Sore
itu, suasana sangat berbeda. Awan terasa mendung, angin-angin terasa murung
menebarkan sebongkah daun-daun yang berguguran. Jalanan terasa sepi. Sungguh mereka
semua tahu dan mengerti akan perasaan Sunaryo. Seorang Bapak yang menjajakan
dagangan es dawet nya, yang biasa dipanggil Pak Yo.
“Teh
Hangat, Mas” suara lirih dan raut muka yang lelah sangat tergambar pada raut
mukanya. Sebuah harga teh di burjo yang jika dihitung memang lebih murah dari
es dawetnya, namun sepertinya ia masih berfikir apakah pengeluarannya ini lebih
kecil dari pendapatannya.
Seorang
AA Burjo, sebuah istilah panggilan bagi pedagang bubur kacang ijo yang menjelma
menguasai pasaran warung makan dengan grand design warung mie 24 jam
mengambilkan teh itu. Ditiupnya lirih teh hangat itu oleh Pak Yo, segera tak
tersisa. Sebuah majas yang jelas mengindikasikan akan rasa haus dan lapar dengan
mempertimbangkan isi kantong.
Aku
terpana, disisi warung itu, namun aku belum lah peduli. Aku masih mengira bahwa
itu hanyalah peristirahatan sejenak dari kelilingnya dia berjualan. Namun jelas
sekali, sejelas bercak hitam pada kertas putih. Gemilang dan tatapan matanya
sungguh benar mengisyaratkan akan hal itu. Lelah bahkan hampir putus asa. Aku tetap
saja melanjutkan makan di warung itu juga.
Pak
Yo langsung meninggalkan Burjo. Namun lagi-lagi ia merenung, duduk seperti
Valentino Rossi yang mencium motornya sebelum balapan. Sejenak lama. Mungkin terlintas
banyak fikiran yang terlintas dalam hidupnya.
Anak-anak
banyak yang berlalu lalang. Menjajakan gelak tawa yang memicu perhatian orang
disekitar. Pembalap moto GP sepertinya menjadi ajang cita-cita mereka. “ting...ting..ting...”
kembali terpancar suara itu. Sepertinya Pak Yo mengharap anak-anak yang lewat
untuk segera menemuinya dan membeli dagangannya. Lama menunggu, sepertinya
burung-burungpun sudah bosan melihat Pak Yo berdiri menunggu anak-anak yang
lewat lalu lalang hingga ia berterbangan berhamburan bagai harapan Pak Yo yang
kian sirna.
Diapun
melanjutkan dagangnya. Hingga bertemu sebelum pertigaan. Pertigaan yang
sepertinya akan menjadi ladang subur akad harapan Pak Yo, karena
persimpangan-persimpangan seperti ini biasanya akan banyak orang lalu lalang
dan menjadi titik pertemuan tiga arus, bahkan dalam aturan perkalian bisa masuk
9 arus.
Aku
mengayuh sepeda menuju pertigaan. Karena itu memang jalan satu-satunya untuk
menuju tempat kos untuk mengambil berbagai peralatan dan kembali lagi melalui
jalan itu menuju kampus.
Putaran
sepeda mulai berat, semakin berat, emosi perasaan tidak bisa tertahan, semakin
berat pula kaki ini untuk mengayuh, seberat perasaan Pak Yo yang ternyata ia
kembali duduk dibawah tiang listrik di pertigaan itu. Sepertinya Pak Yo dianggap
gaib atau tidak kelihatan. Orang ramai lalu lalang, banyak orang berdagang
dengan kisruh tawar-menawar, namun lagi-lagi Pak Yo hanya bisa diam sambil
melihat aset dagangannya. Mengharap kebekuan es yang terus menerus hingga bisa
cair menunggu sang pembeli.
Namun
diantara rasa pedih, lelah, dan mungkin putus asa itu. Sepertinya persimpangan
jalan itu mengajarkan bahwa pilihannya apakah untuk terus melanjutkan, apakah untuk
terus berhenti. Ya, persimpangan jalan itu mengajarkan untuk berbenah, bahwa
itu bukanlah suatu hal yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar