#KisahPagi
Sejenak membaca Pemikiran Syed Naquib al-Attas
Pesan bagi kita yang mau belajar, jadi jangan baca tulisan ini
Oleh Viki Adi N
Bagi para pegiat pendidikan, pemikiran,
ataupun peradaban Islam, tidaklah asing sosok ini. Merupakan seorang pendiri
ISTAC di Malaysia, sebuah universitas akan wujud gagasannya. Dimana hari ini
hanya tinggal nama karena kejahilan manusia dengan segenap kepentingan di
belakangnya. Padahal nama-nama ulama dan intelektual muslim banyak lahir dari
sana termasuk para alumninya yang menyebar di negeri ini seperti Adian Husaini
dan Hamid Fahmi Zarkasy serta masih banyak lainnya. Beliau satu-satunya orang
Islam di zaman modern yang ditempatkan sebagai pemikir/filsuf yang masuk dalam
kumpulan para filsuf dan bertengger bersama nama-nama pemikir besar Eropa,
padahal gagasan-gagasannya sangat keras dalam mengkritik peradaban Barat.
Penelitian tentang pemikiran Beliau sudah
sangatlah banyak. Saya disini hanya merenung sejenak, bukan skripsi, karena
saya tidak mengerjakan skripsi, apalagi tesis atau disertasi, S1 saja belum
lulus.
Pernyataan Beliau bahwa kata ‘tarbiyah’
tidak relevan dengan konsep pendidikan Islam turut menuai warna dan mencoba
menggantinya dengan ‘ta’dib’. Tentu dengan alasan yang sangat mendalam dengan
melihat makna dibaliknya. Islamisasi bahasa tentunya. Pun dengan konsep
universitas yang ditawarkan, menjadi sebuah tamparan keras bagi umat ini,
apalagi kita yang masih hidup dalam rentetan kepulauan Melayu yang jelas-jelas
jejak Islam terukir besar disini namun kian lama kian hilang.
Dalam salah satu karya monumentalnya, Islam and Secularisme, beliau
menerangkan bahwa masalah besar dari umat ini ialah ‘hilangnya adab’. Adab
disini bukanlah dalam artian seperti yang kita maknai sempit hari ini semisal
sopan santun atau sejenisnya. Namun adab disini lebih berkaitan pada keadilan.
Dimana adil merujuk pada menempatkan sesuatu pada tempatnya. Artinya tidak
dzalim. Beliau mengutarakan bahwa pada hari ini, umat tidak bisa lagi
menempatkan ilmu pada tempatnya. Tentu dari banyak segi, mulai dari esensi atau
hakikatnya hingga masalah klasifikasinya. Seolah-olah ilmu hanya tergantikan
dan terreduksi oleh sains sesuai pandangan alam (worldview) Barat.
Dari sini saja, sudah ada ketimpangan
definisi dari ilmu itu sendiri. Ilmu tentu berbicara hal yang sangat luas baik
yang nampak maupun tidak nampak. Namun Barat memandang bahwa sains lah yang
menjadi acuan mereka dengan paham realisme dan empirisisme-nya. Artinya mereka
tidak mengakui hal diluar akal. Bahasa kita ialah perkara ghoib.
Yang berimbas bahwa sains yang dibawa ialah tidak menganggap hadirnya Tuhan
dibalik semua yang ada.
Dalam pengklasifikasian, Imam al-Ghazali
telah memberikan definisi yang tepat dimana ada ilmu fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah. Umat, lanjut Beliau juga masih belum bisa menempatkan ini sesuai
koridornya, lagi-lagi pandangan alam Barat yang dijadikan tumpuan. Hari ini
banyak yang mengejar jurusan spesialisasi hingga S3 bahkan profesor, namun di
balik semua itu yang menjadi fardhu ‘ain
terabaikan. Meski dalam hal ini kita akan perlu tahu bahwa yang kifayah bisa saja naik status menjadi ‘ain bagi orang-orang tertentu. Seperti di
suatu wilayah tidak ada dokter, maka menuntut ilmu untuk menjadi dokter menjadi
wajib di masyarakat itu meski cukup sesuai kebutuhan, artinya tidak semua harus
jadi dokter. Berebeda dengan ilmu fardhu kifayah, semisal aqidah, atau ilmu tentang
tata cara sholat, apakah dia akan bisa sholat kalau dia tidak tau tata caranya?
Ini ibarat sederhana saja.
Penempatan ini bukan saja dzalim dari
individunya, tapi telah terstruktur masuk ke dalam semua ranah aspek kehidupan
termasuk pendidikan. Ya! Sekarang Anda kuliah di universitas, apakah ilmu fardhu ‘ain menjadi ilmu yang diajarkan
sebagai dasar jurusan yang Anda geluti? Inilah tawaran yang menurut saya dalam
diagram konsep pendidikan Beliau sangat apik, memadukan konsep asli dalam Islam
dengan konsep modern hari ini. Persis seperti konsep Baitul Hikmah ketika
Baghdad berjaya menjadi mercusuar peradaban dunia.
Implikasinya, tentu keinginan membuat
universitas yang sesuai konsep ini butuh pengorbanan yang banyak, baik dari
harta maupun dari segi ‘kepentingan’. Karena ISTAC saja dibumihanguskan di
negerinya sendiri.
Lagi-lagi memang, perbaikan individu
selalu jadi yang utama sebelum memperbaiki tingkat diatasnya. Karena pendidikan
yang baik ialah mendidik manusia jadi baik, bukan sekedar warga negara yang
baik, begitu papar Beliau.
Ini sejenak renungan pagi ini. Sedikit
dan hanya membuat Anda gatal mungkin.
Namun tetiba saya terpikirkan oleh konsep
pendidikan yang ditawarkan oleh Ikhwanul Muslimin dalam blue printnya dimana usrah/liqa menjadi tsawabit dalam jamaah
dimana kita akui bahwa inilah gerakan dakwah terbesar di dunia hingga saat ini.
Bukan pada format atau sebagainya. Tapi saya mencoba melihat pada tata ‘adab’
nya. Dimana tsawabit lainnya ialah
berkaitan dengan Risalah ta’alim, ushul
‘isyrin dan risalah ‘aqaid
sebagai dasar dan referensi ajaran, terkhusus dalam arkanul baiah dalam risalah
ta’alimnya. Ini bukan otak-atik gatot.
Mari dengan lapang dan jujur – tidak
skeptis tentunya – kita melihat bahwa rukun ini sebenarnya diserukan bukan pada
orang yang biasa saja, tapi memang orang yang mau dan siap menjadi mujahid yang
akan membela agamanya. Sehingga seruannya jelas pada tatanan tertentu, bukan
pada orang umum. Selanjutnya, adab lainnya ialah terkait urutan rukun yang
sejatinya, namanya saja rukun, tentu tidak boleh dibolak-balik. Seolah hari ini
tsiqoh menjadi rukun pertama, namun al-fahmu entah dimana. Penempatan ini
tentunya rumit, karena akan berefek pada sejauh mana pemahamannya dan orang
yang mau memahamkannya. Tamparan bagi aktivis dakwah yang memanggul manhaj ini,
sudahkan kepahaman ini ditanamkan pada binaannya?
Lagi-lagi adab mengingatkan kita untuk
menempatkan pada posisinya. “Nduk, organisasi kita sedang oprek pengurus,
bagaimana kalau kamu membantu di bagian ini ya?” kata salah seorang pengurus
inti, lalu dijawab oleh kadernya, “nembung itu ada etikanya, tolong sesuai
jalur”. Dalam konteks organisasi, menjadi seorang staf misalnya, padahal ini
organisasi umum, tentu para Murobbi/naqib hanya memberikan saran dan nasehat,
keputusan akhir tetap ada di si ‘anak’. Karena itu ialah berkaitan dengan
haknya sebagai kader. Ini jelas sebuah kekeliruan dalam adab terkhusus
kebalik-baliknya rukun baiah ini. Mungkin
ia belum bisa “profesional” dalam menempatkan posisinya sebagai “anggota
jamaah” dan sebagai “kader lembaga umum”. Semoga saja ini bukan doktrin dari
proses pendidikan kita, namun keluar dari kepahaman dan disebalik dirinya. Mungkin
kalau orang tua bilang, “Nak, segera pulang ya, Ibu lagi sakit”, tiba-tiba anak
menjawab, “Wah saya sedang ada agenda dakwah Bu, maaf yaa, ini lebih penting”.
Bagaimana menurut kalian? Benarkah konsep adab atau penempatan ini berlangsung?
Apakah ia dzalim?
Semoga pagi ini cerah dan mampu
memberikan semangat jiwa. Tentu bagi antum sekalian yang terus berjuang meski
ditentang banyak orang yang dengki dan iri. #SemangatPagi!
Beberapa referensi buku Prof. Dr. Syed M.
Naquib al-Attas:
- Risalah untuk Kaum Muslimin
- Islam dan Sekularisme
- Islam dan Filsafat Sains
- Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu rangka pikir pembinaan filsafat pendidikan Islam
- Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu
- Risalah untuk Kaum Muslimin
- Islam dan Sekularisme
- Islam dan Filsafat Sains
- Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu rangka pikir pembinaan filsafat pendidikan Islam
- Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu