Sudahkah
engkau merenungi akan apa yang telah Alloh berikan kepadamu?
Sudahkah
engkau memaksimalkan potensi mu itu?
Sudahkah
engkah terfikir akan amanah yang telah tersemat di pundakmu wahai pemuda?
Masih
tersimpan dengan jelas sebuah kisah Sang Teladan kita, sebuah epik yang indah
menyejarah, mampu menggugah setiap hati yang melihatnya dengan objektif untuk
menuju keimanan dan perubahan besar dalam hidupnya, sebuah kisah klasik yang
seharusnya setiap manusia di hari ini tahu betapa besarnya amanah yang ia
emban.
Marilah
sejenak kita melihat kembali peristiwa itu, ya Thaif...
Sejenak kita hayati tulisan Syekh
Ramadhan Al Buthi dalam sirahnya..
Setelah
merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan kaum Quraisy , Rasulullah saw berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari bani
Tsaqif dan
berharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawanya dari Allah.
Setibanya di
Thaif , beliau menuju tempat para pemuka bani
Tsaqif , sebagai orang-
orang yang berkuasa di daerah tersebut. Beliau berbicara tentang Islam
dan
mengajak mereka
supaya beriman kepada Allah. Tetapi ajakan beliau terebut ditolak mentah-mentah dan dijawab
secara kasar. Kemudian
Rasulullah
saw bangkit dan meninggalkan mereka, seraya mengharap
supaya mereka menyembunyikan
berita kedatangannya ini dari kaum
Quraisy , tetapi merekapun menolaknya.
Mereka
lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu, sehingga mengakibatkan cidera pada kedua kaki Rasulullah saw . Zaid bin Haritsah, berusaha keras melindungi
beliau, tetapi kewalahan, sehingga ia sendiri
terluka pada kepalanya.
Setelah
Rasulullah saw sampai di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah kaum
penjahat dan
para budak yang mengejarnya berhenti dan kembali. Tetapi
tanpa diketahui ternyata beliau sedang diperhatikan oleh dua orang anak Rabi’ah yang sedang berada di dalam
kebun. Setelah
merasa tenang di
bawah naungan pohon anggur itu, Rasulullah saw mengangkat kepalanya seraya mengucapkan doa berikut :
„Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan
kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih ladi
Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi
si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siaa diriku hendak Engkau serahkan ? Kepada orang jauh ynag berwajah suram terhadapku, atau kah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan , karena sungguh besar nikmat yang telah
Engkau limpahkan kepadaku.
Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu
, yang menerangi kegelapan dan
mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan
dan
mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun
selain atas perkenan-Mu.“
Berkat do’a Rasulullah saw itu tergeraklah rasa iba di dalam
hati kedua anak lelaki Rabi’ah yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya seorang Nasrani, bernama Addas,
kemudian diperintahkan,“Ambilkan buah anggur,
dan berikan
kepada orang itu!“
Ketika Addas emletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah saw, dan berkata kepadanya,“ Makanlah!“ Rasulullah
saw mengulurkan tangannya seraya mengucapkan,“Bismillah.“
Kemudian dimakannya.
Mendengar ucapan beliau itu, Addas berkata,“Demi Allah, kata-kata itu tidap pernah
diucapkan oleh penduduk daerah ini.“ Rasulullah saw bertanya,“ Kamu dari
daerah mana dan
apa
agamamu?“ Addas menjawab,“ Saya seorang Nasrani dari daerah Ninawa ( sebuah
desa di Maushil sekarang).“ Rasulullah saw bertanya lagi,“ Apakah kamu dari negeri seorang saleh
yang bernama Yunus anak Matius ?“ Rasulullah saw menerangkan “Yunus bin Matius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi
dan
aku pun seorang Nabi.“ Seketika itu juga Addas berlutut di
hadapan Rasulullah saw, lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki beliau.
Ibnu Ishaq berkata: Setelah itu Rasulullah saw meninggalkan Thaif dan kembali
ke Mekkah sampai di Nikhlah Rasulullah saw bangun pada tengah malam
melaksanakan shalat.
Ketika itulah beberapa makhluk
yang disebutkan oleh Allah lewat dan mendengar bacaan
Rasulullah
saw.
Begitu
Rasulullah
saw
selesai
shalat,
mereka
bergegas kembali kepada kaumnya seraya memerintahkan agar
beriman dan menyambut
apa yang baru saja mereka dengar.
Kemduian Rasulullah saw bersama Zaid berangkat menuju ke Mekkah. Ketika
itu Zaid
bin Haritsa bertanya kepada Rasulullah
saw ,“Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah,
sedangkan penduduknya telah emngusir engkau dari sana?“ Beliau menjawab ,“ Hai
Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.“ Lalu
Nabi saw mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin ‘Adi dan mengabarkan bahwa Rasulullah
saw ingin
masuk ke Mekkah
dengan perlindungan darinya. Keinginan Nabi saw ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah saw kembali memasuki Mekkah.
Mari sejenak
kita merenung, betapa beratnya cobaan yang dihadapi Rasululloh, bagaimana
seandainya kita dihadapkan pada hal itu?
Rosululloh
merupakan orang yang sudah tercerahkan dengan kenabian, tercurahkan dengan ilmu
Alloh, lantas beliau pun menyampaikannya kepada umat dengan cara yang baik
meski beliau tahu bahwa batu yang mengahdang akan sangat besar. Namun Beliau
tetaplah mau menjalankan tugasnya. Berdakwah dan terus berdakwah. Sabar dan
bersiap-siaga. Sabar dan terus bersabar.
Bahkan
Roslupun menolak tawaran malaikat penjaga gunung untuk melemparkan gunung ke
penduduk Thaif, karena Rasul berharap agar anak-anak penduduk ini pada nantinya
akan menjadi muslim yang akan berjuang untuk agamanya.
Jika anak-anak
ini adalah kita? Sudahkah kita membahagiakan Rosul?
Jika kita ini
umatnya, apakah kita sudah meneladani beliau akan hakikat tugas kita sebagai
manusia muslim?
Dan khusus engkau
wahai pemuda, apalagi engkau yang menyebut dirinya mahasiswa, tersematkah
engkau bendera intelektual? Bendera tercerahkan?
Namun sudahkah
tercerahkan oleh Islam sebagai way of life? Apakah engkau tak mau memulai
perubahan pada diri sendiri jika engkau ingin merubah orang lain?
Akankah terlalu
naif bahwa Islam terasing karena agen ini pun sudah mulai asing dan berkurang?
Akankah engkau
sebagai pemuda akan gagap menjawab pertanyaan “untuk apakah masa usia mudamu?”
bahkan bukan hanya gagap, tapi malah tak mampu menjawab?
Benarkah
engkau sudah sabar untuk melakukan perubahan ini?
Masihkah terfikir
bahwa berubah hanya untuk mereka yang mendapat hidayah? Benarkah hidayah itu
ditunggu? Sedangkan pintu kebaikan untuk menuju itu terpampang menjadi pilihan
di depanmu?
Masih pernah
berfikirkah kalau besok usiamu sudah berhenti? Lalu perubahan pun belum sama
sekali terwujud pada dirimu?
Masih terfikirkah?
Hingga tidak
takutkah ketika diri ini tersemat akan orang-orang yang mati sia-sia hanya
karena belum pernah terbesit niat untuk berjihad di jalan Alloh, tentu dengan
melakukan perubahan dan perbaikan diri?
Ketika perbaikan
diri ini tersemat pada fokusan paling kecil, maka lakukanlah, sebelum mencapai
pada tahap perbaikan selanjutnya,
Melihat
perjuangan Rasul yang sebegitu dahsyatnya, akankah engkau bersenang-senang di
hari ini?
Perbarui
dirimu!