Minggu, 04 Desember 2016

MEMBENTUK MADRASAH KAMMI YANG DINAMIS DAN PRODUKTIF

MEMBENTUK MADRASAH KAMMI
YANG DINAMIS DAN PRODUKTIF








VIKI ADI NUGROHO

KAMMI KOMISARIAT UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

KAMMI DAERAH SLEMAN




Membina, Sebuah Proses Tarbiyah Islamiyah
Tarbiyah merupakan cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (berupa kata-kata) maupun secara tidak langsung (berupa keteladanan, sesuai dengan sistem dan perangkatnya yang khas), untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.1 Secara ringkas tarbiyah islamiyah ialah proses penyiapan manusia yang shalih.
Ketika bicara tarbiyah, maka hal yang paling sering muncul setelah kata itu ialah halaqoh atau membina. Karena memang benar bahwa membina (halaqoh) disini ialah perangkat paling penting. Atau seperti perkataan Dr. Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, “Manajemen yang paling penting dalam jamaah adalah manajemen usrah (halaqoh/membina), karena ia merupakan batu bata pertama dalam bangunan. Apabila manajemen usrah baik, maka baik pulalah kondisi jamaah secara keseluruhan, demikian juga sebaliknya”.
Sudah menjadi kewajiban seorang akh (kader dakwah) bahwa sebutan ini akan menjadi kekurangan manakala belum memiliki binaan atau belum membina. Sistem pembinaan ini sangat penting karena hanya sistem inilah yang bisa memantapkan proses penyiapan individu islami dan secara integral. Sebuah sistem dimana islam akan tersampaikan pada jiwa-jiwa manusia dengan kontinue, tidak masuk lalu keluar lagi. Namun, selain sistem ini pun masih ada perangkat lain yang memang melengkapi dan tidak bisa tergantikan. Padahal kita tahu bahwa tarbiyah Rasululloh yang bermula dari halaqah-halaqah kecil itu mampu menciptakan peradaban baru di seantaro jagad raya ini.2 Jadi, marilah mulai dari sini.

Madrasah KAMMI, Sebuah Proses Pembinaan
Begitu pula dengan KAMMI, sebagai sebuah entitas organisasi Islam, tentu seperti kata Fathi Yakan untuk bertahan dan eksis sebagai organisasi dakwah ia harus mampu melakukan proses isti’ab baik internal maupun eksternal. Membina termasuk dalam hal isti’ab internal, sehingga penjagaan komitmen akan benar-benar terkontrol disini.3 Adapun di KAMMI, pembinaan ini bernama Madrasah KAMMI (disini MK1). Sesuai definisinya, MK1 adalah sarana kaderisasi bagi seluruh kader yang telah mengikuti DM1 yang dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas kader sesuai dengan IJDK KAMMI.4

Dinamisasi dan Produktivitas
Berdasarkan pengalaman membina di kampus, agar gairah pembinaan meningkat, perlu adanya dinamisasi dan produktivitas pada halaqoh (baca: MK).
Adanya proses dinamisasi ini bertujuan untuk menghindari kejenuhan, paling tidak meminimalisir hal itu, karena pada kader awal/mula, hal ini sangat besar berpotensi terjadi setelah masuk pertengahan waktu. Kejenuhan memang bisa terjadi karena suasana yang monoton, ketiadaan keteladanan, kurangnya upaya untuk memotivasi/mengingatkan, dan konflik yang berkepajangan.5 Sehingga ini akan berdampak pada ketidakhadiran, kedisiplinan peserta MK bahkan sampai keterlambatan pencapaian tujuan, bahkan ketika kejenuhan ini masuk juga pada pemandu, akan lebih berbahaya lagi, yaitu enggan melakukan persiapan, penyampaian kurang berisi (hanya sebatas transfer knowledge namun hilangnya value), sampai disorientasi.
Dari dampak ini, bisa diketahui tentang karakteristik halaqoh (MK) yang dinamis, seperti kehadiran yang rutin, munculnya kata kerinduan, ingin berlama-lama, dan kalau seperti pendapat Satria Hadi Lubis akan ada suasana yang inovatif.6
Sedangkan produktivitas adalah banyaknya tujuan yang tercapai dari indikator yang telah dibuat dalam hal ini ialah IJDK KAMMI (value) dan konwledge dari materi/kurikulum yang ditetapkan. Semakin banyak dan kualitas yang tercapai dari sasaran-sasran dalam IJDK KAMMI ini, maka  semakin produktifnya MK1 itu begitu pula sebaliknya.
Setelah melalui MK1, harapannya ialah tercapai sasaran seperti tercapainya IJDK, tercapainya penjenjangan/sertifikasi, tercapainya pengembangan potensi dan akhirnya terbentuk kader-kader yang siap untuk kembali membina. Adapun sebab-sebab tidak produktifnya MK1 berupa tidak/lupa memahami tujuan awalnya, terlena dengan keasyikan/proses dalam kelompok, dan dalam bukunya, Satria Hadi Lubis menuliskan ada keyakinan “taqdir” yang salah terkait kemajuan atau kualitas seorang manusia (baca: kader/mutarobbi).

Antara Dinamis dan Produktif, Perlu Seimbang
Keseimbangan dua hal penting ini harus dijaga. Jangan sampai dinamis mendominasi produktif dan sebaliknya. Jika dinamis lebih dominasi terhadap produktivitas, maka ini berbahaya. Karena bisa terjadi dampak negatif seperti: pencapaian IJDK yang terhambat atau menjadi lambat sehingga mengabaikan prioritas, atau biasa disebut “keberhasilan Semu”.7 Bahkan bisa sampai pada terjadinya fanatik kelompok/figuritas terhadap pemandu/murobbi yang jelas kesemuanya ini sangat berbahaya. Sedangkan jika hanya mementingkan produktivitas yang mendominasi namun sedikitnya dinamisasi, maka hal ini akan sangat mempengaruhi kejenuhan bahkan bisa sampai titik kronis, antusias berkurang, sampai kehadiran yang tidak rutin, lemahnya ikatan ukhuwah, bahkan bubarnya kelompok juga bisa terjadi hingga bisa “kalah saing” dengan pergerakan organisasi lain.
Sehingga sudah menjadi keharusan bahwa untuk menuju pembinaan (MK) yang muntijh (sukses), dinamisasi dan produktivitas haruslah seimbang.


Mencapai Dinamisasi
Mengutip pendapat Satria Hadi Lubis bahwa usaha dalam mencapai atau meningkatkan dinamisasi bisa dilihat dari jumlah variasi perubahan, keikhlasan, keteladanan, dan semangat mencapai tujuan.8 Adapun variasi perubahan ini bisa dilakukan baik menyangkut sistem belajar, metode penyampaian, agenda acara, materi, waktu pertemuan, tempat pertemuan, dan sebagainya. Intinya yang dibutuhkan ialah kreativitas baik dari pemandu/murobbi ataupun dari peserta/mutarobbi.
Keikhlasan disini penting karena berkaitan langsung dengan bersihnya hati yang akan mempengaruhi orientasi, sehingga meski forum terasa menjenuhkan, ketika ikhlas ini sudah tertanam, maka orientasi akan kuat, kejenuhan pun tidak terasa. Untuk mencapai keikhlasan memang sulit, karena ini berkaitan dengan hati, namun pemandu bisa sering mengulang-ulang orientasi ini, seperti tentang akibat ketidakikhlasan, senantiasa mencoba melakukan tazkiyatunnafs, senantiasa berpegang teguh dengan akhlak islam, dsb.
Keteladanan juga menjadi penting dalam proses dinamisasi karena dengan keteladanan inilah orang akan percaya (dalam hal ini ialah pemandu). Adapun untuk memulai keteladanan, maka harus dimulai dari pemandu.
Adapun semangat mencapai tujuan, hal ini terkait kepahaman terhadap tujuan yang akan dicapai (IJDK) yang kemudian dalam penyampaiannya dibentuk dan disesuaikan dengan kondisi. Bentuknya antara lain seperti memecah suatu materi menjadi beberapa poin lalu disesuaikan dengan kondisi sekitar yang ada, semisal materi syumuliyatul Islam, mengambil point “politik yang dipandang sebelah mata” misalnya lalu dihubungkan dengan realita yang terjadi pada saat ini, dsb, selain itu juga bisa dengan mengkomunikasikan tujuan MK berulang-ulang dalam penyampaian yang berbeda, serta menjadikan tujuan (IJDK) ke dalam bentuk program yang menarik, dll.

Mencapai Produktivitas
Mencapai produktivitas bisa diukur dengan tujuan awal MK itu sendiri. Ketika tujuan itu ialah tercapainya IJDK, terbentuknya kesadaran kader untuk sertifikasi dan kesadaran untuk membina serta pengembangan potensi. Maka produktivitas ini bisa dilakukan dengan merumuskannya ke dalam tahapan atau target-target kecil yang mengarah dan menghimpun ke arah tujuan-tujuan itu. Semisal dalam mencapai IJDK dalam bab ibadah, lalu dibuatlah tahapan atau target kecil seperti tilawah setengah juz misalnya per hari, sholat wajib terpenuhi, tambahan sunah, yang jelas ialah menyesuaikan kondisi peserta dengan memperhatikan pemahamannya. Jangan sampai kita memberikan dan memaksakan perintah manakala peserta ini memang belum paham sepenuhnya. Contoh lain lagi dalam mencapai pengembangan potensi, misal dengan merumuskan tahapan atau target kecil bahwa peserta mengetahui potensinya, mengarahkan dan mengkaryakan peserta sesuai potensi baik di KAMMI maupun di lembaga lain, dsb. Dari tercapainya target-target kecil inilah yang kemudian akan meningkatkan kapasitas dan kualitas kader dengan sedikit demi sedikit namun pasti.
Karena pada hakikatnya, membina ini bukanlah perkara sekedar transfer of knowledge namun juga value. Membina ialah menyampaikan islam pada setiap relung jiwa-jiwa manusia, bukan sekedar masuk dalam ingatan. Bersabarlah dan ingatlah perkataan Imam As Syahid Hasan Al-Banna, “Jika kalian mampu menunaikan kewajiban-kewajiban ini, baik yang bersifat individual, sosial maupun finansial, maka pilar-pilar sistem usrah (halaqoh/MK) ini pasti akan eksis. Akan tetapi apabila kalian menyia-nyiakannya, maka iapun melemah dan akhirnya hancur. Pada kehancurannya ini ada kerugian besar bagi dakwah ini, padahal pada saat ini ia menjadi harapan islam dan kaum Muslimin”.


Referensi:
1.    Ali Abdul Halim Mahmud, Prangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Hlm. 21.
2.    Muhammad Sajirun, Manajemen Halaqah Efektif. Hlm. 9.
3.    Fathi Yakan, Isti’ab. Hlm. 9.
4.    Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427.
5.    Satria Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah. Hlm. 44.
6.    Satria Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah. Hlm. 56.
7.    Satria Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah. Hlm. 88.
8.    Satria Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah. Hlm. 104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar