Akankah kita tertunduk dan layu?
Oleh Viki Adi Nugroho
(Penulis Buku Recharge Semangat
Dakwah, Ketua PK KAMMI UNY)
“Tetaplah di
posisi kalian dan jagalah sebelah belakang kami. Jika kalian melihat kami
menang, jangan pernah turun dan mengikuti kami. Jika kalian melihat kami kalah
dan terbunuh, jangan menolong kami,” salah satu pesan Nabi SAW pada 50 pemanah
di perang Uhud. Sebuah pesan yang fenomenal dalam rentang sejarah Islam. Perang
yang cukup berat dimana sahabat-sahabat terbaik berguguran demi melindungi
Rasulullah SAW. Kesabaran menjadi ujian di balik kemenangan yang mulai merekah
di episode awal.
Anggap saja
Anda sedang melakukan trading – sebuah istilah yang digunakan orang dalam
memprediksi nilai mata uang – dalam rentang waktu satu hingga dua menit. Anda
mendapat prediksi yang benar dan jumlah uang naik. Terus itu berjalan sehingga
emosi yang hadir, kegembiraan yang datang melonjak membuat Anda terus melakukan
trading. Namun sayang, emosi tidak bisa dikendalikan. Kesabaran dan anggapan
“besok masih ada hari”, tertutup oleh awan keinginan mendapatkan banyak uang.
Libaslah tetiba itu, uang habis atas
ketidaksabaran, kerugian melanda, stres menjadi. Terlepas dari kontroversi
bisnis ini baik ditinjau dari sisi manapun. Kita akan dibawa pada penuaian
hikmah besar. Kiranya perang Uhud menjadi nilai penting dalam sejarah umat
Islam. Alloh menguji kesabaran, mampukah ia tidak tunduk pada emosi? Pada nafsu
memburu?
Pasukan
memanah turun, kecuali Abdullah bin Jubayr dan sepuluh orang lainnya masih
tetap teguh di posisinya karena mengingat pesan Rasulullah SAW. Khalid yang
kita ketahui waktu itu masih musyrik segera membalikkan keadaan, kaum muslimin
yang sudah memukul kaum musyrik dan berpesta memenggal leher, tetiba dikejutkan
dengan serangan pasukan berkuda Khalid dari arah yang tiada disangka. Pasukan
pemanah di bukit Uhud pun terbantai. Keadaan berbalik. Kemenangan sesaat
tergantikan oleh keganasan dan kebiadaban. Hamzah tak pelak menjadi korban,
juga duta Islam pertama Mush’ab bin ‘Umayr, serta beberapa sahabat terbaik
lainnya. Bahkan hingga Rasulullah terperosok dan banyak sahabat yang
disampingnya rela berkorban demi selamatnya junjungan Alloh SWT. Desas-desus
terbunuhnya Rasulullah sempat tersebar sehingga menyiutkan nyali kaum muslimin
hingga akhirnya Rasulullah berteriak untuk menyemangati kembali pasukan. Perang
ini berakhir dengan kemenangan sementara kaum musyrik, disebabkan putus asanya
mereka dari tujuan membunuh Rasulullah SAW.
Di saat sakit
menyayat, luka yang masih menoreh, baik luka fisik sampai luka batin. Lantas
tidak menyurutkan semangat pada diri Rasulullah SAW. Meninggalkan Uhud Sabtu
petang,malam hari beristirahat di Madinah. Usai sholat Subuh di hari Minggu,
Rasulullah SAW memerintah Bilal untuk memanggil para sahabat dan
dperintahkannya untuk berlari dan bergegas kembali dalam sebuah ekspedisi
perang mengejar musuh. Tiada yang boleh ikut selain yang ikut dalam perang
Uhud. Hingga sampailah pada daerah Hamra’ al-Assad. Hingga dikenallah peristiwa
ini dengan perang Hamra’ al-Asad.
Pada Malam
harinya, pasukan ekspedisi ini meyalakan api unggun besar yang terlihat jelas
dari kejauhan. Tentu dengan tujuan agar kaum musyrik mengira bahwa pasukan
muslim kembali dengan jumlah yang sangat dan lebih banyak lagi untuk siap
bertempur. Ma’bad – yang waktu itu juga masih musyrik dari Khuza’ah – lewat dan
melihat pasukan muslim, ia tercengang. Lalu ia juga melewati pasukan musyrik
dan mendapati hal yang ganjil, dimana mereka tengah bersenang-senang karena
kemenangannya di Uhud bahkan berencana ke Madinah untuk menghabisi kaum muslimin.
Ya! Anda bisa menebak tentunya. Rencana itu gagal. Waktu itu, Abu Sufyan
menangyakan perihal kaum muslimin pada Ma’bad. Lalu apa yang dikatakannya?
“Celakalah kalian! Muhammad dan para pengikutnya keluar mengejar kalian dalam
jumlah yang sangat besar. “Tak pernah aku melihat pasukan sebanyak dan sebesar
itu. Mereka bergerak dengan persenjataan dan perlengkapan lengkap. Aku pun tak
pernah melihat pasukan selengkap itu!”
Rasa takut
menyelimuti kaum musyrik, kegembiraan berubah menjadi ketakutan dan was-was.
Alloh memasukkan rasa takut pada hati mereka. Akhirnya merekapun kembali.
Rasulullah SAW
mengajarkan kepada kita sebuah epik yang indah. Pasca kekalahan bukan kemudian
meratapi, namun kembali bangkit untuk tidak tunduk dan layu. Di saat luka
menganga, Rasulullah SAW malah memerintahkan untuk kembali berlari. Hakikat
kemenangan hadir, eksistensi kekuatan umat tercipta kembali. Ruh keimanan dan
penyiapan materi menjadi kunci-kunci kebangkitan.
Kehidupan yang
serba tiada menjanjikan dalam era kini seharusnya bukan membuat kita tertunduk
dan layu. Peristiwa yang terus melanda negeri kita, juga tak seharusnya
menyiutkan nyali bagi kita untuk kemudian diam, karena diam tak selalu emas! Itulah
yang dilakukan oleh Rasul dan sahabatnya. Mereka tidak tunduk dan mengekor pada
“penguasa” Mekkah. Mereka tidak tunduk pada “penguasa” dunia yang hanya
sementara. Mereka percaya bahwa Alloh SWT akan menolong mereka sesuai janji
Rasul-Nya.
Halangan dan
ujian yang besar, apalagi di era kini. Kudu menjadikan kita lebih kreatif dalam
mengemas dan “menyajikan” dakwah. Kalaulah Mansur, pimpinan Muhammadiyah di era
Orde lama mengingatkan Soekarno bahwa pemimpin yang dia sudah tidak menerima
masukkan dan saran lalu ia marah, maka sejatinya ia bukanlah pemimpin yang
sedang didambakan bahkan akan menjadi hal yang berbahaya, apalagi jika yang
mengingatkan ialah para ulama.
Semoga diri
kita yang sejatinya ialah pemimpin mampu mengambil mutiara hikmah ini. []