Selasa, 14 Agustus 2018

OSPEK & Masa Depan Peradaban

Ospek & Masa Depan Peradaban
Oleh Viki Adi N



Kalau kemarin saya ingat tentang Sabili yang jatuh dan hilang. Kini, saya teringat Ospek. Tentu banyaknya postingan di beranda, entah facebook, whatsapp, atau instagram membuat memori itu hidup.

Ospek atau entah bernama apa, dimana tiap kampus punya sebutan yang berbeda merupakan bagian dari pengenalan kampus kepada mahasiswanya. Dari segala tetek bengeknya hingga seharusnya "peran sebagai mahasiswa". Namun yang kedua ini biasanya hanya datang dari formalitas jargon tri dharma perguruan tinggi saja.

Tentu saya juga tidak akan menguliti perbedaan yang mencolok itu di setiap ospek dari mulai tingkat sepele sampai bekaitan dengan "ideologi". Toh pusarannya akan kita lihat menuju ke tengah. Hanya sedikit yang masih mempertahankan ideologi dan idealismenya di tengah percaturan yang semakin rumit ini. Ini berlaku di semua hal. Kecuali konsep Aqidah yang sudah tidak bisa ditawar. Itu bedanya!
Peradaban selalu dimulai dari unsur terkecil yang mempengaruhinya. Individu selalu menjadi kajian menarik, karena ialah yang menjadikan peradaban itu eksis.

Bicara Kampus, tentunya ini lah yang menjadi tingkat pendidikan tertinggi. Dimana harapan munculnya orang-orang hebat untuk mensejahterakan bangsa hadir. Meski faktanya, hanya dihasilkan para pekerja sesuai kebutuhan bidang garapan saja. Liberalisme muncul, bahkan jurusan dan fakultas bisa saja menyesuaikan lapangan pekerjaan.
Untung saja, di kampus Anda belum muncul jurusan youtubers atau sejenisnya.
Saya jadi teringat konsep al-Attas yang mengkonsepkan bahwa Universitas sebenarnya adalah ceminan dari diri manusia. Artinya dengan konsep Universitas versi Barat ini sangat tepat jika hasilnya menjadikan individu yang "sekuler".

Dari tujuan saja sudah salah. Gagasan al-Attas lebih bertitik bahwa tujuan pendidikan bukan sekedar menghasilkan warga negara yang baik tapi sebagai individu yang baik. Tepat sekali Hasan al-Banna juga merumuskan ini dalam tahapan dakwahnya. Atau barangkali konsep ta'dib yang dibawa al-Ghazali dalam kecamuk perang Salib dimana perbaikan individu (baca: internal umat) lebih tepat menjadi obat mujarab dibanding hanya menyalahkan keadaan dari luar.

Setidaknya itu juga yang membuat Iqbal berpikir dan terus berkeinginan mewujudkan pembaruan dalam pemikiran Islam konemporer dimana Barat sebagai ideologi telah merambah dalam kancah yang tidak semestinya.

Inilah yang oleh al-Attas disebut permasalahan terbesar umat hari ini. Ialah kerancuan Ilmu pengetahuan. Ditambah dengan hilangnya adab (lost of adab), maka dari sini akan dihasilkan individu-individu yang rusak. Serta dari individu ini akan dihasilkan para pemimpin yang palsu.
Permasalahan ini pelik. Karena bukan saja dihadapkan pada penggantian sistem luaran tapi juga sudah terkaburnya konsep ilmu yang benar. Sehingga butuh penjelasan khusus dan kerja besar untuk mengimplementasikannya.
Dari sinilah metodologi epistemologi muncul. Berusaha membenahi kesalahan metode klaim (mengklaim kebenaran sains dengan ayat Al Quran dan hadist), metode integrasi yang dibawa Ismail Raji al Faruqi, metode sains sakral oleh Seyyed Hossen Nasr maupun metode lawas yang dibawa Prof Abdus Salam sebagai peraih Nobel Fisika pertama.

Begitulah dengung Islamisasi masa kini. Butuh orang radikal yang mampu dan berani mengkonsepkan. Serta butuh pemangku kebijakan yang arif untuk menyokong. Khususnya konsep dan realisasi Universitas yang berkaca pada diri manusia yang benar sesuai konsep Islam.

Dan bicara Islam ia tak sekedar bicara jenggot, tapi berbicara peradaban.

Selamat bereuforia di Ospek!

Jumat, 10 Agustus 2018

Elegi di Masa Esok

Elegi di masa esok

Seorang Ayah berprofesi pemulung, seperti dikutip dalam kumpulan kisah nyata di majalah sabili yang kemudian di buku kan. Ia kebingungan mencari sejengkal tanah untuk menguburkan anaknya, setelah ia bergulat melawan sakitnya.

Seorang Ayah yang ditinggal oleh isterinya, dengan mendorong gerobak sampah berkeliling kemana tanpa arah untu mengais rizki, satu bocah berlarian dan satu bocah bergulat dengan sakitnya di dalam gerobak bersama sampah-sampah.

Saya tak ingat persis judul bukunya. Tapi Sabili pernah menoreh kejayaannya. Hingga ia mati. Mati bersama kenangan.

Sabili menorehkan para aktivis untuk berkarya. Menuliskan tinta kebaikan melalui pena.

Begitu juga tarbawi. Kini tiada keliatan akarnya.

Masuk pusaran arus, bertarung dan kalah. Zaman terus berjalan. Barangkali seorang Ayah pemulung itu juga berjuang mengarungi hidup. Ia yakin bahwa ini hanya sementara.

Benar sekali, masyarakat yang tau akhirnya menguburkan dengan membiayai keseluruhan dari mulai tanah hingga kesemua yang berkaitan dengan jenazah si kecil.

Berharap lebih untuk menjadikan cawapres dari seorang ulama boleh saja, tapi kini apakah Anda kecewa?

Bukan itu persoalannya, ijtima ulama bersifat rekomendasi dalam pertarungan kali ini. Tapi setidaknya, umat akan tercerahkan. Meski di seberang juga ada salah satu dari ulama kita. Barangkali pesantren akan bergoyang memenuhi ruang dialektika perbedaan dan ditepuk tangani sang penonton.

Meski tidak sekeras kalau saja oposisi kini memenuhi permintaan ijtima ulama, artinya Anda bisa berandai bahwa Islamisasi sepenuhnya belum berjalan. Indikasi sederhana, masih ada anggapan pemisahan agama dan negara.

Namun dari sini kita juga belajar. Bahwa teori Gelombang Ketiga Anis Matta berlaku.

Itulah yang menyebabkan mengapa masyarakat mau ikut menguburkan sang putri mungil Ayah si pemulung.

Karena ia adalah kewajiban dalam agama.
Begitu pula dalam memilih pemimpin.

Ijtima ulama kita sudah mendukung dan memutuskan.

Mari sambut kemenangan. [ ]

Kamis, 09 Agustus 2018

Sederhana

Sederhana

Barangkali kata inilah yang menjadikan Abu Hamid al-Ghazali terpampang ke dalam jajaran tokoh sufi. Misykat menjadi salah satu karya fenomenalnya. Cintanya pada kehebatan lenyap pada putaran ia ber-intishab.

Adapun umat, sedang bertukar. Perdebatan masalah-masalah sepele menjadi ajang saling mengklaim kebenaran. Para filsuf dan aliran kebatinan menjadi momok hebat dalam berbicara. Perpecahan antar pemimpin wilayah dan ketidaktundukan pada otoritas Khalifah terjadi. Sementara, Kaum Frank membawa ruh mengerikan hingga al-Aqsha jatuh kepada mereka.

Lagi-lagi elegi cinta al-Ghazali memanggilnya. Ia turut hadir dalam jengkal intishabnya. Memanggilnya kembali menyelesaikan ceruk internal umat.

Kepiawaian nya bergelut ke gelanggang semua pemikiran dan semua aspek kehidupan membuatnya ampuh menyelesaikan kemelut itu.

Ianya memandang masalah internal umat sebagai biang utama. Tidak serta merta dari kaum frank.

Syair-syairnya terus merasuk ke jantung hati umat. Menanamkan harapan akan pembaruan diri.

Nizam al Mulk membujuknya untuk kembali menjabat di sekolah bergengsi Nizamiyah. Ia sempat mengajar namun pergi lagi.

Ia dedikasikan hidupnya untuk mendidik dengan konsep pembaruan pendidikannya.

Ia ingin mendidik umat agar optimis. Kerusakan pemimpin terjadi karena individu-individu tidak disiapkan untuk siap mengemban amanah.

Barangkali keramaian perbincangan dan deklarasi Sang Presiden Indonesia di tahun 2018 ini untu maju di tahun 2019 menjadi contoh sederhana. Ketika seorang 'ulama ditarik ke dalam pusaran kekuasaan yang di tentang oleh majelis 'ulama yang lainnya.

Tentu, pasangan sebelah harus melihat komposisinya. Nasionalis religius. Barangkali ini titik segar jika ingin melawan. Ijtima ulama sebenarnya sudah turut menyumbang andil akan teropong ini.

Kalau al-Ghazali bangun dan bangkit, ia tentu akan keras dan lantang menyuarakan bahwa ulama bukan barang jualan. Bukan ulama' dunia. Mungkin sikap Ustad Abdul Somad juga memberi keteladanan.

Masih ada nama hebat seperti Habib Salim sebenarnya. Tapi jika ini terjadi maka PKS akan sangat bangga, dan mungkin kader-kadernya akan bekerja ekstra yang dikenal dengan militansi-militansinya.

Sejumpa itu, al-Ghazali tentu akan mengingatkan. Bahwa selain jangka pendek yang berkaitan dengan segala urusan politik dan ekonomi. Masih ada yang harus ditilik dan di cermati. Ya! Pendidikan untuk menyiapkan para cendekiawan muslim untuk berdakwah di berbagai lini kehidupan. [ ]

Selasa, 07 Agustus 2018

Hakikatnya Ia Terus Mencari

Hakikatnya ia terus mencari


Dalam alam luar, yang tiada terlihat belum tentu tiada. Namun ia terasa.

Dunia kembangkempis ditiupkan gelombang ini. Ia tiada tertunduk oleh apapun selain karenanya.

Kalau hakikat itu sudah tiba, tiada yang bisa menjauhkan. Kecuali atas kuasa-Nya. Ikhtiar manusia menjadi ruang-ruang sebab akibat serta doa yang menjadi penyerahan totalitasnya.

Cinta memberikan harapan. Ia tiada terlihat seperti alam fisik, namun gejalanya terasa.

Inilah yang membuat sepasang merpati menjadi simbol. Itulah mengapa barangkali yang membuat al-Adawiyah takluk di hadapan sujud-sujudnya atas cinta kepada-Nya yang begitu kuat.

Inilah elan yang membuat Rasul Agung kita memanggil umatnya tatkala ia harus meninggalkan dunia ini. [ ]