Kamis, 10 Mei 2018

Sofisme Ketidakcocokkan

Sofisme Ketidakcocokkan
Ketika kantong semar bertemu serangga, ketika bunga bukan dihinggapi lebah


Oleh:
Viki Adi N


Entah apa artinya judul ini. Tidak perlu dipikirkan. Coba tebak saja. Saya teringat dulu tahun 2013 pertama kali mendapati buku inilah politikku diobral seharga 25rb karya fenomenal M. Elevandi yang kita kenal sebagai orang beserta alumni KAMMI mendukung ust. Anis Matta sebagai presiden serta dalam international campaign #saveTariqRamadhan dan #IndonesiaWithYou, pasti Anda tau kini siapa Beliau. Dalam buku tersebut di bagian awal, saya masih teringat ketika paparan tentang "12 naqib" yang mewakili masing2 suku atau klan dari Madinah untuk bertanggungjawab terhadap kelompoknya dan menyampaikan risalah Islam yang diemban. Saya sedang tidak berbicara politik seperti dalam dauroh siyasi atau training politik. Tapi tentang kata "naqib".

Ada apa dengan kata itu? Kalau Anda tidak atau jarang menemuinya, mungkin Anda kurang piknik, atau setidaknya Anda tidak pernah membaca Sirah Nabawiyah. Sofisme ketidakcocokkan muncul disini (seandainya istilah ini pas). Maka ini mewakili kerancuan keteladanan dan kebingungan.

Ok, kita sudahi ini. Ganti dengan kata lain, kalau Murabbi? Masih asing? Saya rasa tidak. Mungkin ini mewakili dalam istilah yang lain. Naqib atau murabbi atau mentor dalam sebuah sistem pendidikan, mengingat sistem pendidikan "sederhana" ini sekarang menjadi tumpuan dalam aktivitas "kebangkitan" gerakan. Saya tidak berkata dalam satu gerakan saja, karena pengembangan ini sudah jauh membesar. Menjadi primadona yang siap dipanen. Kumpulan-kumpulan sel terkecil inilah yang akan terus mengelompok jadi sebuah lingkaran besar kebaikan. Meski sekali lagi ini bukanlah konsep pendidikan yang bisa menahan "sekulerisasi Barat" dari hegemoni segala sistem dan menjungkirbalikkan secara radikal, namun setidaknya mampu membentengi dari cara pandang (worldview) yang tidak benar. Keberhasilannya pun tak semata pada manhaj yang digunakan beserta rentetan kurikulumnya, tapi juga dari seorang naqib atau murabbi atau mentor nya. Percaya? Saya juga tidak memaksakan untuk percaya.

Banyak yang di awal berharap besar namun di tengah menghilang. Bukan karena ingin berpisah dari sel namun karena merasa tidak cocok dengan para mentor ini. Ketidakcocokan bisa dikarenakan karakter yang "berbeda" bisa juga dikarenakan "kaidah dakwah" yang salah. Dulu saya mendapati kaidah ini dalam karya gemilang seorang Syekh Jumah Amin Abdul Aziz yang tertuang dalam 10 kaidah dakwah. Entah buku ini masih dibaca oleh aktivis "kekinian" atau sudah dicampakkan dan berganti dengan buku "pernikahan". Kaidah kedua mengatakan, ta'lif qobla ta'rif, artinya dekat dulu sebelum mengenalkan. Seberapa dekat diri Anda dengan anggota/ binaan?

Selain dari ketidakcocokkan karakter, juga bisa terjadi dikarenakan "kepercayaan". Ketidaksalingpercayaan muncul misal saja melihat kawan selingkarannya mendapat "amanah" dan dirinya tidak. Sehingga muncul kata, "Aku mah apa". Jangan dianggap remeh kata2 ini. Anda bisa saja gila hanya karena ini. Bahkan menangis kalau binaan Anda terpaksa harus resign. Kecuali jika Anda memang tidak peduli dengan hal seperti itu. Selain ketidakpercayaan juga terkait kurangperhatian. Artinya "emosional" ataupun ukhuwah tidak berjalan dengan semestinya, dalam lingkaram hanya ada "taklimat2" tanpa mendesain pendidikan yang berjangka dan bertahap melalui serangkaian kaidah yang benar. Selamanya Anda hanya akan jadi pembinasa dan membuat barisan kecewa semakin banyak saja.

Satu lagi yang biasanya muncul ialah dikarenakan tradisi keilmuan. Kalau ini tidak perlu dibahas. Bagaimana Anda akan memberi tapi Anda tidak punya? Sehingga yang berpindah haluan hanya karena "haus ilmu" kini menjadi fenomena jamur yang tumbuh dengan subur.

Kesemua hal ini sebenarnya sederhana, sofisme ketidakcocokkan berlaku. Sofisme berkaitan dengan kebenaran yang relatif. Artinya ketidakcocokkan bisa di eliminasi dengan memperhatikan kaidah dakwah yang benar. Saya tidak membenarkan bahwa kebenaran itu relatif, karena toh kebenaran mutlak itu ada. Disini ketidakcocokkan bukanlah alasan. Artinya semua bisa diperbaiki. Meski ada solusi akhir dengan "berganti" mentor. Toh ujungnya mereka akan berkumpul dalam satu wadah yang besar pula.

Sekilas tentang ingatan saya pada naqib atau murabbi atau mentor.

Tadi barusan, saya mendengar orang berkata, "apa keuntungan kita kecewa dalam sebuah jamaah dakwah? Pasti tidak dapat apa2, yang tadinya membela malah merusak". Justru saya punya pikiran lain, karena dengan kecewa itulah jamaah dakwah akan menjadi dewasa, dewasa agar tidak membuat kader2nya kecewa dengan kubangan yang sama.


2 Mei Kemarin

Ini menjadi hari pendidikan dimana para mahasiswa berdendang aksi dijalanan menggugat pendidikan di Indonesia belum mewujudkan manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlaq mulia. Sayangnya di depan kampus UIN Suka kemarin terjadi hal yang tak beradab apalagi di kampus Islam yang tentunya mengajarkan adab. Meski aksinya ialah 1 Mei (hari Buruh). Dan saya tidak akan membahas itu.

Beberapa kali saya mengisi di SMA, saya merasa cukup kewalahan ketika harus bercakap dengan anak besar tapi dianggap anak-anak. Pertama kali ngisi di SMA ialah di peringatan Ultah Smansasi Sidareja bersama Ust. Guspur (Anggota DPR RI dari FPKS) itu sekitar tahun 2011. Setelah itu berturut-turut acara talkhsow tentang pemuda, politik islam dan sebagainya. Saya merasa susah untuk mengajak mereka berpikir. Saya terus cek dan cek kenapa bisa seperti ini. Dan saya, kini tau jawabannya, mengapa anak SMA kok masih kayak anak kecil dan masih sulit diajak beripikir?

Sederhana, kita perlu REVOLUSI USIA pendidikan kita. Saya masih ingat waktu bulan Ramadhan dimana masing terngiang #SaveYuyun, saya menjadi kordum Aksi Peduli Moral dari Aliansi Mahasiswa Peduli Moral Yogyakarta (Ampiby). Aksi ini ialah keprihatinan akan rusaknya moral pada anak didik kita, yuyun yang masih SMP diperkosa dan dibunuh oleh anak yang sebagian masih dibawah umur. Sehingga kasus ini pun di dampingi oleh Komisi Perlindungan Anak, juga kasus Eno yang diperkosa dan dibunuh dengan sadis hingga negara tetangga membuat foto2 tentang #Pacul. Lagi KPAI turun tangan. Benarkah usia 15 tahun masih dianggap anak2? Benarkah usia SMA masih disebut anak2? Atau dalam bahasa kita disebut remaja? Dimana remaja dianggap usia yang sedang mencari jati diri?
Pandangan inilah yang sebenarnya, setelah saya pikir2 yang membuat pendidikan kita tidak mampu memberikan orang hebat!!!

Lihat saja Natsir, usianya yang masih muda ia bahkan membuat sekolah Islam, lihatlah Abdullah bin Umar di usia 15 tahun sudah terjun berperang, lihat saja panglima termuda Islam pertama ialah 18 tahun. Dan masih banyak yang lainnya. Tapi hari ini usia 18 tahun hanya dimanjakan untuk makan dan "belajar" untuk menghadapi soal ujian. Bukan ujian hidup tapi ujian nasional!!

Disini tidak lagi bicara sofisme, tapi bicara sesuatu yang mutlak. Ya, mutlak harus diubah.

Demikian catatan malam hari ini..
Ke depan sepertinya catatan2 ini akan mewarnai lembar saya .. yg biasa sy simpan di laptop, kini sy share. Cukup malam ini.

Catatan tentang pembelajaran dari kehidupan.
3 Mei 2018 di malam hari