Jumat, 16 Desember 2016

Geliat Politik Kampus di Era NKK/BKK Gaya Baru



Geliat Politik Kampus di Era NKK/BKK Gaya Baru

Viki Adi N

Penggagas Gerakan Literasi Mahasiswa
Ketua PK KAMMI UNY 2016


Geliat Politik Kampus mahasiswa hari ini khususnya UNY, sedang menjadi pembicaraan yang cukup berarti, khususnya bagi mahasiswa yang masih memiliki nalar kritis, nalar aktivis, dan nalar untuk bergerak. Bukan kepada para apatis atau oportunis. Menjadi sebuah perhelatan besar khususnya dalam bab Pemilihan Umum Mahasasiswa hari ini di UNY. Saya kira bagi orang yang berkecimpung dalam dunia gerakan mahasiswa ataupun bagi pengamatnya. Tidak asing bagi mereka dengan kebijakan NKK/BKK dahulu saat orde baru. Berterimakasihlah kepada kebijakan itu.

Berterimakasihlah kepada kebijakan itu karena ia telah memandulkan geliat nalar kritis mahasiswa, mematikan kebebasan berpendapat, mematikan potensi nalar gerak mahasiswa, mengembalikan mahasiswa hanya ke dalam bangku kelas, menundukkan mereka pada penguasa, bahkan posisi tawar yang kecil di mata publik.

Berterimakasihlah kepada kebijakan itu karena ia telah melahirkan berbagai macam blok-blok, kelompok-kelompok study, bahkan gerakan-gerakan baru. Bukan hanya melahirkan blok-blok baru, namun akhirnya blok-blok itupun mampu bersatu dalam sebuah tekanan, meski pasca reformasi blok-blok itu kembali memilih jalannya masing-masing. Ada yang akomodatif, memilih oposisi, memilih mengawal, atau menyesuaikan terhadap kondisi.

Bagi orang yang masih bisa berfikir, adanya kekuatan besar mahasiswa waktu itu ialah karena satu isu besar, satu tekanan besar, satu maslah besar, dan satu musuh besar. Ini merupakan hikmahnya, lalu bagaimana dengan UNY sekarang? Dari mulai pencabutan halus sistem student government dari Republik Mahasiswa, istilah Presiden, hingga terjadi aksi di bulan-bulan kemarin di depan rektorat, ancaman DO kepada Ketua BEM UNY dan Menteri Karispol BEM UNY, dimana pihak birokrasi turun langsung mendatangi rumah mereka.

Bagi aktivis mahasiswa sebenarnya itu hal biasa. Yang menjadi tidak biasa, dimana katanya hari ini ialah “abad demokrasi”, tapi masih saja seperti itu. Hingga kemudian aksi-aksi selanjutnya dilakukan oleh gerakan berbagai aliansi yang menuntut kebebasan akan demokrasi kampus.

Sebenarnya ketika mata kita menjadi mata pengamat, atau menjadi orang ketiga di luar cerita dalam sebuah novel, maka ada satu kesempatan besar bagi gerakan-gerakan mahasiswa, ada satu isu besar, ada satu masalah besar! Tapi memang benar bahwa pengamat tetaplah pengamat, orang ketiga tetaplah orang ketiga, dan memang sejarah ditulis sesuai keinginan penguasa. Dan memang benar pula bahwa kepentingan memperebutkan kursi kepemimpinan mahasiswa yang seharusnya mampu menjadi corong persaingan sehat dan penunjukkan eksistensi serta kapasitas masing-masing gerakan dalam menumbuhkan daya intelegensia mahasiswa, malah berbalik menjadi proses saling membunuh. Mungkin itulah yang membuat sebagian besar mahasiswa lebih memilih menjadi orang ketiga di luar cerita, bahkan lebih dari itu, tapi memilih untuk tidak tahu menahu!

Pernahkah kita berfikir dengan adanya “permasalahan-permasalahan” seperti ini di masing-masing kampus – saya kira masalah ini juga sering terjadi di kampus-kampus lain – bahwa ada sebuah hegemoni dari penguasa – baca: pemerintah – dengan menurunkan pada penguasa lainnya – baca: birokrasi kampus – dalam sebuah proses pemandulan nalar kritis dan nalar gerak mahasiswa? Sehingga masing-masing gerakan mahasiswa sibuk dalam urusan kampusnya, dan lupa akan masalah bangsanya? Mungkinkah ini NKK/BKK gaya baru?

Penyempitan maka “prestasi” pun berlaku. Semua harus menjadi trophy, menjadi uang, menjadi popularitas. Karya-karya ilmiah yang kemudian menjadi wacana, menjadi ajang perhelatan besar. Memang tidak ada salahnya, karena semua yang terjadi hari ini ialah berawal dari wacana masa lalu. Pemadatan SKS atau mata kuliah sehingga proses pergantian atau rotasi mahasiswa dan pasca kampus menjadi cepat hingga kebijakan-kebijakan perguruan tinggi yang kemudian menyibukkan mahasiswanya untuk study lapangan berbulan-bulan.

Terjadi sebuah perubahan zaman, terjadi sebuah pergeseran. Alasan-alasan di atas memang ke depan akan menjadi tren, tren akademis, sebuah gaya baru dalam aktivis mahasiswa. Sudah seharusnya gerakan mahasiswa mampu membaca arah gerak baru ini, arah gerak baru generasi tren akademis, generasi Z, generasi yang termudahkan. Bukan persoalan kaderisasi saja, namun bagaimana gerakan mahasiswa mampu memupuk nalar gerak mahasiswa tanpa harus mengubah haluan – yang pada nantinya malah menjadi usang – dalam kondisi yang sudah berbeda.


Selamat membaca ARAH GERAK BARU itu! Karena bagi saya sebagai kader KAMMI, bahwa “Perbaikan adalah tradisi Perjuangan KAMMI!”, “Kebathilan adalah Musuh Abadi KAMMI”, “Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI”.

Minggu, 04 Desember 2016

PERAN SENI BUDAYA DALAM MEWUJUDKAN KARAKTER DAN KEUTUHAN BANGSA (MAKALAH DAUROH MARHALAH 3 DIY)




PERAN SENI BUDAYA
DALAM MEWUJUDKAN
KARAKTER DAN KEUTUHAN BANGSA







VIKI ADI NUGROHO

KOMISARIAT KAMMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

KAMMI DAERAH SLEMAN






KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Segala Puji bagi Alloh yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk banyak belajar. Sehingga mampu bersyukur dan menyelesaikan tulisan yang sedikit ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dimana karena beliau lah islam kemudian menyebar, menjadikan dunia ini makmur.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam segenap proses penyusunan makalah yang sederhana ini. Meski tuntutan dari berbagai aktivitas lebih banyak, namun Alhamdulillah bisa terselesaikan. Semoga Alloh memberikan kebaikan atas hasil usaha ini.
Dalam menyampaikan perbaikan ini, tentu kita paham bahwa mahasiswa ini ialah anasir perubahan, dan kampus adalah salah satu medan perubahan. Maka tidak patut kalau ia disiakan berlalu begitu saja. Semoga apa yang saya tulis bisa bermanfaat.
Saya yakin masih banyak kekurangan, karena memang sumbernya juga masih sedikit dan diakumulasi dengan pengalaman yang belum genap satu tahun kepengurusan. Tentu ini belumlah lengkap. Masih banyak acuan yang bisa dijadikan rujukan. Kritik dan saran sangat ditunggu untuk perbaikan ke depan.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.



Penulis





DAFTAR ISI
                                                                                                                                                                                                Halaman
KATA PENGANTAR………………………………..………….........…………. i
DAFTAR ISI…...……………………………………….......………….......…….  ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah........……………….……............................ 2
C.     Tujuan dan Manfaat…..…………………………................……… 2
BAB II PEMBAHASAN.....………………………………….....................….. 3
A.    Hakikat Dakwah.................................................................................... 3
B.     Konsep Syumuliyatul Islam dalam Pandangan KAMMI...................... 4
C.     Islam dan Seni Budaya.......................................................................... 6
D.    Seni Budaya, Karakter, dan Keutuhan Bangsa................................... 15
BAB III PENUTUP………………………………...............…….................…... 20
A.    Kesimpulan......................................................................................... 20
B.     Saran.................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA…………………………….......................……....… 22




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Alloh menciptakan manusia di bumi ini pasti bukanlah hal sia-sia seperti yang telah digariskan dalam aqidah. Seperti disebutkan dengan jelas dalam nash Al-Quran bahwa tiada lain tugas manusia ialah beribadah. Arti ibadah di sini tentu sangatlah luas.
Dialog Alloh dengan malaikat telah menjadi catatan bahwa Alloh menciptakan manusia sebagai pemakmur di bumi, sebagai pemimpin di bumi, dan ini juga merupakan ibadah dalam cakupan yang lebih luas lagi. Karena sebagai pemakmur bumi, pemimpin bumi, maka sudah jelas bahwa misi manusia ialah misi peradaban. Ia membawa misi perbaikan (ishlah). Perbaikan inipun secara jelas Rasulullah telah mencontohkan bergerak dalam sebuah komunitas (jamaah), tidak cukup jika hanya dilakukan sendirian.
Sebagai organisasi yang mewadahi mahasiswa muslim, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dalam Rakornas nya merumuskan tujuan jangka panjangnya yaitu jayakan Indonesia 2045. Salah satunya ialah dalam hal kebudayaan.
Hari ini dan masa kini, ketika melihat realita, banyak orang yang menyampingkan hal ini, bahkan sedikit sekali orang yang akhirnya memutuskan berdakwah dalam bidang ini, yaitu seni budaya. Karena selain dianggap hal “boleh” dan pada realitanya condong pada ketidakbermanfaatan atau semacam “senda gurau” juga seni budaya ini penuh dengan tradisi “pergaulan” yang banyak negatifnya, penuh dengan mistik, pemikiran sekuler, dan sebagainya. Sehingga hanya sedikit dai yang mau menggarap bidang ini.
Namun dalam tulisan ini, saya ingin mencoba memaparkan ide yang mungkin dianggap aneh atau tabu dan tidak banyak orang menggarapnya, dimana saya mengambil tema peran seni budaya dalam mewujudkan Indonesia yang berdaulat.

B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan saya analisis:
1.  Apa itu hakikat dakwah dan bagaimana konsep syumuliyatul Islam dalam pandangan KAMMI?
2. Adakah hubungan antara agama dan seni budaya?
3. Bagaimana peran seni budaya dalam membangun karakter dan kesatuan bangsa?

C.    Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui akan hakikat dakwah dan konsep syumuliyatul Islam dalam pandangan KAMMI
2. Mengetahui hubungan antara agama dan seni budaya
3. Mengetahui bagaimana peran seni budaya dalam membangun karakter dan kesatuan bangsa




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Dakwah

Dakwah secara istilah bermakna upaya lewat perkataan dan perbuatan untuk mengajak serta mengubah manusia untuk berpihak pada da’i. Ruang lingkup pemahaman istilah dakwah adalah seputar upaya lewat ucapan dan perbuatan untuk Islam, menerapkan manhaj-nya, meyakini aqidahnya, dan melaksanakan syariatnya. Sehingga dari sini kita akan menemukan pemahaman akan makna dakwah, yaitu menyeru kepada agama Alloh, mendorong untuk mengikutinya, dan mengamalkan syariatnya. (Taufik Al-Wa’iy, 2010: 13)
Tujuan dakwah ini tentunya ialah Alloh. Alloh yang menjadi tujuan utama. Adapun tugas dan fungsi dakwah, sudah sangat jelas yaitu memimpin dunia, atau meminjam istilah Imam Hasan Al-Banna ialah Ustadziatul a’lam, dimana Islam menjadi guru peradaban. Namun dalam proses dakwah tersebut akan kita dapati sebuah tabiat dan sunatulloh batu ujian. Seperti yang telah dipaparkan dalam Quran Surat Al-Ankabut 1-3, bahwasanya Alloh akan senantiasa menguji setiap orang yang telah mengatakan bahwa dirinya telah beriman. Dimana tabiat jalan ini ialah panjang, terjal, bahkan hasilnya terkadang tidak bisa diukur oleh umur individu tapi umur bangsa atau peradaban.
Begitulah jalan dakwah, sebuah jalan yang merupakan kewajiban bagi umat Islam sebagai umat yang terbaik, umat yang membawa risalah rahmatan lil’alamin. Umat yang tentu tidak akan pernah rela melihat kerusakan-kerusakan disekitarnya. Sehingga pantaslah ulama hari ini menetapkan bahwa dakwah ini menjadi wajib ‘ain seperti yang dipaparkan Syekh Mustofa Masyhur dalam fiqh dakwahnya.
Selain kewajiban, dengan dakwah ini pula akan dapat menghilangkan (meminimalisir) munculnya musibah bagi masyarakat. Sebagaimana firman Alloh, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (As-Syura: 30) dalam firman lainnya , sebagai jawaban atas musibah yang menimpa mereka ketika Perang Uhud, “Katakanlah: ‘itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Ali-Imran: 165) [Ali Muhammad Ash-shalabi, 2006: 708]
Dari sini sudah sangat jelas bahwa kita mengetahui rahasia Alloh bahwa kita sebagai umat muslim harus senantiasa amar ma’ruf nahi munkar, karena merajalelanya kerusakan di muka bumi ini, di Indonesia ini tentu akan berdampak pada fitnah dan musibah. Apalgi sebagai mahasiswa muslim, dimana sandang “intelektualitas” terpapar secara jelas, maka sudah seharusnya menjadikan dakwah sebagai jalan hidup. Sehingga dalam setiap ranah kehidupannya, setiap bidang kehidupannya, akan terisi oleh perjuangan menegakkan kebenaran dan menghancurkan keburukan.

B.     Konsep Syumuliyatul Islam dalam Pandangan KAMMI

Setelah kita mengetahui akan pentingnya dakwah, maka sebelum masuk ke dalam pembahasan seni budaya, akan lebih baik ketika membahas terlebih dahulu tentang konsep syumuliyatul Islam dalam pandangan KAMMI.
Dalam memandang konsep Syumuliyatul Islam (baca: SI/ Kesempurnaan/ kemenyeluruhan agama Islam), maka KAMMI mengambil konsep yang ditawarkan oleh Ikhwanul Muslimin, ini bisa dilihat dalam proses Dauroh Marhalah I, dimana konsep SI ini dijadikan sebagai materi dasar setelah konsep syahadatain. Lalu bagaimana konsep SI ini?
Dalam memandang konsep SI ini kita bisa merujuk pada tulisan Imam Hasan Al-Banna dalam risalah ta’alimnya, bahwa “Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah akidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih”. (Hasan Al-Banna, 2012: 429)
Prinsip ini menegasakn hakikat penting dari ajaran Islam, yaitu “keuniversalan dan keintegralan Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan.” (M. Abdullah Khotib dan M. Abdul Halim Hamid, 2007: 47) dari sini kita melihat bahwa sudah jelas bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh, artinya Islam mengatur segala aspek/ bidang kehidupan bahkan hingga ekonomi, sosial, politik, budaya, keamanan,iptek dan sebagainya.
Seperti dalam firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelasakan segala sesuatu.” (An-Nahl: 89)  Juga dalam hadist bahwa Rasulullah bersabda kepada Kabilah bani Syaiban bin Tsa’labah saat Beliau SAW menawarkan Islam kepada beberapa kabilah di Mekah, “Kalian tidak menolak dengan buruk jika kalian mengutarakannya dengan jujur, bahwa tiada yang dapat melaksanakan agama ini melainkan orang yang memahaminya dari seluruh aspeknya.”
Sudah jelaslah bahwa Islam memang mengatur seluruh aspek kehidupan, meski konsep ini saat ditulis oleh Imam Hasan Al-Banna terjadi banyak penentangan. Ini diakibatkan karena sudah tertanam kuatnya sistem sekulerisme yang menjangkit umat Islam waktu lalu. Bahkan hingga hari ini masih saja ada yang memisahkan agama dengan aspek kehidupan.
Dengan sistem keuniversalan atau kemenyeluruhan ini, maka saya pun mengangkat tema seni budaya ini. Saya sengaja mengangkat aspek ini karena aspek ini memang jarang “diminati” dai apalagi jika sudah masuk dalam hasil cipta/ karya, dunia panggung, berbagai jenis seni, dan sebagainya. Padahal dalam bidang ini, ketika semua “seniman” sudah berkumpul, maka hilanglah sebuah perbedaan, namun yang ada ialah “kebermanfaatan” tanpa peduli baju apa yang ia pandang. Sehingga sudah seharusnya dakwah mulai masuk pada ranah-ranah ini, hingga pada akhirnya “keglamoran” dalam bisang ini mampu dibuat “beretika” sehingga mampu membangun peradaban yang mulia dan maju.

C.    Islam dan Seni Budaya

1.      Definisi Seni Budaya (kesenian)
Seni Budaya yang saya maksud disini ialah kesenian. Kesenian merupakan manifestasi budaya (priksa, rasa, karsa, intuisi, dan karya) manusia yang memenuhi syarat-sayarat estetik. Secara garis besar, kesenian dapat dibedakan atas hal-hal berikut: Seni sastra/ kesusastraan, seni musik, seni tari, seni rupa, seni drama/ teater. (Endang Saifudin Anshari, 2004: 105)

2.      Nilai-nilai Dasar Islam tentang Seni Budaya
Menurut Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Islam bicara seni, beliau berkata, “barangkali persoalan yang paling rancu dan rumit yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat Islam adalah persoalan seni dan permainan.” Sehingga dalam hal ini ada dua sikap yang berlawanan yaitu antara orang yang eksrem dan orang yang ceroboh. Karena memang masalah ini sangat berkaitan dengan perasaan dan emosi daripada dengan akal pikiran. Dengan inilah akhirnya muncul orang yang menerima secara bebas (ceroboh), dan ada pula yang “ketat” berlebihan.
Orang yang ketat ini kemudian menampilkan sosok bahwa agama hanya “kerja” dan “ibadah” saja tanpa ada hiburan atau senda gurau, dan lebih parahnya keketatan ini ia paksakan pada orang lain, sehingga menampilkan posisi agama menjadi posisi yang saklek dan tidak sesuai dengan zamannya. Hal ini tentu akan berbahaya sehingga merusak “nama” agama yang dibawanya. Adapun orang yang ceroboh ini ialah orang yang memberikan kebebasan seluas-luasnya dalam hal senda gurau, permainan, mereka menganggap bahwa hidup ini ialah hanya bersenang-senang. Yang akhirnya akan menampilkan sikap hedonisme bahkan pada titik tertentu akan mengakibatkan sekulerisme. Lalu bagaimana Islam memandang hal ini? Apakah Islam memandang kesenian ini dengan relistis?
Tentu saja, karena Islam memang diturunkan sebagai umat pertengahan, Islam menyeru manusia agar memenuhi seluruh kebutuhannya dalam batas-batas yang proporsional. Apabila olahraga merupakan penyegar jasmani, ibadah merupakan penyegar ruhani, dan ilmu pengetahuan merupakan penyegar akal pikiran, maka seni adalah penyegar dan santapan bagi jiwa. Hanya saja yang kami maksud dengsn seni di sini adalah suatu bentuk karya yang dapat mengangkat kualitas manusia, bukan malah menjerumuskannya dalam kehidupan. (Yusuf Q, 1998: 21)
Sehingga dalam memandang sebuah karya seni atau kesenian maka kita harus memperhatikan dua hal, yaitu “manfaat dan keindahan”. Ketika memaparkan makhluk yang berupa binatang, Alloh berfirman, “Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan.” (An-Nahl: 5) Dalam ayat ini Alloh mengisyaratkan adanya kemanfaatan. Selanjutnya Alloh berfirman, “Dan Kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.” (An-Nahl: 6) Dalam ayat ini Alloh mengingatkan adanya aspek keindahan.
“Hai Anak Adam pakailah pakaianmu yang indah itu setiap memasuki masjid, makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (Al-A’raf: 31)
Memakai hiasan itu untuk memenuhi kebutuhan jiwa manusia, sedangkan makan dan minum adalah untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, kedua-duanya diperlukan. Begitulah pendapat dari Ketua Ulama Islam Internasional.
Penulis juga ingin memaparkan pendapat dua organisasi besar Islam yang ada di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah, yang diambil dari situs webnya.
Nahdhlatul Ulama (NU) sendiri terkait hal ini telah menetapkan dalam Lembaga Bahtsul Masailnya tentang kesenian. Bahkan NU sendiri memiliki Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia). Ketika kita menelisik isinya, NU sudah tidak bicara boleh atau tidak bolehnya tentang kesenian (karena memang NU sudah terkenal dengan sistem tradisi/ budayanya), namun sudah berbicara tentang jangan sampai kesenian hanya dinilai dari segi pragmatisme (ekonomi, kekuasaan, kapitalisme, dsb). Isinya antara lain: (1) Menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka. (2) Mengembalikan kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat, untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin. (3) Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat. (4) Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun terlebih sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan produk material yang  mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan. (5) Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama. (6) Merumuskan dan mengembangkan “fiqh  kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya. (7) Ke-Indonesia-an adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami, realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini
Dalam situs Nahdlatul Ulama (nu.or.id), mengutip pendapat Imam Al Ghazali dalam magnun opusnya (ihya ulumuddin), menyisahkan satu bab khusus pembahasan soal kesenian, khususnya seni suara dan musik. Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik. Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar.
Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras. Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu).
Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip ketakwaan, dst. 
Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
Adapun fatwa Muhammadiyah dalam memandang seni budaya bisa dilihat pada Keputusan Munas Tarjih XXIII Tentang Kebudayaan dan Kesenian. Berikut saya tuliskan point 4-12: (4) Seni adalah penjelmaan rasa keindahan yang terkandung dalam jiwa manusia dilahirkan dengan perantara alat-alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap indera. (5) Seni budaya merupakan penjelmaan rasa seni yang sudah membudaya, yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh orang banyak dalam rentang waktu perjalanan sejarah peradaban manusia. (6) Rasa seni adalah perasaan keindahan yang ada pada setiap orang normal yang dibawa sejak lahir. Ia merupakan sesuatu yang mendasar dalam kehidupan manusia yang menuntut penyaluran dan pengawasan  baik dengan melahirkannya maupun dengan menikmatinya. Artinya proses penciptaan seni selalu bertitik tolak dari pandangan seniman tentang realitas (Tuhan, alam dan manusia). (7) Rasa seni merupakan salah satu fitrah manusia yang dianugerahkan Allah SWT yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Allah SWT sendiri. Allah itu Maha Indah dan Mencintai Keindahan. (8) Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia, justru menyalurkan dan mengatur tuntutan fitrah tersebut. Termasuk dalam hal ini fitrah rasa seni, karena itu seni tidak bebas nilai. (9) Menciptakan dan menikmati karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah dan mengakibatkan fasad (kerusakan), darar (bahaya), ‘isyan (kedurhakaan), dan ba’id ‘anillah (keterjauhan dari Allah), yang merupakan rambu proses penciptaan dan menikmatinya.
Sebagai orang mukmin, sudah seharusnya memiliki perasaan yang dalam terhadap keindahan, karena memang itu fitrahnya, apalagi Alloh mencintai keindahan, dan Yang Maha Indah (Al-Jamil) juga salah satu nama Alloh sekaligus merupakan salah satu sifat Nya. Jadi jika kita sebagai aktivis dakwah, sebagai kader KAMMI, maka janganlah kita rusak dakwah ini, janganlah kita burukkan dakwah ini, hanya karena rusaknya atau buruknya tampilan kita, hanya karena kita tidak bisa membaur dengan objek dakwah kita khususnya yang berada dalam bidang kesenian atau seni budaya. Karena kesenian adalah bagian dari kebudayaan, dan kita sudah sepakat bahwa Islam agama yang sempurna, agama yang menyeluruh, sehingga agama Islam sudah seharusnya menjadi sumber kekuatan kebudayaan yang harus kita perjuangkan.

3.      Jejak Islam dalam Kesenian
Jejak Islam dalam kesenian ini ialah tokoh-tokoh Islam zaman dahulu yang menorehkan tintanya dalam bidang kesenian, kebanyakan nama-nama yang tercatat memang penyair karena sebuah karyanya yang memang masih banyak tersimpan, seniman musisi maupun perupa mungkin lebih sulit dicari namanya, hanya beberapa yang menjadi pimpinan pelukis istana, namun karya-karya seniman ini masih banyak terpampang baik di istan-istana bersejarah islam maupun masjid-masjid bersejarah.
a.       Al Kindi (801-873), merupakan filsuf Islam yang pertama dan beliau orang yang ahli musik. Beliau juga menemukan bahwa musik bisa dijadikan sebagai media pengobatan.
b.      Al-Farabi, selain sebagai filsuf ia juga menulis kitab Musiqil Kabir (Kitab besar tentang musik timur) dan Qounun (semacam alat musik kecapi). Beliau juga meneliti tentang musik sebagai media pengobatan, yang pada nantinya berkembang saat era Turki Usmani.
c.       Abul Thayyib Al-Mutanabbi (915-965, penyair arab terkenal. Salah satu karyanya “Diwan” yang berulang kali diterbitkan.
d.      Firdausi (940-1020), penyair epos terbesar dari Persia. Salah satu karyanya ialah Syahmana (sejarah raja-raja persia).
e.       Abul A’la Al-Ma’ari (973-1057), penyair dan filsuf muslim dari persia, merupakan inspirator dari Dante Aigieri.
f.       Nizami (1140-1202), seorang pujangga besar, karya besarnya contohnya ialah Nizam, Laila majnun.
g.      Jalaludin Ar-Rumi (1207-1273), dimana karya diwannya hingga 26.660 bait, juga tentang cerita berisi ajaran sufi. Saat mengarang kumpulan puisi al matnawi, ia memberikan kritikan terhadap ilmu kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya, juga terhadap filsafat yang hanya mengedepankan rasio secara berlebihan.
h.      Umar Khayyam (1038-1123), seoran penyair, dalam puisinya ia mempopulerkan sajak-sajak berjumlah empat baris yang hingga kini diikuti oleh penyair dunia.
i.        Muhammad Iqbal (1873-1928), merupakan filsuf dan penyair terbesar abad 19, Pada karya shikwa,Iqbal menulis tentang warisan muslim dan keturunanya, sedangkan pada karya jawab I Shikwa ,ia menyampaikan penyebab keruntuhan itu, mengapa harus pasrah menerimanya sebagai takdir,bukan berusaha untik bangkit.
j.        Sayyid quthb, cendekiawan muslim, pemikir muslim, dan penyair, karyanya tentang nabi yang disukai anak-anak membuatnya populer di Mesir, karya tafsirnya Fidzilalil Quran yang mengkritik akan budaya hidup barat.
k.      Sunan Kalijaga, merupakan salah satu dari 9 wali yang ada di Indonesia untuk berdakwah dan mengubah masyarakat jawa menuju agama Islam melalui budaya, karya-karyanya: Pengarang lakon pewayangan, Layang kalimah sada; Suluk Lir ilir; Lanskap kota yang terdiri kraton, alun alun dan masjid; penggagas baju taqwa.
l.        Said Abdul Mumi (wafat tahun 1924), pendiri sekolah musik saat dinasti Abbasiyah.
m.    Al-Mausili (767-850 M), musisi yang disegani saat dinasti Abbasiyah.
n.      Yunus bin Sulaiman Al-Khatib (wafat tahun 785 M), juga merpakan pengkaji musik yang dihormati.
o.      Khalil bin Ahmad (wafat 791 M), orang pertama di zaman Islam yangmemperkenalkan teori menuliskan irama musik dengan not balok.
p.      Hunia bin Ishak (wafat 873 M), berhasil memperbaiki musik Arab di zaman Jahiliyah dengan sistem baru. Ia menulis Kitab Ilhan Ghanam (buku Not dan irama) sehingga ia menjadi terkenal.
q.      Al-Wasiti, seorang pelukis yang terkenal di zaman akhir Abbasiyah. Yang dijelaskan pada manuskrip teks Maqamat.
r.        Kamaludin Behzad, direktur studio lukis istana saat dinasti shafawiyah yaitu saat rajanya Shah Ismail I Shafav, bahkan sebelumnya saat dinasti Timurid berkuasa, ia juga ditunjuk sebagai pelukis istana. Dia merupakan maestro seni lukis miniatur (Persia) yang terkemuka. Karya lukisnya terkenal hingga peradaban barat, hingga ditemukan pada manuskrip kitab klasik, karya laila majnun, bahkan saking terkenalnya ia masuk ke dalam novel Orphan Pamuk.
s.       Nasuh Al-Matraki, seniman pelukis miniatur terkemuka, hampir semua lukisan tersimpan di perpustakaan istana istanbul, beialu hidup di masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni.
t.        Ibnu Muqlah (887-940 M), tokoh kaligrafi terkenal di dunia, ahli tentang ilmu geometri, penemu kaligrafi naskhi dan kuhfi.
u.      Hasyim Muhammad Al-Baghdadi (1917-1973), lulusan institut kaligrafi di Kairo, bekerja di departemen dekorasi kaligrafi di Baghdad, beliau pencipta khat riq’ah, sehingga beliau ditunjuk menjadi pengawas dalam kementrian di Baghdad sebagai pengawas mushaf tulisan arab untuk yang pertama kali, menjelang wafatnya, belum ada yang bisa meniru karakter kaligrafinya.
v.      Ibnu Bawwab, beliau penerus Ibnu Muqlah, mampu meneruskan khat naskhi, merupakan putra penjaga istana baghdad, beliau juga seorang hafidz, tulisan kaligrafinya banyak ia torehkan di masjid Istanbul turkey, beliau mampu menguasai 6 khat gaya lukisan kaligrafi, bahkan karya nya tersebar di dunia termasuk Indonesia, hingga karyanya memiliki nilai jual hingga 40-60 dinar per karya.


4.      Seni Budaya dan Peradaban
Agama Islam sebagai dasar dari semua aspek kehidupan. Islam menjadi asas dalam setiap kita berucap serta bertindak, menjadi asas dalam setiap kehidupan sehingga dalam perkembangannya akan lahirlah sebuah kebudayaan dan peradaban.
Mengutip pendapat Effat Al-Sharqawi dalam filsafat kebudayaan Islam dalam bukunya Badri Yatim, bahwa kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan moral, maka peradaban terfeleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
      Landasan Peradaban Islam ialah kebudayaan Islam terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (non samawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama islam adalah wahyu dari Tuhan. (Badri Yatim, 2015: 3)
Adapun kesenian merupakan bagian dari kebudayaan, dimana kebudayaan menjadi landasan peradaban. Maka kesenian ini menjadi salah satu unsur yang akan mempengaruhi kemajuan peradaban. Sehingga dari sini ketika ingin melihat kemajuan peradaban maka kita bisa melihat dari kemajuan unsur-unsur yang menjadi bagiannya, salah satunya ialah seni. dan yang perlu diperhatikan bahwa kemajuan peradaban juga tidak dilihat dari keseniannya saja, tapi semua unsur yang ada dalam sebuah peradaban, seperti moralitas, ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan fisik (bangunan, fasilitas) maupun non fisik (kesehatan, ekonomi, dsb).
Lalu pertanyaan selanjutnya, bisakah dari kesenian ini mampu mewujudkan karakter dan keutuhan bangsa sebagai bagian untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat?

D.    Seni Budaya, Karakter dan Keutuhan Bangsa

Perlu kita ketahui bahwa apa yang disebut dengan suatu bangsa adalah karena adanya kesamaan budaya. Sehingga dalam suatu negara bisa saja ada lebih dari satu bangsa, bahkan dalam pemahaman nasional kita hingga ada suku bangsa yang sangat beragam hingga lebih dari 500 suku dengan bahasa lebih dari 700. Sudah menjadi tanggungjawab kita, bahwa kita memiliki dua amanah besar dalam menjaga budaya ini. Pertama, budaya dari suku-suku bangsa yang ada di Indonesia dan yang kedua adalah budaya nasional Indonesia itu sendiri.
Dalam memahami budaya dan karakter bangsa, sebenarnya ini bisa dijadikan sebuah pendekatan. Mengutip tulisan Edi Sedyawati dalam kebudayaan di Nusantara, kalau kita sebut “karakter bangsa”, tentu yang dimaksud adalah karakter suatu satuan nasional yang disebut “bangsa Indonesia”, secara keseluruhan. (Edi Sedyawati, 2014: 7)
Dapatkah kiranya hal itu diidentifikasikan akan keanekaragaman “karakter” yang dapat membedakan seperti suku Jawa, Bali, Batak, Bugis, Minang? Apalagi ketika melihat seni budaya/ keseniannya? Sehingga perlu adanya atau dicarinya – meminjam istilah Edy – “kesadaran sejarah” sebagai pembentukan kesatuan nasional.
Penanaman nilai akan kebanggaan sejarah ini harus disosialisasikan benar-benar, bahkan tidak sekedar menjadi teori saja, namun diprogramkan menjadi sebuah tingkah laku. Meski tingkah laku ini sebenarnya sudah berjalan hanya saja tergerus oleh arus globalisasi yang akhirnya anak cucu kita merasa “asing” dengan budayanya sendiri dan malah bangga dengan budaya asing yang masuk meski tidak sesuai dengan moralitas bangsa Indonesia.
Sehingga terkadang jalur budaya ini agak sulit untuk dimasuki oleh aktivis dakwah ketika mereka memang tidak bisa membaur. Bahkan efek ketercapaiannya bisa diprediksikan lama dan hanya membawa pada “penghabisan” pemikiran, tenaga, waktu. Namun pernahkah kita terpikirkan bagaimana Sunan Kalijaga mampu menggeser hasil “budaya” (seni budaya/ kesenian) dari yang nilai non-religi menjadi sebuah nilai religi tanpa merubah sebuah penampilan?
Sebuah jangkauan pemikiran yang melampaui zamannya. Sebuah pendekatan budaya dalam membentuk karakter bangsa, lalu pertanyaannya, karakter seperti apa yang bisa dicapai dengan pendekatan budaya ini?
Perlu kita ketahui bahwa kebudayaan berinti suatu sistem gagasan: konsep-konsep dan nilai-nilai. Sehingga seorang aktivis dakwah hari ini ketika mau menggarap ranah ini, mereka harus siap menjadi “Sunan Kalijaga” selanjutnya. Ia harus berani untuk menggeser dan mengarahkan nilai ke arah kebaikan sesuai prinsip Islam. Memang kedengarannya cukup gila, tapi begitulah. Kita bisa melihat pergeseran balik kanan suatu kebudayaan, misal di Keraton Yogyakarta. Dahulu saat Sultan pertama masih menjadikan agama sebagai landasan, dalam seni budaya seperti tarian misalnya, Sultan akan menampilkan tari perjuangan yang esensinya ialah semangat akan perjuangan membela agama dan tanah air, namun hari ini apa yang ditampilkan ialah para gadis dengan tariannya yang beresensi hanya pada estetika tanpa melihat esensi secara praktis. Sehingga perubahan “budaya” yang dulunya Kraton tercitrakan sebagai kerajaan Islam sekarang berubah menjadi seolah-olah kejawen, banyak hal-hal yang berhubungan dengan sesaji dan sebagainya.
Padahal kalau kita mau jujur, pendekatan dengan ranah seni budaya/ kesenian adalah pendekatan berbasis “keberpengaruhan” atau “kebermanfaatan”. Misalnya, ada sebuah komunitas musik, pekerjaannya tiap minggu mengadakan pentas musik. Maka ketika seorang aktivis dakwah berdakwah disana, maka pertama yang ia lakukan adalah menjadi aktor dari pemusik itu, meminjam istilah orang Jawa, “srawung” sebagai kuncinya. Sehingga ketika kita sudah bergaul pilihannya hanya ada dua, ia berpengaruh atau dipengaruhi. Makanya sedikit orang yang kemudian mau menghibahkan dirinya untuk berjuang di ranah ini. Sebenarnya bagi saya ini adalah sebuah tantangan untuk menciptakan kebermanfaatan dan keberpengaruhan. Karena saat para pemusik ini bermain, mereka sudah tidak melihat “baju”, apakah ia aktivis dakwah, apakah ia seorang birokrat, apakah ia seorang artis, maka semua larut dalam kegembiraan jiwa, tapi yang terlihat adalah keberpengaruhan dan kebermanfaatan, selagi ia bermanfaat bagi komunitas ini, maka ia akan “didengarkan” dan dari situlah proses keberpengaruhan akan dimulai.
Sehingga dengan dakwah pendekatan budaya ini, bukan berbicara karakter apa yang kita dapatkan, tetapi karakter seperti apa yang ingin kita buat. Harapannya dengan proses berubahnya komunitas-komunitas kecil yang tadinya hanya bermanfaat untuk komunitasnya, komunitas ini lalu akan meluaskan kebermanfaatannya untuk komunitas yang lain, dan sebagainya akan terus meluas ketika para aktivis dakwah ini mau melakukan proses rekayasa sosial dan konsolidasi. Semoga ini bisa menjadi ladang garapan dari aktivis KAMMI dengan bidang Seni dan Olahraga khususnya. Sehingga budaya yang baik, pada nantinya mampu membentuk bangsa yang baik.
Mengapa seni mampu membentuk karakter? Kalau tadi saya bicara tentang keberpengaruhan (eksternal), maka secara kepribadian (internal) seni juga berpengaruh, khususnya pada anak-anak. Meminjam istilah Setyoadi Purwanto dalam bukunya Pendidikan Karakter melalui Seni, bahwa Seni bekerja “sangat mengesankan”. Katanya, “Kesenian menghadirkan kegembiraan dalam jiwa, kegembiraan menggetarkan emosi manusia, emosi yang intens menggerakkan sikap dan perilaku, sikap dan perilaku membentuk kepribadian, dan kepribadian yang kukuh mengantar setiap jiwa pada takdir-Nya.” (Setyoadi Purwanto, 2016: 2)
Kenapa pada anak-anak? Ketika kita jujur, maka anak-anaklah yang berani mengungkapkan apa yang ia rasa, ia berani menyanyi tanpa malu, ia berani mencorat-coret kertas, tembok, ia berani berlari kemana saja, meniru apa yang orang lain laukan, dan sebagainya. Maka pada hakikatnya dalam fitrah naluri anak jika kita perhatikan, konsep kreativitas sudah sangat besar, lalu konsep moralitas pun bisa dibentuk dengan keteladanan. Maka jawaban terhadap fitrah naluri ini salah satunya ialah belajar dan bermain dengan seni, seperti menyanyi, bercerita dan menggambar. Biarkanlah anak-anak menggambar apa yang ia inginkan tanpa harus dibimbing dan diarahkan, karena itu memang mewakili apa yang ia rasa, pujilah apa yang sedang ia buat dan tanyalah apa yang sebenarnya ia gambar. Maka hal itu akan menanamkan rasa kasih sayang dan perhatian sehingga anak akan lebih mematuhi orang tua dan merasa diperhatikan. Pada hal musik, ajarilah, dengarkanlah pada mereka musik-musik anak atau lagu anak yang memiliki pesan kebaikan, religi dan nasionalisme, sehingga lirik-lirik kebaikan itu akan tertanam kuat dalam jiwa anak sehingga menjadi pelajaran baginya, sesekali ajaklah anak-anak untuk membicarakan lirik dan kita ungkapkan maknanya dengan bijak.
Inilah yang perlu dipahamkan kepada guru saat ini, khususnya guru yang mengajar seni budaya di taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Bahwa ternyata ada sarana - yang oleh banyak orang dianggap hanya sebagai pelengkap saja – yang dekat dengan jiwa manusia dan jiwa anak-anak yaitu seni. Referensi dan penelitian ini bisa dirujuk banyak buku dan pendapat ahli.
Beralih pada seni dalam mewujudkan keutuhan bangsa. Apabila kita berbicara “karakter” dalam pendekatan budaya, maka tidak akan terlepas dari persoalan “keutuhan” bangsa. Aplagi Indonesia dengan beragam suku bangsanya. Seperti yang saya katakan tadi bahwa ketika seniman-seniman ini sudah berbaur maka semua akan menyatu, melebur tanpa melihat “baju” apa yang ia pakai, namun kontribusi apa yang bisa ia berikan. Apalagi semua budaya antar suku tersebut tersatukan oleh apa yang dinamakan budaya Indonesia yang konsepsinya telah diciptakan oleh founding fathers kita, “bhineka tunggal ika”. Sehingga proses penciptaan “toleransi” dan saling menghargai harus selalu di blow up - selain dari media - harus didukung oleh aspek yang lain seperti pendidikan, ekonomi, hukum, kemanan dan sebagainya.
Masih ingat ketika tari Pendet yang kemudian muncul di iklan Malaysia? Yang kemudian warga bangsa Indonesia marah-marah? Masih ingat pula dengan “wayang” yang tadinya tidak dijadikan sebagai budaya Indonesia oleh dunia? Hingga netizen Indonesia pun berkoar-koar dalam akun medsosnya dari yang halus sampai yang kasar? Dari sini kita melihat bahwa kesadaran“kesatuan nasional” sebenarnya sudah terbentuk, yang disayangkan ialah proses pelestariannya itu. Sebagai aktivis dakwah, sebagai kader KAMMI, tentu ini adalah hal yang bisa menjadi peluang untuk “digarap”, ketika jarang orang yang mau melestarikannya, maka sudah seharusnya kita mau menjadi “Sunan Kalijaga” selanjutnya.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa diambil, yaitu:

1.      Dakwah pada hakikatnya ialah sebuah kewajiban bagi umat muslim, jalannya terjal, waktunya tidak menentu, dan menyerap semua apa yang kita punya, namun itulah konsekoensi dari ciri umat terbaik.
2.      KAMMI percaya dan mengikuti konsep syumuliyatul islam, yaitu konsep kesempurnaan dan kemenyeluruhan agama Islam, sehingga semua aspek dalam kehidupan ini diatur oleh Islam.
3.      Seni Budaya dalam hal ini kesenian, merupakan manifestasi dari budaya itu sendiri. Islam dalam memandang seni ini tidak kaku dan juga tidak kebablasan, karena islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah, dan umat Islam adalah umat pertengahan.
4.      Pembangunan karakter melalui seni budaya bisa dilakukan dengan ikut membaur dan memberikan kebermanfaatan (secara eksternal) serta melalui pendidikan seni budaya pada anak-anak (secara internal), sehingga mampu memiliki keberpengaruhan untuk mengarahkan manifestasi budaya itu demi mewujudkan keutuhan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki banyak suku
.
B.     Saran

1.      Tulisan ini belumlah sempurna, karena penulis masih mengkaji sebatas pengalaman saja, belum banyak referensi yang digunakan.
2.      Akan lebih baik jika proses intelektual dan kajian ini digarap oleh KAMMI sehingga mampu mengembangkan sumber daya manusia sebagai upaya balancing power di tengah arus korporatisme kuasa
3.      KAMMI sebagai gerakan perbaikan yang menempatkannya sebagai tradisi dan menempatkan kebatilan sebagai musuh, maka harus berani untuk “srawung” dengan organisasi/ komunitas seperti ini.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Banna, Hasan. 2012. RISALAH PERGERAKAN HASAN AL-BANNA Jilid 1. Surakarta: Era Adicitra Intermedia.
Al-Wa’iy, Taufik. 2010. Dakwah ke Jalan Alloh; Muatan, Sarana dan Tujuan, Jakarta: Robbani Press.
Anshari, Endang Saifuddin. 2004. Wawasan Islam; Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Khatib, Muhammad Abdullah dan Muhammad Abdul Halim Hamid. 2007.  Syarah Risalah Ta’alim. Jakarta: Al-I’tishom.
M. Ash-Shalabi, Ali. 2006. Fikih Tamkin; Panduan Meraih Kemenangan dan Kejayaan Islam.  Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Masyhur, Musthafa. 2013. Fiqih Dakwah Jilid 1. Surakarta: Era Adicitra Intermedia.
Purwanto, Setyoadi. 2016. Pendidikan Karakter Melalui Seni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedyawati, Edi. 2014. Kebudayaan di Nusantara; dari Keris, Tor-tor sampai Industri Budaya. Jakarta: Komunitas Jambu.
Yatim, Badri. 2015. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers.

http://fantakerinci7.blogspot.co.id/2013/02/beberapa-tokoh-musik-islam.html, Sabtu, 25 September 2016, 06:58 WIB.
http://www.republika.co.id/berita/shortlink/38931, Sabtu, 25 September 2016, 07:20 WIB.
https://adamdarko.wordpress.com/muhammadiyah-bicara-seni/, Minggu, 16 Oktober 2016, 08.08 WIB.
http://angga-mardiansyah.blogspot.co.id/2012/11/a.html, Minggu, 16 Oktober 2016, 08.29 WIB.