Lorong
jalanan sudah mulai gelap, tersisa lorong-lorong sinar kuning yang menerobos
kegelapan menjadi tabung-tabung cahaya seperti manipulasi dalam efek para
fotografer. Jalan serasa panjang tak berujung, persis seperti perasaan Bapak
ini. Dari semenjak pagi hingga sore hanya menuntun dan terus menuntun.
Dua
pohon yang melengkung membentuk sebuah gapura menyuntikkan rasa semangat, walau
sedikit. Dan senyum itu lebih melebar manakala melihat senyuman balik seorang
anak. Kiranya kilatan menyambar pohon, senyum itu lebih berkilau, senyum itu
lebih menenangkan hatinya. Mungkin itulah yang menjadi asa dalam hidupnya.
“Bapak
pulaaaang....”
Dengan
jargon kemenangan bak pasca perang. Sepertinya teriakan inilah yang senantiasa
membuat hidup hatinya. Hati kosong yang telah kehilangan separuh isinya.
Rambutnya
lurus hitam, meski sedikit kusam kotor karena debu-debu yang menempel. Matanya
lebar, persis seperti keadaan bulan saat pertengahan tanggal Hijriah di setiap
bulannya, kedua telinganya lebar ke samping, sebuah harapan bagi Bapaknya bahwa
ia nantinya akan menjadi pendengar yang baik, yang selalu mau mendengarkan
jeritan rakyat, dan senantiasa mau menolong mereka. Umurnya belum genap enam
tahun. Sekolahpun masih menjadi cita-cita yang sulit untuk bisa direalisasikan.
Namun,
optimisme itu hadir ketika bocah ini tersenyum dengan lugunya. Satu-satunya
harapan Pak Yo. Ia bagai batu bara bagi tungku api. Senantiasa menjadi
penyemangat hidupnya untuk senantiasa bertahan dan tentunya menuju impiannya
pada waktu muda yang telah dihancurkan oleh para politikus penghianat negara.
Kini
ia hanya memiliki bocah itu dan harapan. Tawakkal menjadi ujung pengharapan
yang senantiasa ia lakukan. Seharian aktivitasnya mencari uang dengan
berkeliling menuju kampung ke kampung, desa ke desa, kota ke kota, seletih
apapun, ia lakukan demi batu bara ini agar senantiasa menyala dalam hidupnya.
Dan
Pak Yo kembali tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar