Masih terlintaskah di fikiran kita
akan apa maksud kita ada? Hanyalah sepintas hidup di dunia ini? Adakah latar
belakang kita hadir? Apa tujuan semua ini?
Sempatkah terlintas berfikir seperti
itu? Semoga engkau pernah berfikir seperti itu, semoga engkaupun dapat
menemukan jawabannya dari perspektif aqidah agama Islam. Agama yang memperbarui
segala ajaran sebelumnya, agama satu-satunya yang Alloh sebutkan kebenarannya,
yang Alloh ridhoi. Bersyukur kita bisa berada di sini.
Masihkah engkau terfikir hidup ini
bagai roda yang berputar? Masihkah terfikir hidup ini seperti perulangan yang
tiada putusnya?
Seperti itulah hakikat manusia, memang
benar adanya hukum sebab-akibat. Hingga adanya manusia pun sangat terfikirkan
dan terdebatkan pula oleh filsuf-filsuf dengan berbagai latar belakang mulai
dari agama, sekuler, liberal, dan sebagainya. Namun benarkah manusia diciptakan
tanpa ada sebabnya tanpa ada tujuannya?
Saya hanya mengantarkan dalam
perspektif yang saya percaya, perspektif agama Islam dengan berpegang pada
kitab Islam yang dijamin keasliannya sepanjang masa oleh Alloh, dengan
menempatkan akal dibelakang Al-Quran dan sunah, namun tidak jauh-jauh. Sehingga
ketika ada ayat yang memang tidak bisa dijangkau oleh akal, maka “sami’na wa ata’na”
kami mendengar, dan kami taat. Sehingga terujilah kepercayaan dan ketaatan ini
pada agama Islam.
Manusia diciptakan dengan spesial,
mengapa?
Pertama, mari kita lihat dari sudut
penciptaan dimana Alloh mengabadikannya dalam percakapan yang indah dengan
berbagai pelajaran yang sangat besar yaitu dalam Al-Baqarah yang dimulai dari
ayat 30. Coba kembali perhatikan ayat tersebut dan beberapa ayat berikutnya.
Sampai Alloh menyuruh semua malaikat, iblis untuk menghormati Adam? Meski iblis
membangkang dan akhirnya menjadi musuh abadi manusia?
Kedua, dari sudut pandang unsur. Dimana
unsur manusia ada tiga yaitu jasad/fisik, ruh, dan akal. Di sini akal ini yang
mempunyai ruang spesial, karena hanya manusia yang mempunyai taraf ini kemudian
dibarengi dengan hawa nafsu. Maka kita bisa mengibaratkan adanya tarik ulur
antara kebaikan dan keburukan. Dimana fisik yang terbuat dari lumpur – ibarat kotor
– akan membawa pada keburukan, kemudian ruh – ibarat suci – akan membawa pada
kebaikan, kemudian akal yang berposisi netral namun akan selalu dibarengi
dengan hawa nafsu – mengacu pada keburukan. Maka benar firman Alloh tarik ulur
ini akan membawa pada hal fujur atau taqwa (As-Syams:8). Sehingga secara
logika, ketika iblis pun tidak ada, maka potensi mengarah fujur pun tetap ada. Inilah
spesialnya manusia, ia akan dibelajarkan untuk seimbang dan berfikir menuju ke
arah yang baik, ia mempunyai kehendak.
Ketiga, dari sudut potensi. Seperti
dalam As-Syams ayat 8 bahwa manusia diberi potensi kefujuran dan ketaqwaan. Maka
benar bahwa hidup ibarat roda yang berputar, bahwa iman terkadang fluktuatif,
sehingga benarlah bahwa kita dianjurkan untuk sering bertaubat. Dan potensi itu
tidak akan bertemu pada satu waktu. Sungguh benar bahwa orang yang bermaksiat
tidak akan disebut orang yang baik/beriman, begitu pun sebaliknya sungguh benar
bahwa orang yang beriman/baik tidak akan disebut ahli maksiat. Maka sungguh
apik nasihat Abu Bakar, “Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dalam kebaikan,
maka engkau akan disibukkan dengan keburukan”. Pilihlah kebenaran, meski
penentang akan lebih besar dan lebih berat. Itu adalah sunatulloh.
Dari sudut ilmu dan segi bahasa. Bukankah
benar kalau manusia mampu mengembangkannya, bahkan Nabi Adam pun menyebutkan
nama-nama yang makhluk lain belum tahu.
Dari sudut posisi, Alloh sungguh
menempatkan posisi yang berat, posisi yang luar biasa, hingga jika gunung yang
akan memikulnya, maka hancurlah ia. Ya, sebagai pemimpin di bumi.
Lalu dari berbagai keistimewaan
tersebut, apakah engkau masih berfikir manusia diciptakan secara kebetulan
belaka dan hanya untuk bermain-main, bersenang-senang kemudian mati dan tidak
akan dibangkitkan lagi?
Bukankah sudah jelas akan firman Alloh
dalam surat Al-Ankabut ayat 3 “Apakah manusia itu mengira
bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman",
sedang mereka tidak diuji lagi?”
Juga
dalam Al-Qiyamah ayat 36, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan
begitu saja tanpa (pertanggungjawaban)?”
Inilah misi kita, misi peradaban.
Jelas pula bahwa tidak dipungkiri lagi
fitrah menyembah itu ada dalam diri manusia, fitrah menyembah Tuhan. Meski orang
ateis menafikan hal ini, karena pada hakikatnya tuhan mereka ialah materi
keduniawian yang mereka senangi.
Dalam firman Alloh, sudah jelas
tersebut dalam Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
Inilah
perintah Alloh pertama pada manusia, misi ibadah, misi mengabdi pada Alloh. Bahwa
definisi ibadah ini sangatlah luas, tidak seperti kebanyakan bahwa ibadah hanya
sekedar menjalankan sholat, puasa, zakat saja. Namun seperti yang pernah
dikatakan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa ibadah ini ialah segala sesuatu
yang Alloh itu ridho terhadapnya. Bahkan hanya sekedar menyingkirkan duri di
jalan adalah bagian ibadah, bahkan senyumpun ibadah.
Namun
misi ibadah ini bukanlah misi yang kecil, karena ibadah yang kita pahami ini
dalam makna yang luas dan akan menyangkut pada misi berikutnya, yaitu sebagai
khalifah/pemimpin di bumi. Karena ini juga bagian dari ibadah.
Ini
juga sudah tersebut dalam firman Alloh dalam surat Al-Baqarah ayat 30, menjadi
pemimpin di bumi, menjadi wakil Alloh di bumi, yang berarti bisa diartikan
membawa misi kebaikan di bumi ini, membawa bumi agar sesuai dengan ketentuan
Alloh, menjadi penguasa di bumi (An-Nur: 55). Tentu ini bukanlah tugas yang
ringan, ini adalah tugas yang berat, tugas yang tidak mungkin dilakukan hanya
oleh seseorang individu. Namun harus bersama-sama, besar, massive, butuh sebuah
penggerak dan yang digerakkan.
Sehingga
dari misi ibadah yang berkaitan dengan individu, kemudian naik pada misi
pemimpin di bumi yang ini tidak bisa hanya dengan individu saja, lalu misi
besar selanjutnya ialah misi peradaban.
Misi peradaban ini ialah misi
menggoalkan islam sebagai ustadziatul a’lam, menjadi ustadnya alam, menjadi
gurunya dunia, menjadi rujukan dunia. Maka, apakah ini bisa dilakukan oleh
individu seorang?
Sejenak
kita kembali merenung saat kejayaan islam, bukankah ia ditegakkan atas landasan iman
yang kuat, persaudaraan yang lekat, dan kekuatan yang hebat? Yang terhimpun
dalam sebuah jama’ah? Islam ditegakkan dari sesuatu yang asing pada mulanya,
dan di akhir juga akan asing kembali? Benarkah hari ini asing?
Inilah
misi kita, misi peradaban. Tidak ringan sobat, sementara waktu usia kita
terbatas. Rasulullah membutuhkan waktu 23 tahun dan beliau secara langsung menerima
wahyu, langsung mengingatkan jika ada yang salah. Sementara kini semakin jauh
dari zaman beliau, kita hanya bisa napak tilas sejarah, mengikuti imam kita,
ulama kita dengan ijtihadnya. Sehingga ijtihad ini pun berbeda-beda. Sehingga timbulah
berbagai firqah, gerakan, yang dalam studi analisis, semoga ini adalah
kebangkitan menuju jamaatul muslimin.
Lalu,
apakah kita diam saja, hanya membaca, menjadi penonton saja, bagaimana kita
menjalankan misi kedua dan ketiga ini jika tidak ikut mewarnai dengan gerakan
yang akan menuju jamaatul muslimin?
Maha
Benar Alloh, sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasul SAW.
Wallahu A’lam...