Kamis, 14 Maret 2019

KAMMI; Trendsetter masa kini?

KAMMI; Trendsetter masa kini?

Oleh: Viki Adi N
(Ketua PD KAMMI Sleman 2018/2020)


Jayakan Indonesia 2045. Cita platform KAMMI dari sekitar tahun 2015. Bahkan di tegaskan kembali dalam Rakornas 1 di Jakarta tahun lalu dengan slogan "Gernas Jayanesia". Lalu, kemana hari ini?

Di awal banyak yang mempertanyakan gagasan ini. Apakah realistis? Apa KAMMI punya kekuatan cukup besar untuk menjayakan itu dalam kurun 25 tahun ke depan?
Tidak serta merta semua bisa berpikir besar, melihat peluang, serta membuat peluang. Kepahaman pada dasar nilai perjuangan dan pembacaan zaman adalah dua hal yang tidak boleh hilang. Inilah tugas para "ideolog" di KAMMI. Merumuskan arah ke depan.

Ke depan, dunia akan terus diliputi kemajuan teknologi. Generasi kini, kita masih melihat orang tua yang gagap teknologi namun tidak pada anak. Bagaimana 25 tahun yang akan datang? Barangkali dari anak sampai nenek, semua sudah tidak buta teknologi. Contoh sederhana saja. Modernitas dan kemajuan akan terus berkembang. Hingga muncul prediksi-prediksi masa emas akan hadir di era ini. Usia-usia produktif sedang begitu banyaknya.

Sederhana saja, di tengah arus modernitas itu, apakah nilai Islam itu masih akan terus berselaras termasuk nasionalisme kita? Seharusnya iya. KAMMI punya visi besar itu. KAMMI punya cita besar dalam platform gerakan.

Saya berpikir. Sedikit saja.  1998 lalu, KAMMI hanyalah kumpulan anak-anak yang berhimpun yang sebagian besar ada pada lembaga dakwah kampus. Jumlahnya tak banyak, namun tak sekecil gerakan mahasiswa yang mungkin telah lama berdiri. Momentum reformasi tiba. Anak-anak keluar. Tiba fase apa yang dinamakan "mihwar daulah" sebegitu cepatnya tanpa ada persiapan besar sebelumnya. Tentu ini mengacu pada konsep fikrah dan ideologi yang KAMMI usung.

Kini, di usia yang hampir 21 tahun (sebentar lagi 29 Maret). Praktis para alumni sudah menghiasi parlemen dan ranah profesionalitas lainnya. Meski sampai saat ini belum banyak tokoh terkenal (nasional) yang muncul kecuali sedikit saja. Pertanyaan nya juga sederhana, sampai usia yang kepala dua ini, sudahkah KAMMI menjadi trendsetter gerakan bagi anak muda khususnya mahasiswa sampai era kini?

Semakin menua usia gerakan, semakin besar keanggotaan, biasanya akan sampai pada titik dimana transfer nilai mengalami ketidaknormalan. Bisa jadi semacam ketidaktercapaian pesan. Termasuk penurunan kualitas.

Hari ini, Indonesia terasa terus mengalami peningkatan keberislaman yang cukup kuat khususnya di kalangan terdidik dan menengah ke atas. Komunitas-komunitas hijrah hadir bak kecambah. Bahkan digandrungi anak muda dan mahasiswa kini. Kesalehan individu terus menjadi target utamanya.

Kita pasti sepakat bahwa apa yang dibawa KAMMI bukan sekedar kesalehan individu. Juga kesalehan sosial! Setiap individu yang beriman, pasti ia tak kan merasa cukup dan puas hanya beriman sendiri tanpa ingin mengajak yang lainnya. Karakter gerakan KAMMI pun jelas. Ia adalah pengkaderan dan amal. Bukan sekedar tempat berkumpul. Bukan pula sekedar beramal soleh lalu selesai.

Harusnya dengan ini saja cukup. Cukup bagi kader KAMMI untuk lebih yakin mengembangkan organisasinya. Untuk terus merekrut anggota baru. Saya rasa trendsetter bukan hal yang sulit.  Bahkan sangat bisa! Ini perlu kita pikirkan bersama. Namun, kalau kadernya saja tidak percaya diri dengan ke-KAMMI-an nya, mana bisa ini terwujud?

Saya jadi teringat. Ya! Peristiwa kemenangan Mursi di Mesir. Gerakan Ikhwan kala itu telah menjadi trendsetter di segala ruang publik. Dari mulai praktisi sampai akademisi. Dari institusi hingga lembaga swadaya masyarakat. Semua tidak lain karena jaringan itu saling terkoneksi dengan baik dan alhasil menjadi trendsetter di kalangan anak muda. Bahkan hingga kalangan profesional. Memang itu sudah hampir 8 dekade. Lebih dari 80 tahun!

Dengan kondisi yang cukup berbeda, bisakah dengan waktu kurang dari 25 tahun ini KAMMI di Indonesia menjadi trendsetter?

Harusnya bisa!

Sudah seharusnya kita berpikir besar untuk ini. Bagaimana KAMMI menjadi trendsetter. Bagaimana membesarkan nilai-nilai KAMMI ke dalam tiap ruang publik tanpa meninggalkan jati dirinya dan karakter otentiknya.

Sudah tidak seharusnya kita berpikir dengan konflik-konflik yang bukan urusan kita (sebut saja PKS dan Garbi) yang tentu membuat lelah. Masih terlalu banyak konflik masyarakat yang belum terselesaikan oleh ketidakadilan rezim.

Juga seharusnya kita tidak berpikir pragmatis dengan menjadi "timses" secara kelembagaan menghadapi momentum pemilu ini. Masih banyak isu yang harus dikawal, baik memastikan mahasiswa untuk memilih dengan bijak, memastikan lembaga penyelenggara pemilu menampilkan pemilu yang demokratis, hingga mengantisipasi akan "perpecahan" masyarakat pasca pemilu esok.

Di usia yang hampir 21 tahun ini. Mari kita insaf, sebagai organisasi Islam yang sudah hadir hampir di semua daerah di Indonesia, mari berpikir panjang. Mari berpikir besar.

"Trendsetter dan otentifikasi"
Barangkali menjadi trendsetter haruslah mengikuti arus. Ini tidak sepenuhnya benar. Tapi tidak sepenuhnya salah. Fikrah dan ideologi KAMMI haruslah tetap teguh. Namun cara bolehlah berubah sesuai zamannya. Dari awal saya tidak terlalu menggubris pembagian generasi dari x, y, z hingga apa yang dinamakan milenial. Dan saya tak terlalu peduli itu. Tapi yang jelas, saya selalu mencoba memperhatikan zaman. Itu saja.

Ada yang berpikir bahwa menjadi trendsetter, kita harus membawa KAMMI pada zaman "millenial". Tak perlulah aksi jalanan. Cukup medsos. Tak perlulah diskusi-diskusi formal. Cukup whatsapp saja. Semua menjadi aneh! Ya bagi saya menjadi aneh. Harusnya penambahan dan perubahan cara yang dilakukan untuk menghadapi zaman bukan malah dijadikan pembiasaan baru yang meninggalkan nilai-nilai kita sendiri. Memang disini kita membedakan nilai dan cara. Namun kita punya kultur sehat apa yang dinamakan "pertemuan". Bukan sekedar "dunia maya". Meski ini juga penting karena berkaitan dengan era kini. Namun tak semestinya kita meninggalkan apa yang menjadi prinsip kita. Di usia yang ke- (menuju) 21 tahun. Perlu kita rumuskan kembali menuju otentifikasi gerakan. Perlu lagi kita kaji fikrah dan manhaj perjuangan kita.

Ya, mungkin kita sudah lama lupa.

Mari kita saling mengingatkan.

#Berfikirdanbergerak #banggaberKAMMI #JayakanIndonesia2045

Kamis, 07 Februari 2019

Dari Mabda hingga Amal

Dari mabda hingga amal*


Buat apa berbusa-busa ngomong sejarah peradaban islam dengan keunggulan di masa lalu? Namun saat ini umat Islam harus terpuruk di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berlimpah.
Untuk apa berbicara ekonomi Islam di saat tidak ada negara - saat ini - yang menjadi contoh penerapan dan kesuksesannya?
Beberapa contoh ajuan pertanyaan di atas seolah merobohkan banyak pengkajian-pengkajian hal tersebut. Meski itu hanya sekadar contoh. Namun dari sini kita akan mencoba mengerti bahwa idealitas kita masih berupa pikiran dan belum mewujud dalam tataran amal. Pertanyaan nya lalu menjadi sederhana, benarkah pikiran kita sudah terisi? Dengan melihat ruang amal yang begitu besar, apakah pikiran kecil akan mampu menghasilkan amal besar? Semua sepakat akan menolaknya. Semua sepakat kalau pekerjaan besar membutuhkan pikiran besar.

Mabda haruslah di pegang erat

Umat Islam disebut sebagai umat yang terbaik karena ia memiliki aqidah yang kokoh, fikrah yang kuat dan mabda yang kokoh, manhaj yang mapan serta syiar dakwah dan harakah. Kesemuanya membentuk karakter khas umat terbaik. Lalu pertanyaannya sederhana, sudah dimilikikah hal tersebut dalam diri kita?
Ataukah - selaku yang menisbahkan dirinya sebagai aktivis dakwah sampai saat ini - tak mengerti dan paham terkait hal ini? Bahkan yang dimaksud pun tak tahu?

Kalau lah prinsip nya sendiri tak tahu menahu, bagaimana ia akan memegangnya?

Tajnid dan amal

Khas karakteristik gerakan Islam ialah tajnid (pengkaderan) dan amal. Ia akan berputar dalam dua karakter khas ini. Namun dua hal ini lagi-lagi tak akan mampu menjadi karakter khas tanpa di topang kuat oleh kekokohan fikrah dan mabda yang dipegang oleh seorang muslim.

Artinya meski harakah adalah ranah aplikasi dari dakwah. Tetap ia akan bertumpu pada fikrah dan mabda yang kokoh. Bukan serampangan bergerak.

Kita melihat ideolog dari sebuah gerakan seperti Hasan al-Banna telah sukses membangun pilar gerakannya. Bahkan di saat gerakan lain wafat atas wafatnya sang pendiri, tidak bagi gerakan ini. Semua sistem terus berjalan.

Kekokohan prinsip dipertahankan. Namun zaman tetaplah memiliki khas nya. Inilah peluang yang harus dilihat. Ada prinsip yang bisa berubah.

Setelah sukses dengan ideologisasi, perangkat dan sistem di era selanjutnya. Generasi sekarang sudah seharusnya melihat perubahan dan tantangan zaman untuk segera menemukan formula baru. Berani berpikir besar untuk amal besar.

Generasi "muda" dan gagasan baru

Berpikir besar dan gagasan besar dan mungkin "nyleneh" memang sering berada pada generasi muda. Barangkali karena pengalamannya yang masih belum banyak. Mungkin itu pula yang membuat Umar bin Khattab menatap optimis setiap ada masalah besar, merekalah para penyelesainya.

Tak sedikit para generasi tua yang kemudian berpikir "saklek" dan "kaku" kecuali mereka yang memang adaptif dan melihat tantangan zaman. Setua apapun usianya, mereka tetap berjiwa muda. Bahkan jiwanya semakin muda, semakin matang setiap melihat dan mengalami peristiwa dalam kehidupannya, dalam setiap waktunya.

Cara-cara hebat yang telah sukses di waktu lalu belum tentu hari ini laku. Ini hukum tak tertulisnya.

Generasi muda di zaman kini pun mulai memiliki karakter yang khusus. Jiwa mudanya tumbuh dengan rasa penasaran tinggi, mudah bosan, serta rasa suka dan keinginan diakui sangat besar. Ditambah rotasi kampus (kelulusan) yang cepat. Kalau perlu penanganan khusus mungkin iya, tapi bagi saya, selama saya berinteraksi dalam gerakan ini, tarbiyah akan selalu melihat potensi di setiap individu dan mengembangkannya. Tapi faktanya?

Saya tidak mengatakan hasilnya sama. Orang yang "sama". Tapi fakta di lapangan barangkali begitu. Dan itu yang dirasa. Mari bertanya pada diri kita, siapa yang salah? Atau mungkin pertanyaan saya yang salah. Mari kita ganti. Apakah wadah ini masih relevan? Atau hanya perkara cara?

Cara janganlah bercampur dengan tujuan. Cara adalah ladang fleksibel.

Manhaj baru?

Kampus dan dakwah kampus perlu manhaj baru? Pertanyaan ini sederhana tapi berat. Berat bagi yang tak tahu jiwa zaman. Paradigma baru, bahkan kalau memang dibutuhkan pun perlu diperbarui. Dan tak semua kader pun paham dengan soal ini.

Bahkan arus bawah banyak yang bertanya, "dari mana indikator keberhasilan (tumuhat) dan pencapaian ini? Bagaimana adanya?" Yang ada hanya sejumput pertanyaan balik, "bagaimana cara meraihnya?"

Ini semestinya perlu di evaluasi. Dan ini menjadi persoalan lagi.

at-Tarbiyah bil Ahdaf

Apa ini? Setidaknya saya sejenak merenungi. Ini salah satu yang harus dikuatkan. Bagi saya murabbi tetaplah harus orang yang berkualitas. Mohon maaf jika banyak yang tak sependapat. Maksud saya ia haruslah mampu mendorong potensi mutarabbinya untuk terus berkembang. Jadi tarbiyah tidak "menyamakan" setiap orang. Dengan potensinya, ia tetap islami. Itu sederhananya! Artinya tarbiyah itu akan mengawali objek dakwahnya untuk mengubah fikrah dari "jahiliyah" hingga ia bersih dan mampu "bergerak" (aktivitas pergerakan/harakah). Jika ia seorang pemusik, ketika tercelup tarbiyah harusnya ia menjadi pemusik yang islami. Bukan menjadi "ustadz" yang tidak bisa bermusik.

Tarbiyah, Kampus, & aktivitas intelektual; Ketidakpuasan?

Kampus sebagai pencetak generasi intelektual. Semua sepakat. Apalagi aktivis dakwah yang intelek. Ini seharusnya hasilnya. Mendasarkan dakwah pada sebuah gerakan intelektual. Gagasan besar lahir. Narasi besar dibentuk. Ketidakmampuan menampung daya nalar dan mobilitas terhadap ide-ide, pemikiran-pemikiran, serta kemandegan dalam ranah "doktrin" seolah membuat generasi muda tak puas. Memang dakwah kampus seharusnya mampu menawarkan dakwah berbasis riset kepada publik dengan lebih baik. Tidak sporadis. Sekarang?

Sepertinya itu yang ada di sebagian benak. Saya merasakan hawa-hawa ini. Lemahnya baca, diskusi, kaji, riset, aksi. Bahkan isu-isu krusial banyak yang terlewat alih-alih fokus pada pemilu 2019. Sebut saja RUU P-KS. Gerakan mahasiswa tak banyak bersuara. Lesu? Tak punya gagasan? Tak punya narasi?

Konflik & pendewasaan

Dalam kata pengantar buku Arah Baru karya Erizal, Anis Matta menulis, "..dalam perjalanannya akan ada godaan untuk mempercepat proses, melengkapi tahapan yang harus dilalui, tapi sejarah telah mengajarkan, jalan pintas tak pernah berhasil."

Mari kita renungi, jalan pintas tak pernah berhasil. Cukup kita renungi. Sudah. Cukup. Itu saja.

Berbicara ketaatan. Semua rasanya sudah cukup. Selesai.

Namun, perlu kita pikirkan sejernih mungkin. Kenapa bisa begini? Adakah tarbiyah tak lagi mampu menampung perubahan? Atau kita ganti pertanyaan, bagaimana seharusnya tarbiyah menampung perubahan dan melihat peluang?

Berbicara ukhuwah dalam dakwah selalu diulang berkali-kali. Mari dewasakan hati.

Menyusuri Turki, Tunisia, Mesir, Malaysia; lalu Indonesia?

Turki dan Tunisia selalu menjadi rujukan berkaitan dengan model baru "pos-islamis" melalui AKP dan Ennahda. Dan, hasilnya berhasil. Begitu juga Malaysia, sekeluarnya dari PAS dan membentuk Partai Amanah. Menang! Kecuali Mesir yang menang di awal namun dikudeta akhirnya. Tersebab terlalu cepat dalam melakukan perubahan sementara banyak yang belum siap. Lalu Indonesia?

Masa depan politik Islam di Indonesia?

Seturut umat Islam bersatu di indonesia. Duka menghampiri partai politik Islam ini (PKS). Setidaknya dengan adanya perpecahan. Orang tak menyangka. Kenapa bisa begini?

Namun, harapan satu-satunya dari kesemua partai Islam tetaplah jatuh pada partai ini. Sebagai pembela isu keumatan yang masih terhitung konsisten di banding partai Islam lainnya. Bahkan fatwa untuk mencoblosnya pun keluar.

Semoga catatan akhir pekan ini jadi refleksi. Bukan untuk memperkeruh. Tapi untuk saling memperbaiki.

Karya Syekh Jumah Amin Abdul Aziz, Manhaj Taghyirnya menuliskan bahwa tarbiyah itu bukan pengajaran atau pembelajaran  layaknya sekolah formal. Ia istimewa, seharusnya.

*Viki Adi N
(Penulis dan Kurator amatir, penyuka buku)

Jumat, 07 Desember 2018

Buku dan Kehidupan

Buku dan Kehidupan



Oleh: Viki Adi N

Zaman kebesaran Islam baik di era Abbasiyah dengan ibukota Baghdad maupun kelanjutan Umawiyah di Spanyol dengan Andalusia menyisakan potret renungan. Setidaknya karena kejungkirbalikkan yang sudah kian lama. Tidak! Bukan! Bukan karena umat Islam mundur, bukan demikian. Tapi karena umat tertinggal. Masih ada waktu untuk mengejar kalaulah umat yakin dan percaya akan janji Allah Swt dan sabda Rasul Saw. Namun, masihkah optimis itu hadir?

Di zaman yang disebut "masa emas" itu, aktivitas intelektual terus bergulir. Bahkan tercatat banyaknya para penimba ilmu dari belahan Barat sana. Fenomena yang kini sekali lagi terbalik! Semua berlomba ke barat. Ini tak mengapa? Apa yang kita musti petik?

Khazanah intelektual Islam kala itu dan budayanya menghasilkan ruang ijtihad yang begitu besar. Bahkan pada pencapaian karya ilmiah yang menembus pada masa-masa sebelumnya (baca: Yunani). Meski efek fenomena negatifnya hadir pula di era akhir abbasiyah. Memang kita perlu jujur. Kenyamanan yang kadung hadir melupakan kebutuhan akan kekuatan dan persatuan. Semua terjebak pada kedigdayaan individu dan penganggapan dirinya yang paling benar.

Buku menjadi bagian tak terpisahkan di masa itu. Seorang penerjemah mampu menjadi orang kaya mendadak! Para peneliti, penulis, ilmuan, 'ulama, pasti terjamin hidupnya! Ia digaji oleh negara. Bisakah kita membandingkannya di hari ini?

Perpustakaan di tiap rumah warga di zaman itu saja terbilang ribuan jumlahnya. Belum perpustakaan yang dimiliki pemerintahan dari tingkat kecil hingga tingkat pusat. Orang rela membelanjakan uangnya untuk membeli buku dibanding sesuap makan. Barangkali berbeda dengan hari ini yang lebih rela meminum kopi diatas 20.000 dibanding membeli satu buku!

Para aktivis sebuah gerakan mengaku telah menjadi ideolog dari sebuah gerakannya pun tak luput dari hal ini. Bahkan pemikiran sang pendiri gerakan atau gagasan gerakannya sendiri saja tidak tahu. Semua berjalan layaknya air yang mengalir.

Ketidaksengajaan saya ialah menemukan buku 1001 inventions; The Enduring Legacy of Muslim Civilization karya Prof. Salim T.S. Al-Hassani, saya membeli dengan harga 250.000 rupiah. Harga waktu itu padahal bisa lebih dari 500.000. Setidaknya saya sedang tidak ingin bernostalgia dengan "the golden age" itu. Saya sekedar membaca bolak-balik, dan merenungi sejenak.

Ya! Kita butuh ini. Budaya intelektual dan keilmuan umat harus terus ditingkatkan. Menyiapkan pemimpin dan peradaban besar tak akan mampu ditopang tanpa hal ini. Saya mengerti mengapa al-Ghazali kemudian tidak langsung menyerukan jihad di awal perang salib itu. Ya, saya tau kini. Inilah kitab ihya ulumuddin hadir. Dan kau tau selama 90 tahun itu lahirlah generasi Salahuddin beserta pasukannya? []

Tulisan sebelumnya di post di sini

Sabtu, 20 Oktober 2018

Godaan; Antara Ego, Prasangka, & Firasat

Godaan
Antara ego, prasangka, & firasat

Dalam setiap sub peri kehidupan, akan kita dapati berbagai dugaan-dugaan. Akan hadir pula syak-syak di tiap individu. Pemikiran itu hadir menelorong dua hal, iya atau tidak, negatif atau positif.

Saking condongnya prasangka kepada ketidakbaikan, itulah mengapa Rasulullah Saw memerintahkan untuk menjauhinya. Di dalam prasangka inilah ego kemudian berperan. Apakah ia akan menundukkannya atau malah meneruskannya.

Ego, ialah kunci untuk memahami diri. Tutur Said Nursi. Ia kunci yang memiliki kunci. Kiranya tiap manusia paham dengan hal ini. Kiranya pula ia mampu mengendalikan raja nya raja pada manusia. Ialah Hati.

Ego pada diri manusia terus menggelayuti dalam setiap tindak-tanduknya. Ia akan memilih di antara dua kutub yang berlawanan. Prasangka ikut turut campur menguatkan ke arah keragu-raguan.

Dalam hal ini, ketika seorang individu mempunyai orientasi lurus dalam dakwah. Harusnya ego dan prasangka ke arah yang buruk pada saudara seiman bisa diminimalisir. Terkadang keberpengetahuan kita tidak sebanyak pengetahuan yang ada dalam alam realita sekitar kita. Inilah mengapa firasat itu perlu dihadirkan.

Hati, tegas al-Ghazali, menjadi Raja yang akan mengelola kepribadian insan. Dalam perseturuan dengan saudara seiman dengan beda pendapat tak harus disikapi dengan prasangka buruk dan ego yang menguat untuk menjatuhkan.

Sudah tidak seharusnya, ketika berbeda pendapat lantas ia tak mau turut dalam likuan jalan dakwah. Masih ada ruang-ruang untuk terus berperan meski barangkali berbeda arah haluan dengan tetap satu tujuan. Pun bagi yang kemudian memilih berpisah atau berhenti bukan lantas ia dicaci. Ingat kawan! kita masih bersaudara.

"Hai orang-orang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu... " ; begitu Allah Swt menutup surat ali-Imran. Allah Swt meminta kita untuk bersabar dan menguatkan kesabaran ; semoga kita selalu dikuatkan.


Viki Adi N
Late post
Ditulis pasca pemilihan Ketua KAMMI PD Sleman 2018-2020

Sabtu, 08 September 2018

Angka-Angka yang Termakzulkan



Angka-Angka yang Termakzulkan

Oleh: Viki Adi N

Hujan di bulan September sejenak memberi rasa lega dikarenakan rindu yang telah dirasa. Baik oleh katak yang lama bertengger di balik pot dan got kering, rumput yang masih terpendam hingga manusia-manusia yang kadung rakus serta lupa terhadap apa yang disebut dengan syukur. Hujan ini jugalah yang membawa kita pada titik permulaan angka baru di tahun qomariyah.

Anda, tentu saja selaku pelaku aktif medsos akan dihujani dengan "tabligh akbar", kajian hingga diskusi berkaitan dengan refleksi tahun baru. Meski ramainya tidak terlihat seramai percekcokan cebong & kampret atau sejenisnya. Jangan harap ada kembang api, Anda cukup melihat ramai "postingan" di medsos saja, sejatinya Anda sudah bangga (harusnya). Toh, ini bukan tahun baru hura-hura layaknya 1 januari itu. Namun bagaimana kondisi di medsos berkaitan dengan 1440? Anda bisa melihat sendiri.

Saya, Anda, Kita ialah anak bangsa yang sedang tertatih menjalani masa sulit. Entah bagi "mereka" yang tertawa terbahak dengan mengatakan harga kopi masih sama serta mengatakan melemahnya rupiah tak ada apanya. Di sisi lain, kita juga disuguhkan pemandangan susahnya gawai lokal akan meluncurkan tipe barunya dikarenakan salah satu komponennya impor sehingga memasang harga saja perlu berpikir keras meski baru saja tadi gawai bertipe baru dari negeri tembok Cina di flash sale kan dengan harga murah. Miris tentunya. Belum berbicara produk lainnya. Pemandangan semua disuguhkan pada kacaunya manusia di segala urusan. Penyimpulannya pada isu politik yang kian pedas dan tak ramah lagi. Revolusi Mental yang pernah menjadi esai tulisan Pemimpin tertinggi negeri ini hilang entah kemana. Terbukti dengan banyaknya KKN hingga persoalan impor produk pangan yang mana produk lokal masih mencukupi.

Peliknya semua ini perlu kita sadari betul bahwa acapkali kita mengabaikan sebuah relung terdalam dari pembentuk negeri ini. Alih-alih terus berkerja memperbaiki dan menambal sulam sana sini namun masih abai pada aspek paling fundamentalnya. Tentu dengan tidak mengabaikan peran di segala bidang.

Ia ialah sebongkah hati dalam diri individu-individu pembentuk masyarakat dan negara.

Dalam setiap tokoh besar, mulai dari ulama hingga pakar pendidikan, mulai dari Hasan al-Banna hingga al-Attas, mulai dari Nursi hingga Natsir. Semua menyatakan didikan yang baik dari sebuah individu inilah yang akan membawa perubahan besar.

Hati selalu menjadi jantungnya manusia yang mengarahkan pada suatu perbuatan. Semua permasalahan juga bermula dari sini. Mulai percekcokan antara suami isteri sampai perpolitikan dalam perebutan kekuasaan. Semua tertancap erat dalam kuasa bersih kotor nya hati.

Tahun 1440 Hijriah bukanlah tahun untuk memulai perbaikan. Namun mengingatkan kita, setidaknya batas usia kerja kita akan segera berakhir. Meski esok hari kita tidak tau taqdirnya. Artinya perubahan dalam diri diharuskan saat ini pula, bukan menunggu esok dan esoknya lagi. Tahun 1440 hanyalah sejenak lecutan untuk mengingatkan kita. Bahwa September ini bukanlah derai hujan kesedihan untuk meratapi masalah yang terus menjangkiti negeri ini. Namun untuk segera berbenah hati dan kemudian bangkit dengan optimisme serta arah baru untuk membangun kebaikan-kebaikan.

Di negeri ini tak kurang orang baik. Lalu? Dari berjuta orang itu tidak adakah yang layak untuk memimpin? Anda bisa merenunginya.

Angka 1440 akan terdzalimi ketika bumi makin menua namun penduduknya makin tak merawatnya. Mari tunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta melalui prosesi merawat negeri dengan menyiraminya melalui harumnya keringat dan darah sekalipun.

1440, semoga menjadi titik balik refleksi dari keangkuhan dan kebiadaban menjadi insan yang beradab. []

Selasa, 14 Agustus 2018

OSPEK & Masa Depan Peradaban

Ospek & Masa Depan Peradaban
Oleh Viki Adi N



Kalau kemarin saya ingat tentang Sabili yang jatuh dan hilang. Kini, saya teringat Ospek. Tentu banyaknya postingan di beranda, entah facebook, whatsapp, atau instagram membuat memori itu hidup.

Ospek atau entah bernama apa, dimana tiap kampus punya sebutan yang berbeda merupakan bagian dari pengenalan kampus kepada mahasiswanya. Dari segala tetek bengeknya hingga seharusnya "peran sebagai mahasiswa". Namun yang kedua ini biasanya hanya datang dari formalitas jargon tri dharma perguruan tinggi saja.

Tentu saya juga tidak akan menguliti perbedaan yang mencolok itu di setiap ospek dari mulai tingkat sepele sampai bekaitan dengan "ideologi". Toh pusarannya akan kita lihat menuju ke tengah. Hanya sedikit yang masih mempertahankan ideologi dan idealismenya di tengah percaturan yang semakin rumit ini. Ini berlaku di semua hal. Kecuali konsep Aqidah yang sudah tidak bisa ditawar. Itu bedanya!
Peradaban selalu dimulai dari unsur terkecil yang mempengaruhinya. Individu selalu menjadi kajian menarik, karena ialah yang menjadikan peradaban itu eksis.

Bicara Kampus, tentunya ini lah yang menjadi tingkat pendidikan tertinggi. Dimana harapan munculnya orang-orang hebat untuk mensejahterakan bangsa hadir. Meski faktanya, hanya dihasilkan para pekerja sesuai kebutuhan bidang garapan saja. Liberalisme muncul, bahkan jurusan dan fakultas bisa saja menyesuaikan lapangan pekerjaan.
Untung saja, di kampus Anda belum muncul jurusan youtubers atau sejenisnya.
Saya jadi teringat konsep al-Attas yang mengkonsepkan bahwa Universitas sebenarnya adalah ceminan dari diri manusia. Artinya dengan konsep Universitas versi Barat ini sangat tepat jika hasilnya menjadikan individu yang "sekuler".

Dari tujuan saja sudah salah. Gagasan al-Attas lebih bertitik bahwa tujuan pendidikan bukan sekedar menghasilkan warga negara yang baik tapi sebagai individu yang baik. Tepat sekali Hasan al-Banna juga merumuskan ini dalam tahapan dakwahnya. Atau barangkali konsep ta'dib yang dibawa al-Ghazali dalam kecamuk perang Salib dimana perbaikan individu (baca: internal umat) lebih tepat menjadi obat mujarab dibanding hanya menyalahkan keadaan dari luar.

Setidaknya itu juga yang membuat Iqbal berpikir dan terus berkeinginan mewujudkan pembaruan dalam pemikiran Islam konemporer dimana Barat sebagai ideologi telah merambah dalam kancah yang tidak semestinya.

Inilah yang oleh al-Attas disebut permasalahan terbesar umat hari ini. Ialah kerancuan Ilmu pengetahuan. Ditambah dengan hilangnya adab (lost of adab), maka dari sini akan dihasilkan individu-individu yang rusak. Serta dari individu ini akan dihasilkan para pemimpin yang palsu.
Permasalahan ini pelik. Karena bukan saja dihadapkan pada penggantian sistem luaran tapi juga sudah terkaburnya konsep ilmu yang benar. Sehingga butuh penjelasan khusus dan kerja besar untuk mengimplementasikannya.
Dari sinilah metodologi epistemologi muncul. Berusaha membenahi kesalahan metode klaim (mengklaim kebenaran sains dengan ayat Al Quran dan hadist), metode integrasi yang dibawa Ismail Raji al Faruqi, metode sains sakral oleh Seyyed Hossen Nasr maupun metode lawas yang dibawa Prof Abdus Salam sebagai peraih Nobel Fisika pertama.

Begitulah dengung Islamisasi masa kini. Butuh orang radikal yang mampu dan berani mengkonsepkan. Serta butuh pemangku kebijakan yang arif untuk menyokong. Khususnya konsep dan realisasi Universitas yang berkaca pada diri manusia yang benar sesuai konsep Islam.

Dan bicara Islam ia tak sekedar bicara jenggot, tapi berbicara peradaban.

Selamat bereuforia di Ospek!