Menyambut
Harapan Baru di atas Kerapuhan
Oleh Viki Adi Nugroho*
Mari
berkaca...
Ekskalasi hiruk pikuk situasi dan kondisi negara kita,
sebuah negara besar dengan kebesaran sejarahnya, dengan kebesaran potensinya,
seolah memudarkan semua asa. Hingga masing-masing anak di negeri ini menanggung
hutang pemerintah yang tengah berkuasa di hari ini, tak nanggung-nanggung.
Mahasiswa yang kerap menjadi “penyeru” kini mulai kian lelap menikmati ‘nina
bobo’ dari sang penguasa. Baik terpatahkan oleh penguasa kecil (baca: birokrasi
kampus) hingga penguasa negara sesungguhnya. Bahkan ada saja, gerakan mahasiswa
yang mau menerima “jamuan” penguasa untuk mendukung kebijakan yang menjadi
kontroversi bahkan dinilai sebagian besar kalangan sebagai kebijakan yang blunder (baca: Perppu Ormas). Mungkin
dia lupa dengan amanah reformasi. Atau mungkin pura-pura lupa.
Keberanian nampak mahal harganya, apalagi bicara
pengorbanan. Seperti bicara dongeng atau semacam hikayat yang gagal dan mungkin
lebih gagal. Belum sampailah pada keberanian, mewacanakan saja enggan. Kita
memang tidak bisa menyalahkan mahasiswa-mahasiswa hari ini sepenuhnya, sistem
dan budaya yang ‘tercipta’ memang seolah ‘memaksa’ ke arah sana. Maka gerbong
menjadi mahasiswa baru ini, bukanlah hal yang biasa, namun sudah seharusnya menjadi
refleksi bersama.
Mahasiswa baru hadir bukan untuk menambah beban negara.
Bukan hadir untuk memenuhi sarjana pengangguran. Bukan hadir untuk menjadi
komprador penguasa asing yang menyengsarakan rakyat serta negaranya sendiri.
Bukan hadir untuk menikmati kemewahan dan kenyamanan “status” mahasiswa. Apalah
artinya status tersebut ketika ia tidak mampu mempertanggungjawabkan secara
‘moral’. Alangkah indahnya jawaban Perguruan Tinggi dengan ramuan jamu ‘Tri
Dharma Perguruan Tinggi’. Peran sosial khususnya sebagai gerakan moral bagi
mahasiswa ada disini.
Jiwa zaman yang berubah total dengan era teknologi
informasi bahkan masuk dalam era ‘big
data’. Akan sangat membuat karakter “anak zaman” yang terlahir pun berbeda.
Semua merasa dimudahkan serta serba nyaman. Ketika hal ini tidak disikapi
dengan bijak, tanpa ada usaha penyadaran menemukan kembali ruh dari eksistensi
mahasiswa (baca: peran), maka kemunduran bangsa ke depan mampu mewujud. Tentu
ini bukan hal yang diinginkan, sebuah peradaban maju dalam teknologi, namun
minim dalam suasana religiusitas (baca: moral). Menunggu waktu kerusakan dan
keruntuhan.
Menyadari
peran...
Mendengar mahasiswa, maka pola pikir yang terbangun di
masyarakat adalah seorang yang cerdas, pintar, berwawasan luas, bahkan dianggap
‘serba bisa’. Namun itu dulu, entah sekarang mungkin mengalami ‘peyorasi’,
semacam penyempitan makna atau menjadi makna yang buruk. Meski akan berbeda
ketika ‘mahasiswa’ ini ada dalam benak pola pikir masyarakat desa, lain hal.
Tapi bagi masyarakat kota, hanya kata lalu lalang saja. Mengapa?
Begitulah, selama ini mahasiswa mulai kehilangan
sejarahnya. Lupa lebih tepatnya. Sehingga dari lupa sejarah ini, mereka juga
lupa akan perannya. Menjadi wajar ketika mahasiswa sebagian besar hari ini
lebih memilih ruang ‘nyaman’. Lebih memilih belajar di kelas saja, dari pada
harus berpanas-panasan menyuarakan kebenaran di jalanan. Lebih memilih jalur
“tenang” dibanding harus mengkritisi kebijakan dengan resiko mengurangi
ketenangan (baca: drop out). Gerakan
mahasiswa sebagai gerakan moral seolah hanya wacana belaka, hanya memori yang
sudah tidak terkenang. Mungkin pelajar-pelajar kita dulu, anak-anak SMP, SMU,
dalam perhimpunannya di Pelajar Islam Indonesia, melihat mahasiswa hari ini,
akan menangis. Betapa tidak, dulu mereka turun ke jalan merelakan nyawanya demi
menyerukan sebuah kebenaran di depan penguasa yang dzalim. Bahkan kita masih
terngiang dengan lagu Darah Juang, “... Bunda relakan darah juang kami...”.
Sebuah lagu yang membuat merinding, dimana anak seusia SMP berkata kepada orang
tuanya dan izin pamit untuk merelakan jiwa anaknya demi berjuang menegakkan
kebenaran. Lalu, bagaimana mahasiswa hari ini?
Mahasiswa merupakan agen-agen prubahan, begitulah sejarah
berbicara di negara kita. Mahasiswa memiliki peran sebagai kontrol sosial,
bukan sekedar lelap dalam tidur dan bermimpi indah lalu mengenakan toga.
Mahasiswa merupakan pengganti masyarakat dan pemimpin-pemimpin negeri ini yang
kian hari kian menjadi-jadi sakitnya. Maka apalah daya ketika dari hari ini
kita sebagai mahasiswa tidak menyiapkan diri untuk masa depan Indonesia,
apalagi lupa terhadap sejarahnya, terhadap gerakan mahasiswa. Dan kau, harapan
baru. []
*Penulis Buku Recharge Semangat Dakwah, Ketua Pengurus
Komisariat KAMMI UNY 2017