnya bagi mahasiswa yang masih memiliki nalar kritis,
nalar aktivis, dan nalar untuk bergerak. Bukan kepada para apatis atau oportunis.
Menjadi sebuah perhelatan besar khususnya dalam bab Pemilihan Umum Mahasasiswa
hari ini di UNY. Saya kira bagi orang yang berkecimpung dalam dunia gerakan
mahasiswa ataupun bagi pengamatnya. Tidak asing bagi mereka dengan kebijakan
NKK/BKK dahulu saat orde baru. Berterimakasihlah kepada kebijakan itu.
Berterimakasihlah
kepada kebijakan itu karena ia telah memandulkan geliat nalar kritis mahasiswa,
mematikan kebebasan berpendapat, mematikan potensi nalar gerak mahasiswa,
mengembalikan mahasiswa hanya ke dalam bangku kelas, menundukkan mereka pada
penguasa, bahkan posisi tawar yang kecil di mata publik.
Berterimakasihlah
kepada kebijakan itu karena ia telah melahirkan berbagai macam blok-blok,
kelompok-kelompok study, bahkan gerakan-gerakan baru. Bukan hanya melahirkan blok-blok
baru, namun akhirnya blok-blok itupun mampu bersatu dalam sebuah tekanan, meski
pasca reformasi blok-blok itu kembali memilih jalannya masing-masing. Ada yang
akomodatif, memilih oposisi, memilih mengawal, atau menyesuaikan terhadap
kondisi.
Bagi orang yang masih
bisa berfikir, adanya kekuatan besar mahasiswa waktu itu ialah karena satu isu
besar, satu tekanan besar, satu maslah besar, dan satu musuh besar. Ini
merupakan hikmahnya, lalu bagaimana dengan UNY sekarang? Dari mulai pencabutan
halus sistem student government dari Republik Mahasiswa, istilah Presiden,
hingga terjadi aksi di bulan-bulan kemarin di depan rektorat, ancaman DO kepada
Ketua BEM UNY dan Menteri Karispol BEM UNY, dimana pihak birokrasi turun
langsung mendatangi rumah mereka.
Bagi aktivis mahasiswa
sebenarnya itu hal biasa. Yang menjadi tidak biasa, dimana katanya hari ini
ialah “abad demokrasi”, tapi masih saja seperti itu. Hingga kemudian aksi-aksi
selanjutnya dilakukan oleh gerakan berbagai aliansi yang menuntut kebebasan
akan demokrasi kampus.
Sebenarnya ketika mata
kita menjadi mata pengamat, atau menjadi orang ketiga di luar cerita dalam
sebuah novel, maka ada satu kesempatan besar bagi gerakan-gerakan mahasiswa,
ada satu isu besar, ada satu masalah besar! Tapi memang benar bahwa pengamat
tetaplah pengamat, orang ketiga tetaplah orang ketiga, dan memang sejarah
ditulis sesuai keinginan penguasa. Dan memang benar pula bahwa kepentingan
memperebutkan kursi kepemimpinan mahasiswa yang seharusnya mampu menjadi corong
persaingan sehat dan penunjukkan eksistensi serta kapasitas masing-masing
gerakan dalam menumbuhkan daya intelegensia mahasiswa, malah berbalik menjadi
proses saling membunuh. Mungkin itulah yang membuat sebagian besar mahasiswa
lebih memilih menjadi orang ketiga di luar cerita, bahkan lebih dari itu, tapi
memilih untuk tidak tahu menahu!
Pernahkah kita berfikir
dengan adanya “permasalahan-permasalahan” seperti ini di masing-masing kampus –
saya kira masalah ini juga sering terjadi di kampus-kampus lain – bahwa ada
sebuah hegemoni dari penguasa – baca: pemerintah – dengan menurunkan pada
penguasa lainnya – baca: birokrasi kampus – dalam sebuah proses pemandulan
nalar kritis dan nalar gerak mahasiswa? Sehingga masing-masing gerakan
mahasiswa sibuk dalam urusan kampusnya, dan lupa akan masalah bangsanya? Mungkinkah
ini NKK/BKK gaya baru?
Penyempitan maka “prestasi”
pun berlaku. Semua harus menjadi trophy, menjadi uang, menjadi popularitas. Karya-karya
ilmiah yang kemudian menjadi wacana, menjadi ajang perhelatan besar. Memang tidak
ada salahnya, karena semua yang terjadi hari ini ialah berawal dari wacana masa
lalu. Pemadatan SKS atau mata kuliah sehingga proses pergantian atau rotasi
mahasiswa dan pasca kampus menjadi cepat hingga kebijakan-kebijakan perguruan
tinggi yang kemudian menyibukkan mahasiswanya untuk study lapangan berbulan-bulan.
Terjadi sebuah
perubahan zaman, terjadi sebuah pergeseran. Alasan-alasan di atas memang ke
depan akan menjadi tren, tren akademis, sebuah gaya baru dalam aktivis
mahasiswa. Sudah seharusnya gerakan mahasiswa mampu membaca arah gerak baru
ini, arah gerak baru generasi tren akademis, generasi Z, generasi yang
termudahkan. Bukan persoalan kaderisasi saja, namun bagaimana gerakan mahasiswa
mampu memupuk nalar gerak mahasiswa tanpa harus mengubah haluan – yang pada
nantinya malah menjadi usang – dalam kondisi yang sudah berbeda.
Selamat membaca ARAH
GERAK BARU itu! Karena bagi saya sebagai kader KAMMI, bahwa “Perbaikan adalah
tradisi Perjuangan KAMMI!”, “Kebathilan adalah Musuh Abadi KAMMI”, “Persaudaraan
adalah watak muamalah KAMMI”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar