Kamis, 05 April 2018

Sejenak membaca Pemikiran Syed Naquib al-Attas


#KisahPagi
Sejenak membaca Pemikiran Syed Naquib al-Attas
Pesan bagi kita yang mau belajar, jadi jangan baca tulisan ini

Oleh Viki Adi N



Bagi para pegiat pendidikan, pemikiran, ataupun peradaban Islam, tidaklah asing sosok ini. Merupakan seorang pendiri ISTAC di Malaysia, sebuah universitas akan wujud gagasannya. Dimana hari ini hanya tinggal nama karena kejahilan manusia dengan segenap kepentingan di belakangnya. Padahal nama-nama ulama dan intelektual muslim banyak lahir dari sana termasuk para alumninya yang menyebar di negeri ini seperti Adian Husaini dan Hamid Fahmi Zarkasy serta masih banyak lainnya. Beliau satu-satunya orang Islam di zaman modern yang ditempatkan sebagai pemikir/filsuf yang masuk dalam kumpulan para filsuf dan bertengger bersama nama-nama pemikir besar Eropa, padahal gagasan-gagasannya sangat keras dalam mengkritik peradaban Barat.

Penelitian tentang pemikiran Beliau sudah sangatlah banyak. Saya disini hanya merenung sejenak, bukan skripsi, karena saya tidak mengerjakan skripsi, apalagi tesis atau disertasi, S1 saja belum lulus.

Pernyataan Beliau bahwa kata ‘tarbiyah’ tidak relevan dengan konsep pendidikan Islam turut menuai warna dan mencoba menggantinya dengan ‘ta’dib’. Tentu dengan alasan yang sangat mendalam dengan melihat makna dibaliknya. Islamisasi bahasa tentunya. Pun dengan konsep universitas yang ditawarkan, menjadi sebuah tamparan keras bagi umat ini, apalagi kita yang masih hidup dalam rentetan kepulauan Melayu yang jelas-jelas jejak Islam terukir besar disini namun kian lama kian hilang.

Dalam salah satu karya monumentalnya, Islam and Secularisme, beliau menerangkan bahwa masalah besar dari umat ini ialah ‘hilangnya adab’. Adab disini bukanlah dalam artian seperti yang kita maknai sempit hari ini semisal sopan santun atau sejenisnya. Namun adab disini lebih berkaitan pada keadilan. Dimana adil merujuk pada menempatkan sesuatu pada tempatnya. Artinya tidak dzalim. Beliau mengutarakan bahwa pada hari ini, umat tidak bisa lagi menempatkan ilmu pada tempatnya. Tentu dari banyak segi, mulai dari esensi atau hakikatnya hingga masalah klasifikasinya. Seolah-olah ilmu hanya tergantikan dan terreduksi oleh sains sesuai pandangan alam (worldview) Barat.

Dari sini saja, sudah ada ketimpangan definisi dari ilmu itu sendiri. Ilmu tentu berbicara hal yang sangat luas baik yang nampak maupun tidak nampak. Namun Barat memandang bahwa sains lah yang menjadi acuan mereka dengan paham realisme dan empirisisme-nya. Artinya mereka tidak mengakui hal diluar akal. Bahasa kita ialah perkara  ghoib. Yang berimbas bahwa sains yang dibawa ialah tidak menganggap hadirnya Tuhan dibalik semua yang ada.

Dalam pengklasifikasian, Imam al-Ghazali telah memberikan definisi yang tepat dimana ada ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Umat, lanjut Beliau juga masih belum bisa menempatkan ini sesuai koridornya, lagi-lagi pandangan alam Barat yang dijadikan tumpuan. Hari ini banyak yang mengejar jurusan spesialisasi hingga S3 bahkan profesor, namun di balik semua itu yang menjadi fardhu ‘ain terabaikan. Meski dalam hal ini kita akan perlu tahu bahwa yang kifayah bisa saja naik status menjadi ‘ain bagi orang-orang tertentu. Seperti di suatu wilayah tidak ada dokter, maka menuntut ilmu untuk menjadi dokter menjadi wajib di masyarakat itu meski cukup sesuai kebutuhan, artinya tidak semua harus jadi dokter. Berebeda dengan ilmu fardhu kifayah, semisal aqidah, atau ilmu tentang tata cara sholat, apakah dia akan bisa sholat kalau dia tidak tau tata caranya? Ini ibarat sederhana saja.

Penempatan ini bukan saja dzalim dari individunya, tapi telah terstruktur masuk ke dalam semua ranah aspek kehidupan termasuk pendidikan. Ya! Sekarang Anda kuliah di universitas, apakah ilmu fardhu ‘ain menjadi ilmu yang diajarkan sebagai dasar jurusan yang Anda geluti? Inilah tawaran yang menurut saya dalam diagram konsep pendidikan Beliau sangat apik, memadukan konsep asli dalam Islam dengan konsep modern hari ini. Persis seperti konsep Baitul Hikmah ketika Baghdad berjaya menjadi mercusuar peradaban dunia.

Implikasinya, tentu keinginan membuat universitas yang sesuai konsep ini butuh pengorbanan yang banyak, baik dari harta maupun dari segi ‘kepentingan’. Karena ISTAC saja dibumihanguskan di negerinya sendiri.

Lagi-lagi memang, perbaikan individu selalu jadi yang utama sebelum memperbaiki tingkat diatasnya. Karena pendidikan yang baik ialah mendidik manusia jadi baik, bukan sekedar warga negara yang baik, begitu papar Beliau.

Ini sejenak renungan pagi ini. Sedikit dan hanya membuat Anda gatal mungkin.


Namun tetiba saya terpikirkan oleh konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Ikhwanul Muslimin dalam blue printnya dimana usrah/liqa menjadi tsawabit dalam jamaah dimana kita akui bahwa inilah gerakan dakwah terbesar di dunia hingga saat ini. Bukan pada format atau sebagainya. Tapi saya mencoba melihat pada tata ‘adab’ nya. Dimana tsawabit lainnya ialah berkaitan dengan Risalah ta’alim, ushul ‘isyrin dan risalah ‘aqaid sebagai dasar dan referensi ajaran, terkhusus dalam arkanul baiah dalam risalah ta’alimnya. Ini bukan otak-atik gatot.
Mari dengan lapang dan jujur – tidak skeptis tentunya – kita melihat bahwa rukun ini sebenarnya diserukan bukan pada orang yang biasa saja, tapi memang orang yang mau dan siap menjadi mujahid yang akan membela agamanya. Sehingga seruannya jelas pada tatanan tertentu, bukan pada orang umum. Selanjutnya, adab lainnya ialah terkait urutan rukun yang sejatinya, namanya saja rukun, tentu tidak boleh dibolak-balik. Seolah hari ini tsiqoh menjadi rukun pertama, namun al-fahmu entah dimana. Penempatan ini tentunya rumit, karena akan berefek pada sejauh mana pemahamannya dan orang yang mau memahamkannya. Tamparan bagi aktivis dakwah yang memanggul manhaj ini, sudahkan kepahaman ini ditanamkan pada binaannya?

Lagi-lagi adab mengingatkan kita untuk menempatkan pada posisinya. “Nduk, organisasi kita sedang oprek pengurus, bagaimana kalau kamu membantu di bagian ini ya?” kata salah seorang pengurus inti, lalu dijawab oleh kadernya, “nembung itu ada etikanya, tolong sesuai jalur”. Dalam konteks organisasi, menjadi seorang staf misalnya, padahal ini organisasi umum, tentu para Murobbi/naqib hanya memberikan saran dan nasehat, keputusan akhir tetap ada di si ‘anak’. Karena itu ialah berkaitan dengan haknya sebagai kader. Ini jelas sebuah kekeliruan dalam adab terkhusus kebalik-baliknya rukun baiah ini. Mungkin ia belum bisa “profesional” dalam menempatkan posisinya sebagai “anggota jamaah” dan sebagai “kader lembaga umum”. Semoga saja ini bukan doktrin dari proses pendidikan kita, namun keluar dari kepahaman dan disebalik dirinya. Mungkin kalau orang tua bilang, “Nak, segera pulang ya, Ibu lagi sakit”, tiba-tiba anak menjawab, “Wah saya sedang ada agenda dakwah Bu, maaf yaa, ini lebih penting”. Bagaimana menurut kalian? Benarkah konsep adab atau penempatan ini berlangsung? Apakah ia dzalim?

Semoga pagi ini cerah dan mampu memberikan semangat jiwa. Tentu bagi antum sekalian yang terus berjuang meski ditentang banyak orang yang dengki dan iri. #SemangatPagi!

Beberapa referensi buku Prof. Dr. Syed M. Naquib al-Attas:
- Risalah untuk Kaum Muslimin
- Islam dan Sekularisme
Islam dan Filsafat Sains
- Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu rangka pikir pembinaan filsafat pendidikan Islam
- Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu