MEMBENTUK MADRASAH KAMMI
YANG DINAMIS DAN PRODUKTIF
VIKI ADI NUGROHO
KAMMI KOMISARIAT UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
KAMMI DAERAH SLEMAN
Membina, Sebuah Proses Tarbiyah
Islamiyah
Tarbiyah
merupakan cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara
langsung (berupa kata-kata) maupun secara tidak langsung (berupa keteladanan,
sesuai dengan sistem dan perangkatnya yang khas), untuk memproses perubahan
dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.1 Secara ringkas tarbiyah islamiyah ialah proses
penyiapan manusia yang shalih.
Ketika
bicara tarbiyah, maka hal yang paling sering muncul setelah kata itu ialah
halaqoh atau membina. Karena memang benar bahwa membina (halaqoh) disini ialah
perangkat paling penting. Atau seperti perkataan Dr. Ali Abdul Halim Mahmud
dalam bukunya Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, “Manajemen yang
paling penting dalam jamaah adalah manajemen usrah (halaqoh/membina),
karena ia merupakan batu bata pertama dalam bangunan. Apabila manajemen usrah
baik, maka baik pulalah kondisi jamaah secara keseluruhan, demikian juga
sebaliknya”.
Sudah
menjadi kewajiban seorang akh (kader dakwah) bahwa sebutan ini akan menjadi
kekurangan manakala belum memiliki binaan atau belum membina. Sistem pembinaan
ini sangat penting karena hanya sistem inilah yang bisa memantapkan proses
penyiapan individu islami dan secara integral. Sebuah sistem dimana islam akan
tersampaikan pada jiwa-jiwa manusia dengan kontinue, tidak masuk lalu keluar
lagi. Namun, selain sistem ini pun masih ada perangkat lain yang memang
melengkapi dan tidak bisa tergantikan. Padahal kita tahu bahwa tarbiyah
Rasululloh yang bermula dari halaqah-halaqah kecil itu mampu menciptakan
peradaban baru di seantaro jagad raya ini.2 Jadi, marilah mulai dari
sini.
Madrasah KAMMI, Sebuah Proses Pembinaan
Begitu
pula dengan KAMMI, sebagai sebuah entitas organisasi Islam, tentu seperti kata
Fathi Yakan untuk bertahan dan eksis sebagai organisasi dakwah ia harus mampu
melakukan proses isti’ab baik internal maupun eksternal. Membina termasuk dalam
hal isti’ab internal, sehingga penjagaan komitmen akan benar-benar terkontrol
disini.3 Adapun di KAMMI, pembinaan ini bernama Madrasah KAMMI (disini
MK1). Sesuai definisinya, MK1 adalah sarana kaderisasi bagi seluruh kader yang
telah mengikuti DM1 yang dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan
kualitas kader sesuai dengan IJDK KAMMI.4
Dinamisasi dan Produktivitas
Berdasarkan
pengalaman membina di kampus, agar gairah pembinaan meningkat, perlu adanya
dinamisasi dan produktivitas pada halaqoh (baca: MK).
Adanya
proses dinamisasi ini bertujuan untuk menghindari kejenuhan, paling tidak
meminimalisir hal itu, karena pada kader awal/mula, hal ini sangat besar
berpotensi terjadi setelah masuk pertengahan waktu. Kejenuhan memang bisa
terjadi karena suasana yang monoton, ketiadaan keteladanan, kurangnya upaya
untuk memotivasi/mengingatkan, dan konflik yang berkepajangan.5 Sehingga
ini akan berdampak pada ketidakhadiran, kedisiplinan peserta MK bahkan sampai
keterlambatan pencapaian tujuan, bahkan ketika kejenuhan ini masuk juga pada
pemandu, akan lebih berbahaya lagi, yaitu enggan melakukan persiapan,
penyampaian kurang berisi (hanya sebatas transfer knowledge namun hilangnya value),
sampai disorientasi.
Dari
dampak ini, bisa diketahui tentang karakteristik halaqoh (MK) yang dinamis,
seperti kehadiran yang rutin, munculnya kata kerinduan, ingin berlama-lama, dan
kalau seperti pendapat Satria Hadi Lubis akan ada suasana yang inovatif.6
Sedangkan
produktivitas adalah banyaknya tujuan yang tercapai dari indikator yang telah
dibuat dalam hal ini ialah IJDK KAMMI (value) dan konwledge dari
materi/kurikulum yang ditetapkan. Semakin banyak dan kualitas yang tercapai
dari sasaran-sasran dalam IJDK KAMMI ini, maka semakin produktifnya MK1 itu begitu pula
sebaliknya.
Setelah
melalui MK1, harapannya ialah tercapai sasaran seperti tercapainya IJDK,
tercapainya penjenjangan/sertifikasi, tercapainya pengembangan potensi dan
akhirnya terbentuk kader-kader yang siap untuk kembali membina. Adapun
sebab-sebab tidak produktifnya MK1 berupa tidak/lupa memahami tujuan awalnya, terlena
dengan keasyikan/proses dalam kelompok, dan dalam bukunya, Satria Hadi Lubis
menuliskan ada keyakinan “taqdir” yang salah terkait kemajuan atau kualitas
seorang manusia (baca: kader/mutarobbi).
Antara Dinamis dan Produktif, Perlu
Seimbang
Keseimbangan
dua hal penting ini harus dijaga. Jangan sampai dinamis mendominasi produktif
dan sebaliknya. Jika dinamis lebih dominasi terhadap produktivitas, maka ini
berbahaya. Karena bisa terjadi dampak negatif seperti: pencapaian IJDK yang
terhambat atau menjadi lambat sehingga mengabaikan prioritas, atau biasa
disebut “keberhasilan Semu”.7 Bahkan bisa sampai pada terjadinya
fanatik kelompok/figuritas terhadap pemandu/murobbi yang jelas kesemuanya ini
sangat berbahaya. Sedangkan jika hanya mementingkan produktivitas yang
mendominasi namun sedikitnya dinamisasi, maka hal ini akan sangat mempengaruhi
kejenuhan bahkan bisa sampai titik kronis, antusias berkurang, sampai kehadiran
yang tidak rutin, lemahnya ikatan ukhuwah, bahkan bubarnya kelompok juga bisa
terjadi hingga bisa “kalah saing” dengan pergerakan organisasi lain.
Sehingga
sudah menjadi keharusan bahwa untuk menuju pembinaan (MK) yang muntijh (sukses), dinamisasi dan
produktivitas haruslah seimbang.
Mencapai Dinamisasi
Mengutip
pendapat Satria Hadi Lubis bahwa usaha dalam mencapai atau meningkatkan
dinamisasi bisa dilihat dari jumlah variasi perubahan, keikhlasan, keteladanan,
dan semangat mencapai tujuan.8 Adapun variasi perubahan ini bisa
dilakukan baik menyangkut sistem belajar, metode penyampaian, agenda acara,
materi, waktu pertemuan, tempat pertemuan, dan sebagainya. Intinya yang
dibutuhkan ialah kreativitas baik dari pemandu/murobbi ataupun dari peserta/mutarobbi.
Keikhlasan
disini penting karena berkaitan langsung dengan bersihnya hati yang akan
mempengaruhi orientasi, sehingga meski forum terasa menjenuhkan, ketika ikhlas
ini sudah tertanam, maka orientasi akan kuat, kejenuhan pun tidak terasa. Untuk
mencapai keikhlasan memang sulit, karena ini berkaitan dengan hati, namun
pemandu bisa sering mengulang-ulang orientasi ini, seperti tentang akibat
ketidakikhlasan, senantiasa mencoba melakukan tazkiyatunnafs, senantiasa berpegang teguh dengan akhlak islam,
dsb.
Keteladanan
juga menjadi penting dalam proses dinamisasi karena dengan keteladanan inilah
orang akan percaya (dalam hal ini ialah pemandu). Adapun untuk memulai
keteladanan, maka harus dimulai dari pemandu.
Adapun
semangat mencapai tujuan, hal ini terkait kepahaman terhadap tujuan yang akan
dicapai (IJDK) yang kemudian dalam penyampaiannya dibentuk dan disesuaikan
dengan kondisi. Bentuknya antara lain seperti memecah suatu materi menjadi
beberapa poin lalu disesuaikan dengan kondisi sekitar yang ada, semisal materi syumuliyatul Islam, mengambil point
“politik yang dipandang sebelah mata” misalnya lalu dihubungkan dengan realita yang
terjadi pada saat ini, dsb, selain itu juga bisa dengan mengkomunikasikan
tujuan MK berulang-ulang dalam penyampaian yang berbeda, serta menjadikan
tujuan (IJDK) ke dalam bentuk program yang menarik, dll.
Mencapai Produktivitas
Mencapai
produktivitas bisa diukur dengan tujuan awal MK itu sendiri. Ketika tujuan itu
ialah tercapainya IJDK, terbentuknya kesadaran kader untuk sertifikasi dan
kesadaran untuk membina serta pengembangan potensi. Maka produktivitas ini bisa
dilakukan dengan merumuskannya ke dalam tahapan atau target-target kecil yang
mengarah dan menghimpun ke arah tujuan-tujuan itu. Semisal dalam mencapai IJDK
dalam bab ibadah, lalu dibuatlah tahapan atau target kecil seperti tilawah
setengah juz misalnya per hari, sholat wajib terpenuhi, tambahan sunah, yang
jelas ialah menyesuaikan kondisi peserta dengan memperhatikan pemahamannya.
Jangan sampai kita memberikan dan memaksakan perintah manakala peserta ini
memang belum paham sepenuhnya. Contoh lain lagi dalam mencapai pengembangan
potensi, misal dengan merumuskan tahapan atau target kecil bahwa peserta
mengetahui potensinya, mengarahkan dan mengkaryakan peserta sesuai potensi baik
di KAMMI maupun di lembaga lain, dsb. Dari tercapainya target-target kecil
inilah yang kemudian akan meningkatkan kapasitas dan kualitas kader dengan
sedikit demi sedikit namun pasti.
Karena
pada hakikatnya, membina ini bukanlah perkara sekedar transfer of knowledge
namun juga value. Membina ialah menyampaikan islam pada setiap relung jiwa-jiwa
manusia, bukan sekedar masuk dalam ingatan. Bersabarlah dan ingatlah perkataan
Imam As Syahid Hasan Al-Banna, “Jika kalian mampu menunaikan
kewajiban-kewajiban ini, baik yang bersifat individual, sosial maupun
finansial, maka pilar-pilar sistem usrah (halaqoh/MK)
ini pasti akan eksis. Akan tetapi apabila kalian menyia-nyiakannya, maka iapun
melemah dan akhirnya hancur. Pada kehancurannya ini ada kerugian besar bagi
dakwah ini, padahal pada saat ini ia menjadi harapan islam dan kaum Muslimin”.
Referensi:
1. Ali
Abdul Halim Mahmud, Prangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Hlm. 21.
2. Muhammad
Sajirun, Manajemen Halaqah Efektif. Hlm. 9.
3. Fathi
Yakan, Isti’ab. Hlm. 9.
4. Manhaj
Kaderisasi KAMMI 1427.
5. Satria
Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah. Hlm. 44.
6. Satria
Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah. Hlm. 56.
7. Satria
Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah. Hlm. 88.
8. Satria
Hadi Lubis, Menggairahkan Perjalanan Halaqah. Hlm. 104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar