Rabu, 10 Mei 2017

Seandainya Aku Seorang Sultan Abdul Hamid II

Seandainya Aku Seorang Sultan Abdul Hamid II
oleh Viki Adi Nugroho



Masih ingat dengan catatan-catatan harian Sultan Abdul Hamid II?
Akhirnya dengan adanya memoar itu, kita bisa mengetahui mana yang benar mana yang salah
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Hampir-hampir saja catatan-catatan tersebut terkendala karena diketahui oleh penjegal-penjegalnya, bahkan resiko menuliskan kebenaran ialah kematian
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Pena harus tetap berjalan dan digariskan, kebenaran harus dituliskan, diungkapkan, dan disampaikan, maka benarlah bahwa seharusnya aktivis dakwah ialah mata pena yang tajam
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Menggariskan pena bukan sekedar untuk mencitrakan saja, menggariskan pena juga bukan hal mudah, apalagi semakin kuatnya berbagai pihak yang berkonsolidasi menyerang umat ini, ini pula yang terjadi saat Sultan masih memiliki kekuasaan
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Berbagai konspirasi diciptakan, berbagai rekayasa-rekayasa sosial dibuat, penyudutan bertubi-tubi, dan menaikkan citra lawan-lawannya, semua tentu karena pena yang tajam
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

Makarpun dibuat, bom, penggulingan, penuntutan, berbagai aksi, kok mirip-mirip kayak di Indonesia yah? hanya saja posisinya kebalik, mari coba kita baca pena ini kembali.. sebuah catatan Sang Sultan
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

westernisasi masuk ibarat gelombang pasang yang sukar surut, merubah paradigma anak muda dan golongan terpelajar, mereka bangga dengan pengadopsian, bahkan cara hidup hingga ideologi
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

sekulerisasi turut mendompleng, kesalahan anak muda melihat sejarah kemajuan Eropa dalam tatanan ini sangat fatal, tidak menempatkan pada tempatnya, umat Islam harusnya sakit melihat ini
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

keruntuhan Utsmani diambang pintu terngiang-ngiang, hingga benarlah ketika pimpinan-pimpinan sudah dihegemoni oleh musuh-musuh, pembenci-pembenci, apalah daya kesalihan pemimpin ketika berjalan sendirian
#seandainyaAkuSeorangSultanAbdulHamidII

bagaimana kita merefleksikan hal ini dalam tataran dakwah kampus?

Jumat, 05 Mei 2017

Menggapai harapan, Menepis angan

Menggapai harapan, Menepis angan
(Sebuah refleksi profil Syakhsiyah Daiyah Fikriyah)
Oleh Viki Adi N

Struktur pada level komisariat merupakan pilar penyangga yang kuat. Merupakan sebuah pilar penyokong kader terbesar. Merupakan tempat ideologisasi pertama dalam penguatan-penguatan kepribadiannya. Struktur komisariat pun selalu menjadi tempat andalan untuk menurunkan berbagai macam kebijakan-kebijakan dalam kerja-kerja organisasi. Tanpa struktur komisariat, KAMMI tidaklah menjadi besar, karena inilah ujung akar-akarnya.
Proses ideologisasi KAMMI pun berjalan mematangkan diri pada level ini. Proses pembinaan yang tajarrud (bertahap) dimulai. Mulai dari proses ta’rif, takwin, hingga proses tanfidz dengan melakukan proses penjenjangan pada sistem pengkaderannya, mulai dari Anggota Biasa 1 (syakhsiyah islamiyah harokiyah), Anggota Biasa 2 (syakhsiyah daiyah fikriyah), hingga Anggota Biasa 3 (syakhsiyah qiyadah siyasiyah). Dimana profil-profil ini sebenarnya mengacu pada arkanul baiah, pada rukun amal, pada tahapan amal yang pertama, ishlahun-nafs (perbaikan diri), dimana perbaikan individu muslim ini mengacu pada 10 muwashofat dimana tujuannya ialah membentuk profil syakhsiyah islamiyah. Merunut profil inilah, kemudian KAMMI melakukan sebah proses pengkaderan untuk mewujudkan visi nya.
Pada level kkomisariat, bahkan kalau kita mengacu pada konstitusi yang ada di KAMMI, bahwa pada struktur kepengurusan komisariat bahkan dalam tatanan pendirian komisariat sebut saja, maka level anggota minimal yang akan mengisinya adalah pada AB1 dan AB2. Kita perlu mengingat bahwa AB1 adalah kader KAMMI yang sudah tersertifikasi pasca DM1 dan telah mengikuti MK1 (khos). Maka proses ideologisasi ini harus senantiasa berjalan di level komisariat jika memang ingin mempertahankan eksistensi dakwah kampus dalam tatanan gerakan mahasiswa. Bayangkan saja ketika para kader-kader KAMMI hanya berada pada level “pasca DM1”, sehingga tidak adanya peran para qoidah daiyah fikriyah (AB2)? Saya yakin kita sepakat dengan jawabnnya, “komisariat itu bubar!”. Hal ini telah banyak terjadi. Kejumudan dan kegundahan serta rasa was-was telah merasuk pada sebagian kader, meracuni para pemandu-pemandu MK, menusuk para pemangku kebijakan dalam tataran proses pembinaan, menimbulkan kontradiksi-kontradiksi dalam tataran lapangan, saling menyalahkan, menuduh, bahkan masih saja ada aktivis dakwah yang kemudian mempertanyakan “status” sebut saja AB2 dan kemudian dirinya tidak mau mengikuti alurnya karena dianggap tidak mampu menciptakan kader yang berkompeten dalam hal “kaffah”.
Inilah yang kemudian menjadi kegundahan, keresahan, bahkan menjadi banyak praduga-praduga, prasangka-prasangka, padahal serendah-rendahnya cinta, serendah-rendahnya ukhuwah islamiyah ialah ketika ia tidak memiliki prasangka-prasangka buruk, hasad, iri, dengki pada saudaranya! Apalagi bagi sesama orang yang mengaku sebagai aktivis dakwah?
Persoalannnya sebenarnya bukan pada profilnya, bukan pada statusnya, bukan pada Manhajnya, bukan pada alur pengkaderannya, namun pada “kader”nya. Hendaklah kita berbaik sangka dan bijak. Kita berpacu pada semangat idealisme tentu agar ketika belum mampu mencapai harapan - sebut saja langit ketujuh - paling tidak sampailah pada tataran bintang-bintang. Atau paling tidak adalah mencapai titik dimana lebih memilih kemudharatan yang sedikit. Maka pertanyaannya, memilih menjatuhkan komisariat atau memilih dengan egonya sendiri?
Jujur saja, ketika kita ingin berbicara ideologisasi secara terbuka, berbicara fikroh secara terbuka maka di KAMMI lah kita bisa berbicara itu! Mulai dari fikroh gerakan, fikroh yang menjadi acuan kita, fikroh yang menjadi landasan gerak kita, fikroh yang diharapkan akan lebih cepat dalam mencapai tujuan diantara yang lain, fikroh yang syumul. Kita tidak akan menemukannya bahkan dalam tataran SKI/LDK sekalipun yang dulunya merupakan cikal bakal berdirinya KAMMI ini.
Padahal kita menyadari bahwa fikroh ini adalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menguasai ilmu alatnya. Sehingga fikroh inilah yang akan mengarahkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam tataran kesatuan amal menuju harapan, bukan sekedar angan yang terpisah-pisah dalam geraknya, namun satu kesatuan secara beriringan dan berkesinambungan. Masihkah di lubuk kita ingin mempertanyakan penjenjangan dalam alur pengkaderan tersebut?
Bicara qoidah fikriyah (basis konsep) dalam siyasatudda’wah KAMMI, maka kita akan dibawa pada profil AB2 sebagai gaungnya, karena profil ini adalah profil syakhsiyah daiyah fikriyah. Profil yang bukan sekedar kader-kader yang semangat bergerak saja di tengah masyarakat, namun juga menjadi pemikir-pemikir dan konseptor-konseptor pada tataran ide dalam komisariatnya. Meski saya akui, bahwa pada level ini bukan berarti kader telah sempurna, namun saya akan lebih menghargai dalam prosesnya untuk menjadi yang lebih baik dan meningkatkan kesiapan, kapasitas, serta proses spirit untuk menjemput momentum-momentum yang ada di depan. Karena dikalangan kader sendiri terkadang masih ada saja yang kemudian mempertanyakan akan “status” tersebut, bahkan tidak jarang yang kemudian memiliki “status” tersebut namun tidak beramanah dalam menjalankan berbagai aktivitasnya, kontribusinya, serta kecakapan yang dimilikinya.
Inilah sebuah refleksi bagi kita semua, bukan sekedar bagi kader yang memiliki status “syakhsiyah daiyah fikriyah”, bukan sekedar kader yang tidak mau mengikuti alurnya, namun bagi kita semua! Khususnya bagi para kader KAMMI sebagai aktivis dakwah itu sendiri! Merefleksikan bahwa rapinya sturktur, bahwa dakwah yang bersifat tajarrud harus dilakukan, dan alur pengkaderan ini adalah bagian dari kita mengamalkan apa yang ada dalam prinsip tajarrud tersebut.
Sehingga kedepan tidak ada lagi “status” yang dipertanyakan. Kenapa? Karena kita ingin menciptakan profil itu menjadi profil yang menuju kesempurnaan. Lalu dimulai dari saiapa? tentu dari diri kita selaku kader KAMMI, bukan kemudian malah menghardik dan mengahsut sesama kader untuk tidak mengikuti alur ini. Semoga yang sedikit ini mampu menajdi refleksi bagi kita, sehingga kedepan yang ada hanyalah kontirbusi, kontribusi, serta kontribusi, buktikan dengan amal, buktikan dengan kerja nyata, buktikan hal itu. Tanpa menghasut, tanpa mencaci, namun beramal nyata. KAMMI menunggu kontribusi kita.
Begitulah, menggapai harapan, menepis angan!


Gaza, Sabtu, 6 Mei 2017, 9.10.