Rabu, 27 Januari 2016

Mosaik 2 - Kembali Indah


Lorong jalanan sudah mulai gelap, tersisa lorong-lorong sinar kuning yang menerobos kegelapan menjadi tabung-tabung cahaya seperti manipulasi dalam efek para fotografer. Jalan serasa panjang tak berujung, persis seperti perasaan Bapak ini. Dari semenjak pagi hingga sore hanya menuntun dan terus menuntun.

Dua pohon yang melengkung membentuk sebuah gapura menyuntikkan rasa semangat, walau sedikit. Dan senyum itu lebih melebar manakala melihat senyuman balik seorang anak. Kiranya kilatan menyambar pohon, senyum itu lebih berkilau, senyum itu lebih menenangkan hatinya. Mungkin itulah yang menjadi asa dalam hidupnya.

“Bapak pulaaaang....”

Dengan jargon kemenangan bak pasca perang. Sepertinya teriakan inilah yang senantiasa membuat hidup hatinya. Hati kosong yang telah kehilangan separuh isinya.
Rambutnya lurus hitam, meski sedikit kusam kotor karena debu-debu yang menempel. Matanya lebar, persis seperti keadaan bulan saat pertengahan tanggal Hijriah di setiap bulannya, kedua telinganya lebar ke samping, sebuah harapan bagi Bapaknya bahwa ia nantinya akan menjadi pendengar yang baik, yang selalu mau mendengarkan jeritan rakyat, dan senantiasa mau menolong mereka. Umurnya belum genap enam tahun. Sekolahpun masih menjadi cita-cita yang sulit untuk bisa direalisasikan.

Namun, optimisme itu hadir ketika bocah ini tersenyum dengan lugunya. Satu-satunya harapan Pak Yo. Ia bagai batu bara bagi tungku api. Senantiasa menjadi penyemangat hidupnya untuk senantiasa bertahan dan tentunya menuju impiannya pada waktu muda yang telah dihancurkan oleh para politikus penghianat negara.
Kini ia hanya memiliki bocah itu dan harapan. Tawakkal menjadi ujung pengharapan yang senantiasa ia lakukan. Seharian aktivitasnya mencari uang dengan berkeliling menuju kampung ke kampung, desa ke desa, kota ke kota, seletih apapun, ia lakukan demi batu bara ini agar senantiasa menyala dalam hidupnya.
Dan Pak Yo kembali tersenyum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar