Nun Jauh diatas
Mimpi
Oleh: Viki Adi Nugroho
Menghimpun sekutu.
Pemimpin Yahudi dari Bani Nadhir menemui suku Quraysh. Tak usah ditebak.
Kumandang perang ditabuh. Provokasi memerangi umat Islam bergemuruh.
“Kepercayaan kalian (orang-orang Quraisy) jauh lebih baik dari pada agama
Muhammad”. Sontak terjadilah kesepakatan. Begitupula suku Ghatafan, bani
Fuzarah dan bani Murrah. Hingga total 10.000 pasukan siap menggempur Madinah.
Ketika kabar ini
kemudian Rasulullah dengar, lantas pula, musyawarah digelar. Salman Al-Farisi
menawarkan ala perang yang berbeda. Parit, sebut saja. Penggalian Parit yang
melelahkan itu. Di musim Paceklik pula. Bukan menyurutkan. Semangat makin berkobar.
Meski dari orang-orang munafik kian menampakkan keengganannya.
Berlangsulah
penggalian. Suatu ketika, para sahabat menggali dan menemukan batu putih.
Saking kerasnya, tak bisa dipecah. Salman pun tak mampu. Rasulullah ikut
terlibat. Mulailah untuk memecah. “Bismillah”, ucap Rasul. Dihantamkan cangkul,
dan pecahlah sepertiga beserta kilatan cahaya. “Allohuakbar, aku telah diberi
kunci-kunci negeri Syam, demi Alloh sesungguhnya aku dapat melihat istananya
yang merah dari tempatku ini”.
Hantaman kedua,
“Bismillah”, kilatan keluar serta pecah kembali sepertiganya. “Allohuakbar, aku
telah diberi kunci-kunci negeri Persia, demi Alloh, sungguh aku melihat istana
Madain yang putih sekarang ini”. Menghantamkan ketiga kalinya, “Bismillah”,
pecah dan keluar kilatan. “Allohuakbar, demi Alloh aku telah diberi kunci-kunci
negeri Yaman, demi Alloh sungguh aku melihat saat ini Shan’a dari tempatku
ini”.
Seolah khayalan,
bahkan impian ini sangat jauh. Mekkah saja, sebagai ‘tetangga sebelah’ belum
beriman. Di tengah panasnya gurun serta sedikitnya bahan makanan. Bahkan perut
hanya berisi ganjalan-ganjalan batu. Janji manis datang bagaikan mimpi di
tengah siang bolong. Bayangkan saja diri Anda sedang tidak punya uang dan
keluarga sedang terbaring di rumah sakit, tiba-tiba ada pesan masuk, “Selamat
Anda mendapatkan 10 juta, klik link berikut...”. Saya kira Anda tidak akan
percaya hal seperti itu di era kini. Tapi tidak bagi para sahabat. Rasa optimis
itu hadir lantaran sinar keimanan.
Kaum muslimin yang
hanya berjumlah 3000 pasukan. Tiba-tiba berbinar. Ada kilatan kebahagiaan.
Bukan sekedar khayalan. Namun keyakinan dan cita besar. Semua percaya, apa yang
dikatakan Rasul adalah kebenaran.
Disini kita perlu
memahami bahwa bicara keyakinan bukan sedang berbicara hal sepele. Keyakinan
besar merupakan sebuah tahapan awal yang harus dibangun untuk mewujudkan cita
besar dan visi besar. Begitulah Rasulullah mengajarkan umatnya. Berkeyakinan
tajam dan kuat menghujam. Visioner, melihat ke depan, dengan jangkauan yang
tiada batas. Keyakinan dibarengi cita besar. Sebuah penghikmahan dari sejarah
Sang Teladan.
Inilah yang harus
kita petik. Rasul kita mengajarkan optimisme. Hingga akhirnya, percikan kilatan
mulai terealisir. Meski dalam sejarah, Rasulullah sendiri tidak mengalaminya.
Artinya penaklukan-penaklukan itu terjadi setelah Rasulullah wafat. Persia
tersentuh. Bahkan dari wilayahnya ada yang pernah dijadikan sebagai ibu kota.
Yaman, tersentuh pula. Syam, yang mungkin hari ini kita ketahui sebagai
Palestina, Lebanon, Yordania dan sekitarnya. Juga menjadi negeri yang
Rasulullah janjikan, hingga era Utsmani dan pergiliran kekuasaan Alloh
putarkan.
Mengertilah kita
bahwa visi dan cita dakwah ini tidak serta merta selesai oleh satu generasi.
Tidak serta merta selesai dalam ukuran usia individu, namun jauh menembus usia
bangsa bahkan usia peradaban. Lalu pertanyaannya, dimanakah kita berada saat
ini.