Selasa, 29 Desember 2015

Mosaik 1 - Asa di Secarik Perih

Ting..ting..ting...
Sore itu, suasana sangat berbeda. Awan terasa mendung, angin-angin terasa murung menebarkan sebongkah daun-daun yang berguguran. Jalanan terasa sepi. Sungguh mereka semua tahu dan mengerti akan perasaan Sunaryo. Seorang Bapak yang menjajakan dagangan es dawet nya, yang biasa dipanggil Pak Yo.

“Teh Hangat, Mas” suara lirih dan raut muka yang lelah sangat tergambar pada raut mukanya. Sebuah harga teh di burjo yang jika dihitung memang lebih murah dari es dawetnya, namun sepertinya ia masih berfikir apakah pengeluarannya ini lebih kecil dari pendapatannya.

Seorang AA Burjo, sebuah istilah panggilan bagi pedagang bubur kacang ijo yang menjelma menguasai pasaran warung makan dengan grand design warung mie 24 jam mengambilkan teh itu. Ditiupnya lirih teh hangat itu oleh Pak Yo, segera tak tersisa. Sebuah majas yang jelas mengindikasikan akan rasa haus dan lapar dengan mempertimbangkan isi kantong.

Aku terpana, disisi warung itu, namun aku belum lah peduli. Aku masih mengira bahwa itu hanyalah peristirahatan sejenak dari kelilingnya dia berjualan. Namun jelas sekali, sejelas bercak hitam pada kertas putih. Gemilang dan tatapan matanya sungguh benar mengisyaratkan akan hal itu. Lelah bahkan hampir putus asa. Aku tetap saja melanjutkan makan di warung itu juga.

Pak Yo langsung meninggalkan Burjo. Namun lagi-lagi ia merenung, duduk seperti Valentino Rossi yang mencium motornya sebelum balapan. Sejenak lama. Mungkin terlintas banyak fikiran yang terlintas dalam hidupnya.

Anak-anak banyak yang berlalu lalang. Menjajakan gelak tawa yang memicu perhatian orang disekitar. Pembalap moto GP sepertinya menjadi ajang cita-cita mereka. “ting...ting..ting...” kembali terpancar suara itu. Sepertinya Pak Yo mengharap anak-anak yang lewat untuk segera menemuinya dan membeli dagangannya. Lama menunggu, sepertinya burung-burungpun sudah bosan melihat Pak Yo berdiri menunggu anak-anak yang lewat lalu lalang hingga ia berterbangan berhamburan bagai harapan Pak Yo yang kian sirna.

Diapun melanjutkan dagangnya. Hingga bertemu sebelum pertigaan. Pertigaan yang sepertinya akan menjadi ladang subur akad harapan Pak Yo, karena persimpangan-persimpangan seperti ini biasanya akan banyak orang lalu lalang dan menjadi titik pertemuan tiga arus, bahkan dalam aturan perkalian bisa masuk 9 arus.

Aku mengayuh sepeda menuju pertigaan. Karena itu memang jalan satu-satunya untuk menuju tempat kos untuk mengambil berbagai peralatan dan kembali lagi melalui jalan itu menuju kampus.

Putaran sepeda mulai berat, semakin berat, emosi perasaan tidak bisa tertahan, semakin berat pula kaki ini untuk mengayuh, seberat perasaan Pak Yo yang ternyata ia kembali duduk dibawah tiang listrik di pertigaan itu. Sepertinya Pak Yo dianggap gaib atau tidak kelihatan. Orang ramai lalu lalang, banyak orang berdagang dengan kisruh tawar-menawar, namun lagi-lagi Pak Yo hanya bisa diam sambil melihat aset dagangannya. Mengharap kebekuan es yang terus menerus hingga bisa cair menunggu sang pembeli.

Namun diantara rasa pedih, lelah, dan mungkin putus asa itu. Sepertinya persimpangan jalan itu mengajarkan bahwa pilihannya apakah untuk terus melanjutkan, apakah untuk terus berhenti. Ya, persimpangan jalan itu mengajarkan untuk berbenah, bahwa itu bukanlah suatu hal yang tepat.

Kau benar, masih ada asa di secarik perih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar