Minggu, 30 Agustus 2015

Misi Kita, Misi Peradaban

Masih terlintaskah di fikiran kita akan apa maksud kita ada? Hanyalah sepintas hidup di dunia ini? Adakah latar belakang kita hadir? Apa tujuan semua ini?
 
Sempatkah terlintas berfikir seperti itu? Semoga engkau pernah berfikir seperti itu, semoga engkaupun dapat menemukan jawabannya dari perspektif aqidah agama Islam. Agama yang memperbarui segala ajaran sebelumnya, agama satu-satunya yang Alloh sebutkan kebenarannya, yang Alloh ridhoi. Bersyukur kita bisa berada di sini.

Masihkah engkau terfikir hidup ini bagai roda yang berputar? Masihkah terfikir hidup ini seperti perulangan yang tiada putusnya?
Seperti itulah hakikat manusia, memang benar adanya hukum sebab-akibat. Hingga adanya manusia pun sangat terfikirkan dan terdebatkan pula oleh filsuf-filsuf dengan berbagai latar belakang mulai dari agama, sekuler, liberal, dan sebagainya. Namun benarkah manusia diciptakan tanpa ada sebabnya tanpa ada tujuannya?

Saya hanya mengantarkan dalam perspektif yang saya percaya, perspektif agama Islam dengan berpegang pada kitab Islam yang dijamin keasliannya sepanjang masa oleh Alloh, dengan menempatkan akal dibelakang Al-Quran dan sunah, namun tidak jauh-jauh. Sehingga ketika ada ayat yang memang tidak bisa dijangkau oleh akal, maka “sami’na wa ata’na” kami mendengar, dan kami taat. Sehingga terujilah kepercayaan dan ketaatan ini pada agama Islam.

Manusia diciptakan dengan spesial, mengapa?

Pertama, mari kita lihat dari sudut penciptaan dimana Alloh mengabadikannya dalam percakapan yang indah dengan berbagai pelajaran yang sangat besar yaitu dalam Al-Baqarah yang dimulai dari ayat 30. Coba kembali perhatikan ayat tersebut dan beberapa ayat berikutnya. Sampai Alloh menyuruh semua malaikat, iblis untuk menghormati Adam? Meski iblis membangkang dan akhirnya menjadi musuh abadi manusia?

Kedua, dari sudut pandang unsur. Dimana unsur manusia ada tiga yaitu jasad/fisik, ruh, dan akal. Di sini akal ini yang mempunyai ruang spesial, karena hanya manusia yang mempunyai taraf ini kemudian dibarengi dengan hawa nafsu. Maka kita bisa mengibaratkan adanya tarik ulur antara kebaikan dan keburukan. Dimana fisik yang terbuat dari lumpur – ibarat kotor – akan membawa pada keburukan, kemudian ruh – ibarat suci – akan membawa pada kebaikan, kemudian akal yang berposisi netral namun akan selalu dibarengi dengan hawa nafsu – mengacu pada keburukan. Maka benar firman Alloh tarik ulur ini akan membawa pada hal fujur atau taqwa (As-Syams:8). Sehingga secara logika, ketika iblis pun tidak ada, maka potensi mengarah fujur pun tetap ada. Inilah spesialnya manusia, ia akan dibelajarkan untuk seimbang dan berfikir menuju ke arah yang baik, ia mempunyai kehendak.

Ketiga, dari sudut potensi. Seperti dalam As-Syams ayat 8 bahwa manusia diberi potensi kefujuran dan ketaqwaan. Maka benar bahwa hidup ibarat roda yang berputar, bahwa iman terkadang fluktuatif, sehingga benarlah bahwa kita dianjurkan untuk sering bertaubat. Dan potensi itu tidak akan bertemu pada satu waktu. Sungguh benar bahwa orang yang bermaksiat tidak akan disebut orang yang baik/beriman, begitu pun sebaliknya sungguh benar bahwa orang yang beriman/baik tidak akan disebut ahli maksiat. Maka sungguh apik nasihat Abu Bakar, “Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dalam kebaikan, maka engkau akan disibukkan dengan keburukan”. Pilihlah kebenaran, meski penentang akan lebih besar dan lebih berat. Itu adalah sunatulloh.

Dari sudut ilmu dan segi bahasa. Bukankah benar kalau manusia mampu mengembangkannya, bahkan Nabi Adam pun menyebutkan nama-nama yang makhluk lain belum tahu.

Dari sudut posisi, Alloh sungguh menempatkan posisi yang berat, posisi yang luar biasa, hingga jika gunung yang akan memikulnya, maka hancurlah ia. Ya, sebagai pemimpin di bumi.

Lalu dari berbagai keistimewaan tersebut, apakah engkau masih berfikir manusia diciptakan secara kebetulan belaka dan hanya untuk bermain-main, bersenang-senang kemudian mati dan tidak akan dibangkitkan lagi?
Bukankah sudah jelas akan firman Alloh dalam surat Al-Ankabut ayat 3 “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
Juga dalam Al-Qiyamah ayat 36, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja tanpa (pertanggungjawaban)?”

Inilah misi kita, misi peradaban.

Jelas pula bahwa tidak dipungkiri lagi fitrah menyembah itu ada dalam diri manusia, fitrah menyembah Tuhan. Meski orang ateis menafikan hal ini, karena pada hakikatnya tuhan mereka ialah materi keduniawian yang mereka senangi. 
Dalam firman Alloh, sudah jelas tersebut dalam Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
Inilah perintah Alloh pertama pada manusia, misi ibadah, misi mengabdi pada Alloh. Bahwa definisi ibadah ini sangatlah luas, tidak seperti kebanyakan bahwa ibadah hanya sekedar menjalankan sholat, puasa, zakat saja. Namun seperti yang pernah dikatakan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa ibadah ini ialah segala sesuatu yang Alloh itu ridho terhadapnya. Bahkan hanya sekedar menyingkirkan duri di jalan adalah bagian ibadah, bahkan senyumpun ibadah.

Namun misi ibadah ini bukanlah misi yang kecil, karena ibadah yang kita pahami ini dalam makna yang luas dan akan menyangkut pada misi berikutnya, yaitu sebagai khalifah/pemimpin di bumi. Karena ini juga bagian dari ibadah.
Ini juga sudah tersebut dalam firman Alloh dalam surat Al-Baqarah ayat 30, menjadi pemimpin di bumi, menjadi wakil Alloh di bumi, yang berarti bisa diartikan membawa misi kebaikan di bumi ini, membawa bumi agar sesuai dengan ketentuan Alloh, menjadi penguasa di bumi (An-Nur: 55). Tentu ini bukanlah tugas yang ringan, ini adalah tugas yang berat, tugas yang tidak mungkin dilakukan hanya oleh seseorang individu. Namun harus bersama-sama, besar, massive, butuh sebuah penggerak dan yang digerakkan.
Sehingga dari misi ibadah yang berkaitan dengan individu, kemudian naik pada misi pemimpin di bumi yang ini tidak bisa hanya dengan individu saja, lalu misi besar selanjutnya ialah misi peradaban.

Misi peradaban ini ialah misi menggoalkan islam sebagai ustadziatul a’lam, menjadi ustadnya alam, menjadi gurunya dunia, menjadi rujukan dunia. Maka, apakah ini bisa dilakukan oleh individu seorang?
Sejenak kita kembali merenung saat kejayaan islam, bukankah ia ditegakkan atas landasan iman yang kuat, persaudaraan yang lekat, dan kekuatan yang hebat? Yang terhimpun dalam sebuah jama’ah? Islam ditegakkan dari sesuatu yang asing pada mulanya, dan di akhir juga akan asing kembali? Benarkah hari ini asing?


Inilah misi kita, misi peradaban. Tidak ringan sobat, sementara waktu usia kita terbatas. Rasulullah membutuhkan waktu 23 tahun dan beliau secara langsung menerima wahyu, langsung mengingatkan jika ada yang salah. Sementara kini semakin jauh dari zaman beliau, kita hanya bisa napak tilas sejarah, mengikuti imam kita, ulama kita dengan ijtihadnya. Sehingga ijtihad ini pun berbeda-beda. Sehingga timbulah berbagai firqah, gerakan, yang dalam studi analisis, semoga ini adalah kebangkitan menuju jamaatul muslimin.
Lalu, apakah kita diam saja, hanya membaca, menjadi penonton saja, bagaimana kita menjalankan misi kedua dan ketiga ini jika tidak ikut mewarnai dengan gerakan yang akan menuju jamaatul muslimin?

Maha Benar Alloh, sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasul SAW. Wallahu A’lam...