Sabtu, 27 Januari 2018

Nun Jauh diatas Mimpi

Nun Jauh diatas Mimpi

Oleh: Viki Adi Nugroho



Menghimpun sekutu. Pemimpin Yahudi dari Bani Nadhir menemui suku Quraysh. Tak usah ditebak. Kumandang perang ditabuh. Provokasi memerangi umat Islam bergemuruh. “Kepercayaan kalian (orang-orang Quraisy) jauh lebih baik dari pada agama Muhammad”. Sontak terjadilah kesepakatan. Begitupula suku Ghatafan, bani Fuzarah dan bani Murrah. Hingga total 10.000 pasukan siap menggempur Madinah.

Ketika kabar ini kemudian Rasulullah dengar, lantas pula, musyawarah digelar. Salman Al-Farisi menawarkan ala perang yang berbeda. Parit, sebut saja. Penggalian Parit yang melelahkan itu. Di musim Paceklik pula. Bukan menyurutkan. Semangat makin berkobar. Meski dari orang-orang munafik kian menampakkan keengganannya.

Berlangsulah penggalian. Suatu ketika, para sahabat menggali dan menemukan batu putih. Saking kerasnya, tak bisa dipecah. Salman pun tak mampu. Rasulullah ikut terlibat. Mulailah untuk memecah. “Bismillah”, ucap Rasul. Dihantamkan cangkul, dan pecahlah sepertiga beserta kilatan cahaya. “Allohuakbar, aku telah diberi kunci-kunci negeri Syam, demi Alloh sesungguhnya aku dapat melihat istananya yang merah dari tempatku ini”.

Hantaman kedua, “Bismillah”, kilatan keluar serta pecah kembali sepertiganya. “Allohuakbar, aku telah diberi kunci-kunci negeri Persia, demi Alloh, sungguh aku melihat istana Madain yang putih sekarang ini”. Menghantamkan ketiga kalinya, “Bismillah”, pecah dan keluar kilatan. “Allohuakbar, demi Alloh aku telah diberi kunci-kunci negeri Yaman, demi Alloh sungguh aku melihat saat ini Shan’a dari tempatku ini”.

Seolah khayalan, bahkan impian ini sangat jauh. Mekkah saja, sebagai ‘tetangga sebelah’ belum beriman. Di tengah panasnya gurun serta sedikitnya bahan makanan. Bahkan perut hanya berisi ganjalan-ganjalan batu. Janji manis datang bagaikan mimpi di tengah siang bolong. Bayangkan saja diri Anda sedang tidak punya uang dan keluarga sedang terbaring di rumah sakit, tiba-tiba ada pesan masuk, “Selamat Anda mendapatkan 10 juta, klik link berikut...”. Saya kira Anda tidak akan percaya hal seperti itu di era kini. Tapi tidak bagi para sahabat. Rasa optimis itu hadir lantaran sinar keimanan.

Kaum muslimin yang hanya berjumlah 3000 pasukan. Tiba-tiba berbinar. Ada kilatan kebahagiaan. Bukan sekedar khayalan. Namun keyakinan dan cita besar. Semua percaya, apa yang dikatakan Rasul adalah kebenaran.

Disini kita perlu memahami bahwa bicara keyakinan bukan sedang berbicara hal sepele. Keyakinan besar merupakan sebuah tahapan awal yang harus dibangun untuk mewujudkan cita besar dan visi besar. Begitulah Rasulullah mengajarkan umatnya. Berkeyakinan tajam dan kuat menghujam. Visioner, melihat ke depan, dengan jangkauan yang tiada batas. Keyakinan dibarengi cita besar. Sebuah penghikmahan dari sejarah Sang Teladan.

Inilah yang harus kita petik. Rasul kita mengajarkan optimisme. Hingga akhirnya, percikan kilatan mulai terealisir. Meski dalam sejarah, Rasulullah sendiri tidak mengalaminya. Artinya penaklukan-penaklukan itu terjadi setelah Rasulullah wafat. Persia tersentuh. Bahkan dari wilayahnya ada yang pernah dijadikan sebagai ibu kota. Yaman, tersentuh pula. Syam, yang mungkin hari ini kita ketahui sebagai Palestina, Lebanon, Yordania dan sekitarnya. Juga menjadi negeri yang Rasulullah janjikan, hingga era Utsmani dan pergiliran kekuasaan Alloh putarkan.

Mengertilah kita bahwa visi dan cita dakwah ini tidak serta merta selesai oleh satu generasi. Tidak serta merta selesai dalam ukuran usia individu, namun jauh menembus usia bangsa bahkan usia peradaban. Lalu pertanyaannya, dimanakah kita berada saat ini.

Perjalanan sekilas di atas mengajarkan kita untuk berjuang, dan terus berjuang. Keyakinan akan cita besar merupakan anak-anak karakter seorang Muslim Negarawan. Bahkan nun jauh diatas mimpi. []